Sabtu, 06 Desember 2014

Santo John Paul II Yang Agung

Santo John Paul II Yang Agung
Karol Józef Wojtyła (dilafazkan sebagai: voi-TI-wa) lahir 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan, anak ketiga dari opsir pada Tentara Kekaisaran Habsburg Austria, yang juga bernama Karol Wojtyła dan Emilia Kaczorowska, seorang keturunan Lituania. Ibunya meninggal 13 April 1929, ketika ia berusia delapan tahun. Kakak perempuan Karol, Olga meninggal sewaktu bayi sebelum kelahiran Karol; dengan demikian dia tumbuh dan dekat dengan kakaknya Edmund yang lebih tua 14 tahun, dan punya panggilan Mundek. Namun, pekerjaan Edmund sebagai dokter mengakibatkan kematiannya karena skarlatina (scarlet fever). 

Sebagai remaja, Wojtyła adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga gawang. Masa kecilnya terpengaruh kontak intensif dengan komunitas Yahudi. Pertandingan sepak bola sering diadakan antara tim Yahudi dan Katolik, dan Wojtyła biasanya secara sukarela akan menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain. 

Pertengahan 1938, Karol Wojtyła dan ayahnya meninggalkan Wadowice dan pindah ke Kraków, dimana dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai bahasa di universitas, dia menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke 36 Polandia, namun dia penganut pasifisme dan menolak menembakkan senjata. Dia juga tampil di beberapa grup teater dan menjadi penulis naskah drama. Selama masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang dan dia belajar 12 bahasa asing, sembilan diantaranya kemudian dipakai terus ketika menjadi Paus (Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi).

Pada tahun 1939 terjadi pendudukan pendudukan Nazi dan menutup universitas tempatnya belajar setelah invasi terhadap Polandia. Semua warga yang sehat diwajibkan bekerja, dari tahun 1940 sampai 1944, Wojtyła bekerja berbagai macam mulai dari pencatat menu di restoran, pekerja kasar tambang batu kapur, dan di pabrik kimia Solvay untuk menghindari dideportasi ke Jerman. Ayahnya, seorang bintara di Angkatan Darat Polandia, meninggal karena serangan jantung pada 1941, meninggalkan Karol seorang diri dari sisa keluarga. “Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya” katanya, menceritakan masa-masa kehidupannya ketika itu, hampir empat puluh tahun kemudian, “Pada usia 20, saya sudah kehilangan semua orang yang saya cintai”.

Dia kemudian mulai berpikir serius untuk menjadi pastor setelah kematian ayahnya, kemudian panggilan imamatnya perlahan menjadi ‘sesuatu yang mutlak dan tak terbantahkan.’ Pada Oktober 1942, dengan meningkatnya keinginan untuk menjadi pastor, dia mengetuk pintu Wisma Uskup Agung di Kraków, dan menya takan bahwa dia ingin belajar menjadi pastor. Tidak lama kemudian, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung KrakówKardinal Adam Stefan Sapieha.

Pada 29 Februari 1944, Wojtyła tertabrak oleh truk Nazi Jerman. Tak diduga, perwira Wehrmacht Jerman kasihan padanya dan mengirimkannya ke rumah sakit. Dia menghabiskan waktu dua minggu untuk pulih dari gegar otak dan luka bahu. Kecelakaan ini dan penyelamatannya membuatnya makin yakin dengan panggilan imamatnya.

Pada 6 Agustus 1944, ‘Minggu Hitam’, Gestapo mengumpulkan para pria muda di Kraków untuk menghindari demonstrasi yang serupa dengan demonstrasi di Warsawa. Wojtyła selamat dengan bersembunyi di ruang bawah tanah rumah pamannya di 10 Tyniecka Street, ketika tentara Jerman mencari di lantai atas. Lebih dari 8000 pria dan pemuda ditangkap hari itu, namun dia kemudian bersembunyi di Wisma Uskup Agung, dimana dia tetap bersembunyi sampai Jerman pergi. 

Menjadi Pastor

Setelah menyelesaikan pendidikan seminari di Kraków, Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor di Hari Para Orang Kudus pada 1 November 1946, oleh uskup agung Kraków, Kardinal Adam Stefan Sapieha. Dia kemudian berangkat untuk belajar teologi di Roma, di Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas (Pontifical International Athenaeum Angelicum), dimana dia kemudian mendapat Diploma Teologi Suci dan kemudian Doktor Teologi Suci. Gelar Doktorat ini yang pertama dari dua, didasarkan pada disertasi Latin “Doktrin Iman Menurut Santo Yohanes dari Salib Suci”

Dia kembali ke Polandia pada musim panas 1948 dengan tugas pertama pastoral di desa Niegowić, lima belas mil dari Kraków. Setibanya di Niegowić pada musim panen, tindakan pertama yang dilakukannya adalah berlutut dan mencium lantai. Tindakan ini diadaptasi dari kebiasaan santo Jean Marie Baptiste Vianney yang berasal dari Perancis, yang kemudian menjadi ciri khasnya ketika menjadi Paus.

Pada Maret 1949, dia dipindah ke paroki Santo Florian di Kraków, dia mengajar ilmu etika di Universitas Jagiellonian kemudian di Universitas Katolik Lublin (John Paul II Catholic University of Lublin). Sambil mengajar, Wojtyła bergabung dengan grup terdiri dari 20 pemuda, yang kemudian mereka juluki Rodzinka, atau “keluarga kecil”. Mereka berkumpul untuk berdoa, diskusi filosofi, serta menolong orang buta dan sakit. Grup ini kemudian berkembang sampai sekitar 200 anggota, dan kegiatannya bertambah dengan bermain ski tahunan dan kayak.

Tahun 1954 dia memperoleh doktorat kedua, dalam bidang filosofi, mengevaluasi kelayakan etika Katolik berdasarkan sistem etis dari fenomenologi Max Scheler. Namun, otoritas Komunis menghalanginya memperoleh gelar sampai 1957. 

Selama periode ini, Wojtyła menulis seri artikel di koran Katolik Kraków Tygodnik Powszechny (Mingguan Umum) berkaitan dengan masalah kontemporer gereja. Dia juga fokus pada pembuatan literatur asli selama dua belas tahun pertama menjadi pastor. Perang, hidup dalam Komunisme, dan tanggung jawab pastoralnya mempengaruhi puisi dan naskah dramanya. Namun, dia mempublikasikan karya-karyanya dalam dua nama samaran -Andrzej Jawień dan Stanisław Andrzej Gruda- untuk memisahkan antara literatur dan tulisan religiusnya (yang diterbitkan dengan nama aslinya) dan agar karya literaturnya mendapat penghargaannya sendiri tanpa pengaruh masalah religi kepastorannya. Pada 1960, Wojtyła menerbitkan buku teologis berpengaruh Cinta dan Tanggungjawab sebuah pembelaan terhadap ajaran-ajaran tradisional Gereja tentang pernikahan dari sudut pandang filosofis baru. 

Menjadi Uskup, Uskup Agung, dan Kardinal

Pada 4 Juli 1958, ketika Wojtyła sedang berlibur bermain kayak di sebuah danau di utara Polandia, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop) di Kraków. Dia dipanggil ke Warsawa, untuk bertemu Primat Polandia Kardinal Stefan Wyszyński, yang memberitahunya mengenai pengangkatannya. Dia menyetujui untuk membantu uskup agung Eugeniusz Baziak sebagai uskup pembantu, dia ditahbiskan ke keuskupan menggunakan nama Uskup Ombi pada 28 September 1958. Pada usia 38 tahun, dia menjadi uskup termuda di Polandia. Baziak wafat pada Juni 1962 dan pada 16 Juli 1962, Karol Wojtyła terpilih sebagai Vicar Capitular, atau administrator sementara keuskupan agung sampai uskup agung baru terpilih. 

Mulai Oktober 1962, Uskup Wojtyła mengambil bagian pada Konsili Vatikan II (1962–1965), dan memberikan kontribusi pada dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Pernyataan tentang Kebebasan Beragama(Dignitatis Humanae) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes), dua hasil utama Konsili, ditilik dari sudut pandang historis dan pengaruhnya. 

Uskup Wojtyła juga terlibat pada semua majelis Sinode para uskup. Kemudian pada 13 Januari 1963, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Agung Kraków. Pada 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengumumkan promosi Uskup Agung Wojtyła kepada Dewan Kardinal. Dia dinamakan Imam Kardinal Titulus San Caesareo de Appia. Pada tahun 1967, dia berperan penting dalam perumusan ensiklik Humanae Vitae, yang berkaitan dengan masalah pelarangan aborsi dan pengaturan kelahiran dalam KB. Menurut seorang saksi baru, Kardinal Wojtyla pada tahun 1970 melarang distribusi di keuskupan Kraków surat pastoral tentang Keuskupan Polandia sedang mempersiapkan upacara ulang tahun ke-50 Perang Polandia-Soviet. 

Menjadi Paus

Agustus 1978, pada wafatnya Paus Paulus VI, Kardinal Karol Wojtyła menghadiri konklaf Paus yang memilih Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Pada usia 65, Luciani bisa dikatakan masih muda sebagai Paus. Wojtyła pada usia 58 masih bisa mengharapkan untuk menghadiri sebuah konklaf Paus lainnya sebelum mencapai usia 80 tahun (usia maksimal dalam mengikuti konklaf). Namun tidak diduga bahwa konklaf berikutnya datang begitu cepat pada 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Pada Oktober 1978 Wojtyła kembali ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua dalam waktu kurang dari dua bulan. 

Konklaf kedua tahun 1978 diadakan pada 14 Oktober, sepuluh hari setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus I. Pada konklaf ada dua kubu yang sama-sama memiliki calon kuat: Kardinal Giuseppe Siri, kubu konservatif yang merupakan Uskup Agung Genoa, dan Kardinal Giovanni Benelli, kubu liberal yang merupakan Uskup Agung Firenze (Florence) dan seorang teman dekat Paus Yohanes Paulus I. 

Pendukung Benelli begitu yakin bahwa ia bisa terpilih, pada putaran pemungutan suara pertama, Benelli memenangkan sembilan suara. Namun, dari skala oposisi berarti suara yang diperoleh para calon tidak mencukupi untuk menjadi yang terpilih. Kardinal Franz König, Uskup Agung Wina, mengusulkan kepada para rekan pemilih lainnya untuk mengajukan kandidat kompromi: Kardinal Karol Józef Wojtyła dari Polandia. 

Wojtyła akhirnya memenangkan pemilihan dengan delapan surat suara pada hari kedua, menurut media Italia, 99 suara dari 111 pemilih memilihnya. Dia kemudian memilih nama Yohanes Paulus II untuk menghormati pendahulunya, dan asap putih muncul untuk memberitahu khalayak yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus bahwa seorang Paus telah terpilih. Dia menerima pemilihannya dengan kata-kata: “Dengan ketaatan dalam iman Kristus, Tuhanku, dan dengan kepercayaan pada Bunda Kristus dan Gereja, meskipun dalam kesulitan yang besar, saya menerima” Ketika Paus baru muncul di balkon, ia telah melanggar tradisi dengan menyapa kerumunan massa. 

Wojtyła menjadi Paus ke-264 menurut kronologis daftar Paus dan menjadi Paus non Italia pertama sejak 455 tahun. Dengan usia 58 tahun, dia adalah Paus termuda yang dilantik sejak Paus Pius IX pada 1846, yang berusia 54 tahun. Seperti halnya pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II meniadakan penobatan kepausan tradisional yang seperti pelantikan dalam kerajaan, sebagai gantinya menerima pelantikan gerejawi yang disederhanakan pada 22 Oktober 1978. Selama pelantikan, ketika para kardinal berlutut di hadapannya untuk mengambil sumpah mereka dan mencium cincinnya, dia berdiri ketika Kardinal Stefan Wyszyński dari Polandia berlutut, menghentikannya mencium cincin dan memeluknya.

Pengajaran

Sebagai Paus, salah satu peran Yohanes Paulus II yang paling penting adalah untuk mengajar orang tentang agama Kristen. Dia menulis 14 ensiklik Paus dan mengajarkan tentang “Teologi Tubuh”.
Dalam suratnya Di awal milenium yang baru (Novo Millennio Ineunte) dia menekankan pentingnya semua prioritas gereja pada Yesus Kristus: “Tidak, kami tidak akan diselamatkan oleh program namun oleh Manusia.”

Dalam Cahaya Kebenaran (Veritatis Splendor), dia menekankan ketergantungan manusia pada Allah dan HukumNya (“Tanpa Sang Pencipta, makhluk ciptaan akan hilang”) dan “ketergantungan kebebasan pada kebenaran”. Dia mengingatkan bahwa manusia yang “menggantungkan dirinya sendiri pada relativisme dan skeptisime, akan tersesat dalam pencarian kebebasan semu jauh dari kebenaran itu sendiri”.

Dalam Iman dan Akal budi (Fides et Ratio) Yohanes Paulus II mempromosikan minat baru dalam filsafat dan pencarian kebenaran dalam hal-hal teologis. Mengambil dari berbagai jenis sumber (seperti dari Thomisme), dia menggambarkan hubungan saling mendukung antara iman dan akal, dan menekankan para teolog harus fokus pada hubungan itu.

Yohanes Paulus II juga menulis banyak tentang kelompok pekerja dan doktrin sosial dari Gereja, dituangkannya dalam tiga ensiklik. Melalui ensiklik dan banyak Surat Apostolik serta Opininya, Yohanes Paulus II membahas tentang martabat perempuan dan pentingnya keluarga dalam masa depan kemanusiaan. 
Ensiklik lain termasuk Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) dan Ut Unum Sint (Supaya Mereka Semua Menjadi Satu). Meskipun banyak kritik yang menuduhnya tidak fleksibel, dia menegaskan kembali ajaran moral Katolik menentang pembunuhan, eutanasia dan aborsi yang telah ada lebih dari seribu tahun. 

Perjalanan Pastoral

Selama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II melakukan perjalanan ke 129 negara,  dan mencatat lebih dari 1,1 juta kilometer jarak perjalanan. Dia selalu menarik perhatian banyak orang dalam perjalanannya, beberapa yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia seperti Hari Pemuda Sedunia di Manila 1995, dimana berkumpul sekitar 5 juta orang. Sebagian orang memperkirakan bahwa ini mungkin merupakan perkumpulan orang Kristiani terbesar yang pernah ada. 

Dua dari kunjungan resmi Paus Yohanes Paulus II adalah ke Meksiko pada Januari 1979 dan ke Polandia pada Juni 1979, dimana selalu dikerumuni oleh kegembiraan manusia. Kunjungan pertama ke Polandia ini meningkatkan semangat nasional dan mencetuskan formasi gerakan Solidaritas (Solidarność) pada tahun 1980, yang membawa kebebasan dan hak asasi pada negara yang bermasalah ini. Pada kunjungan berikutnya ke Polandia dia memberikan dukungan diam-diam pada organisasi ini. Beberapa perjalanan ini menguatkan pesannya dan Polandia memulai proses yang kemudian mengalahkan dominasi Uni Soviet di Eropa Timur pada tahun 1989. 

Sementara beberapa kunjungannya (seperti ke Amerika Serikat dan Tanah Suci) meneruskan kunjungan sebelumnya dari Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang berkunjung ke Gedung Putih ketika perjalanan ke AS pada Oktober 1979, dimana dia disambut dengan hangat oleh calon presiden waktu itu Jimmy Carter. Dia juga berkunjung ke banyak negara dimana belum pernah ada Paus yang berkunjung sebelumnya. Dia adalah Paus pertama yang mengunjungi Meksiko di Januari 1979, sebelum berkunjung ke Polandia sebagai Paus, juga ke Irlandia kemudian pada tahun yang sama. 

Dia adalah paus yang memerintah pertama yang berkunjung ke Britania Raya, pada 1982, dimana dia bertemu Ratu Elizabeth II, Gubernur Agung dari Gereja Inggris. Dia melakukan perjalanan ke Haiti pada 1983, dimana dia berbicara dalam bahasa kreol kepada ribuan warga Katolik miskin yang berkumpul menyambutnya di bandar udara. Pesannya, “sesuatu harus berubah di Haiti”, berdasarkan pada perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin, mendapat tepuk tangan bergemuruh. Pada tahun 2000, dia adalah Paus modern pertama yang berkunjung ke Mesir, dimana dia bertemu dengan paus Koptik, Paus Shenouda III dan Patriark Ortodoks Yunani dari Alexandria. 

Dia juga menjadi paus Katolik pertama yang berkunjung dan berdoa di sebuah masjid di Damaskus, Siria pada tahun 2001. Dia berkunjung ke Masjid Agung Umayyah, yang sebelumnya adalah gereja Kristen dimana Yohanes Pembaptis diyakini dimakamkan, dimana dia berpidato untuk meminta Muslim, Kristen dan Yahudi untuk bekerja bersama-sama. 

Pada 15 Januari 1995, ketika berlangsung Hari Pemuda Dunia X, dia mengadakan misa untuk sekitar lima sampai tujuh juta umat di Luneta park, Manila, Filipina, yang menjadi pertemuan tunggal terbesar dalam sejarah Kristen. Pada Maret 2000, ketika mengunjungi Yerusalem, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama dalam sejarah yang berkunjung dan berdoa di Tembok Ratapan. Pada September 2001, dalam suasana pasca Serangan 11 September 2001, dia melakukan perjalanan ke Kazakhstan dengan pengunjung yang kebanyakan adalah muslim, dan ke Armenia, untuk menghadiri peringatan 1.700 tahun masuknya Kristen di negara itu.

Pada kunjungan lima harinya ke Indonesia pada 8-12 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II menyinggahi Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili (Timor Timur - waktu itu masih menjadi provinsi ke 27 Indonesia), dan Medan. Dalam kunjungan itu Sri Paus memimpin Misa Agung dan berdialog langsung dengan lebih dari satu juta orang. Pada Misa Agung di Senayan, Paus mengucapkan doa Tanda Salib: “Atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus” dalam bahasa Indonesia yang lancar, yang dijawab umat “Amin”. Misa itu seluruhnya berlangsung dalam Bahasa Indonesia, dan Paus dapat melafalkan doa dan nyanyian dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan lancar, nyaris tanpa salah, termasuk ketika menyanyikan Prefasi yang panjang. Paus Yohanes Paulus II juga mengadakan pertemuan khusus dengan kaum awam dan cendekiawan Katolik Indonesia di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, serta meresmikan gedung baru “Karol Wojtyła” Paus sempat menyatakan:
“Karena itu saya bangga akan Anda, orang Katolik yang hanya merupakan minoritas kecil, membuat kontribusi yang signifikan terhadap pendidikan tinggi di Indonesia.”

Wafat dan pemakaman

foto by athba.net
Pemakaman Paus Yohanes Paulus II menjadi pelayatan terbesar dalam sejarah masa Kristen sejak Perang Salib, menarik kunjungan lebih dari 4 juta pengunjung ke Vatikan ditambah dengan lebih dari 3,7 juta penduduk yang menetap di Roma. Hanya 2 juta orang yang diizinkan untuk melihat jenazah Yohanes Paulus II.

31 Maret 2005 akibat dari infeksi saluran kemih, Yohanes Paulus II mengalami septic shock sebuah gejala penyebaran infeksi dengan demam tinggi dan tekanan darah turun, namun dia tidak dibawa ke rumah sakit. Namun mendapat pengawasan medis dari tim perawat di tempat tinggal pribadinya. Ini menandakan bahwa paus sudah mendekati ajalnya; kemungkinan juga karena keinginannya untuk meninggal di Vatikan Hari itu juga, sumber Vatikan mengumumkan bahwa Yohanes Paulus II telah mendapat Sakramen pengurapan orang sakit oleh teman dan sekretarisnya Stanisław Dziwisz. Selama hari-hari terakhir kehidupan Paus, cahaya tetap dinyalakan menerangi malam dimana dia tinggal di lantai atas Istana Apostolik. Puluhan ribu umat berkumpul di Lapangan Santo Petrus dan jalan-jalan sekitarnya selama dua hari. Mendengar kabar ini, paus yang sedang sekarang berkata: “Saya telah mencari untuk Anda, dan kini Anda telah datang kepada saya, dan saya berterima kasih. 

Sabtu, 2 April 2005, sekitar pukul 15.30 CEST, Yohanes Paulus II mengatakan kata terakhirnya, “pozwólcie mi odejść do domu Ojca”, (“biarkan aku pergi ke rumah Bapa”), kepada pendampingnya, dan mengalami koma sekitar empat jam kemudian. Misa persiapan Minggu Kerahiman Ilahi memperingati kanonisasi Maria Faustina Kowalska pada 30 April 2000, baru dilakukan di sisi ranjangnya, dipimpin oleh Stanisław Dziwisz dan bersama dua pendamping Polandia. Juga hadir Kardinal dari Ukraina yang pernah melayani menjadi pastor bersama Paus di Polandia, juga beberapa biarawati Polandia dari Kongregasi Suster-suster Hati Kudus Yesus (Congregation of the Sisters Servants of the Most Sacred Heart of Jesus), yang melayani rumah tangga kepausan. Ia meninggal di apartemen pribadinya jam 21:37 CEST (19:37 UTC) karena kegagalan jantung akibattekanan darah rendah dan kegagalan peredaran darah, 46 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-85. Yohanes Paulus II tidak mempunyai keluarga dekat pada saat meninggal, dan perasaannya sudah terungkap dari kata-katanya, seperti tertulis pada tahun 2000, pada testamen terakhirnya: 

“Dalam masa akhir kehidupan duniawi saya yang semakin dekat, ingatan saya kembali ke masa lalu, pada orang tua saya, pada saudara laki saya dan saudara perpempuan (yang saya tidak tahu karena meninggal sebelum kelahiran saya), pada Paroki di Wadowice dimana saya dibaptis, pada kota yang saya cintai, pada semua relasi, teman-teman SD sampai SMA dan universitas, sampai waktu saya menjadi pekerja, kemudian di Paroki Niegowic, sampai Santo Florian di Kraków, pada layanan pastoral akademisi, pada lingkungan dari ... untuk semua milieux ... untuk Kraków dan untuk Roma ... kepada orang-orang yang dipercayakan secara khusus oleh Tuhan kepada saya.”
Kematian Paus Yohanes Paulus II diiringi ritual berusia berabad-abad lamanya dan tradisi yang berawal sejak masa pertengahan. Upacara Pengunjungan berlangsung dari 4 April hingga pagi hari tanggal 8 April di Basilika Santo Petrus. Testamen Paus Yohanes Paulus II yang dipublikasikan pada 7 April mengungapkan bahwa paus berkeinginan dimakamkan di tanah kelahirannya Polandia namun tergantung dari para Kardinal, yang memutuskan untuk dikebumikan di gua-gua di bawah basilika.

Pada 8 April, pukul 8.00 pagi UTC, Misa Requiem dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebagai Dekan Dewan Kardinal dan dihadiri lebih dari 180 orang Kardinal dari berbagai negara. Misa ini menjadi misa yang memecahkan rekor dunia dalam hal jumlah kehadiran umat dan banyaknya kepala negara yang hadir. Ini adalah berkumpulnya para kepala negara terbesar dalam sejarah, mengalahkan pemakaman Winston Churchill (1965) dan Josip Broz Tito (1980). Empat raja, lima ratu, dan sedikitnya 70 presiden dan perdana menteri, serta lebih dari 14 pimpinan agama dari agama selain Katolik menghadiri pemakaman. 

Peristiwa ini juga mungkin menjadi ziarah Kristen terbesar dalam sejarah, dengan perkiraan empat juta orang berkumpul dalam perkabungan di Roma. Sekitar 250.000 sampai 300.000 orang mengikuti peristiwa ini di Vatikan.] Dekan Para Kardinal, Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi paus berikutnya, memimpin upacara. Yohanes Paulus II dikebumikan di gua di bawah basilika, makam para Paus. Ia dikebumikan di liang makam yang sebelumnya dipakai jenazah Paus Yohanes XXIII. Liang itu telah dikosongkan ketika jenazah Paus Yohanes XXIII dipindahkan ke ruang lain di basilika setelah dibeatifikasi.

Gelar Yang Agung

Sejak wafatnya Yohanes Paulus II, sejumlah imam di Vatikan dan kaum awam di seluruh dunia telah menyebutnya “Yohanes Paulus yang Agung”; hanya empat paus yang disebut demikian, dan menjadi yang pertama sejak milenium pertama. 

Siswa dari Hukum Kanon mengatakan bahwa tidak ada proses resmi untuk menyatakan seorang Paus mendapatkan gelar “Yang Agung”; gelar ini muncul sendiri melalui penggunaan populer dan terus menerus, seperti juga pada kasus pemimpin sekuler (sebagai contoh, Aleksander III dari Makedonia menjadi populer dan dikenal sebagai Aleksander Agung. Tiga paus saat ini yang diketahui menyandang “Yang Agung” adalah Paus Leo I, yang memimpin dari 440-461 dan membujuk Attila (Attila the Hun) untuk mundur dari Roma; Paus Gregorius I, 590-604, yang mengilhami penamaan kidung Gregorian; dan Paus Nikolas I, 858-867. 
Penerusnya Paus Benediktus XVI, menyebutnya “Paus Yohanes Paulus II yang agung” pada pidato awalnya dari loggia Gereja Santo Petrus, dan menyebutkan Paus Yohanes Paulus II sebagai “Agung” di homili yang diterbitkan pada Misa pemakamannya (Mass of Repose).

Sejak memberikan homili pada pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus selalu menyebut Yohanes Paulus II sebagai “yang Agung”. Pada Hari Pemuda Dunia ke-20 di Jerman 2005, Paus Benediktus XVI, berbicara dalam bahasa Polski, bahasa ibu Yohanes Paulus II, mengatakan, “Seperti Paus Yohanes Paulus II yang Agung akan berkat: jagalah api keimanan dalam kehidupanmu dan kerabat dekatmu.” Pada Mei 2006, Paus Benediktus XVI mengunjungi tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Selama kunjungannya, ia berulang kali menyebut “Yohanes Paulus yang Agung” dan “pendahulu saya yang agung”.

Sebagai tambahan Vatikan menyebutnya “Yang Agung”, banyak surat kabar melakukannya juga. Contohnya, koran Italia Corriere della Sera menyebutnya “yang sangat Agung” dan koran Katolik Afrika Selatan, The Southern Cross, menyebutnya “Yohanes Paulus II Yang Agung”.
Beberapa sekolah di Amerika Serikat, seperti Universitas Katolik Yohanes Paulus Agung dan Sekolah Menengah Atas Yohanes Paulus Agung, dinamakan demikian setelah Yohanes Paulus II menggunakan julukan itu.

Beatifikasi

foto by stat.ks.kidsklik.com
Terinspirasi dari seruan “Santo Subito!” (“jadikan Santo Segera!”) dari kerumunan umat pada saat pemakamannya, Paus Benediktus XVI memulai proses beatifikasi kepada pendahulunya, melewati batasan normal bahwa lima tahun harus berlalu setelah wafatnya seseorang sebelum proses beatifiksi bisa dimulai. Pada audiensi dengan Paus Benediktus XVI, Camillo Ruini, Vikaris Jenderal Keuskupan Roma dan orang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan alasan kanonisasi seseorang yang meninggal dalam keuskupan, mengutip “keadaan luar biasa” yang menyebabkan masa menunggu bisa diabaikan. Keputusan ini diumumkan pada 13 Mei 2005, pada Perayaan Our Lady of Fátima dan peringatan 24 tahun percobaan pembunuhan Yohanes Paulus II di lapangan Santo Petrus. 

Pada awal 2006, dilaporkan bahwa Vatikan sedang menyelidiki kemungkinan mukjizat terkait dengan Yohanes Paulus II. Suster Marie Simon-Pierre, seorang biarawati Perancis dan anggota Konggregasi Little Sisters of Catholic Maternity Wards, yang hanya bisa tergolek di tempat tidurnya karena penyakit Parkinson, dilaporkan mendapatkan pengalaman “kesembuhan total setelah anggota komunitasnya berdoa untuk perantaraan dengan Paus Yohanes Paulus II”. Pada Mei 2008, Sister Marie-Simon-Pierre, then 46, Kemudian berkarya lagi di rumah sakit ibu dan anak yang dioperasikan oleh ordo-nya. “Saya sakit dan sekarang saya telah disembuhkan,” dia mengatakan pada wartawan Gerry Shaw. “Saya sembuh, namun ini terserah gereja apakah ini adalah mukjizat atau bukan. 

Pada 28 Mei 2006, Paus Benediktus XVI berkata pada Misa yang dihadiri sekitar 900.000 orang di tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Dalam homilinya, dia meminta doa untuk mengawali kanonisasi Yohanes Paulus II dan berharap kanonisasi dapat terjadi “dalam waktu dekat. 

Pada Januari 2007, Kardinal Stanisław Dziwisz dari Kraków, yang pernah menjadi sekretarisnya, mengumumkan bahwa tahap wawancara untuk proses beatifikasi, di Italia dan Polandia, mendekati selesai. Pada Februari 2007, peninggalan Paus Yohanes Paulus II berupa potongan jubah putih yang sering ia gunakan mulai didistribusikan bersama kartu doa untuk suatu alasan, sebuah kebiasaan khas setelah meninggalnya seorang Katolik yang saleh. 

Pada 8 Maret 2007, Vikaris Roma mengumumkan bahwa tahap diosis Yohanes Paulus II untuk beatifikasi telah selesai. Diikuti dengan upacara pada 2 April 2007 — upacara kedua setelah meninggalnya Paus — kemudian proses berlanjut untuk pengawasan komite awam, para imam, dan anggota keuskupan Vatikan Congregation for the Causes of Saints, yang akan melanjutkan penyelidikan dari mereka. 

Pada peringatan tahun keempat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, 2 April 2009, Kardinal Dziwisz, memberitahu wartawan tentang mukjizat yang baru saja muncul di makamnya di Basilika Santo Petrus. Seorang anak laki Polandia berusia sembilan tahun dari Gdańsk, yang menderita kanker ginjal dan tidak bisa berjalan, mengunjungi makam bersama orang tuanya. Ketika meninggalkan Basilika Santo Petrus, anak itu mengatakan, “Saya ingin berjalan,” dan mulai bisa berjalan normal. 

Pada 16 November 2009, sebuah panel peninjau dari Congregation for the Causes of Saints mengambil suara secara tertutup bahwa Paus Yohanes Paulus II pernah hidup dalam kebajikan. Pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI menanda tangani satu dari dua dekrit (keputusan) yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut Yohanes Paulus II “Yang Mulia”, untuk menandakan bahwa ia hidup dalam kegagahan dan kebajikan. Pengambilan suara kedua dan dekrit kedua ditanda tangani untuk menandai kebenaran dari mukjizatnya yang pertama (suster Marie Simon-Pierre, biarawati Perancis yang sembuh dari penyakit Parkinson). 

Begitu dekrit kedua ditanda tangani, positio (laporan alasan, dengan dokumentasi kehidupannya dan tulisan-tulisannya ditambah informasi tentang alasannya) telah dianggap lengkap. Dia dapat di beatifikasi. Beberapa spekulasi mengatakan bahwa dia kemungkinan akan di beatifikasi ketika (atau segera setelah) bulan peringatan 32 tahun terpilihnya sebagai Paus pada 1978, yaitu pada Oktober 2010. Mgr. Oder mencatat, ini bisa terjadi jika dekirt kedua ditanda tangani tepat waktu oleh Paus Benediktus XVI, jika mukjizat paska wafatnya Yohanes Paulus II dapat dicatatkan untuk menyelesaikan positio tersebut.

Vatikan mengumumkan pada 14 Januari 2011 bahwa Paus Benediktus XVI telah mengkonfirmasi mukjizat yang terkait suster Marie Simon-Pierre dan Yohanes Paulus II dapat di beatifikasi pada 1 Mei, Minggu Rahmat Ilahi dalam oktaf Paskah dan awal bulan Rosario. 1 Mei juga dirayakan di bekas negara-negara komunis seperti Polandia. dan beberapa negara Eropa Barat sebagai May Day (Hari Buruh), dan Paus Yohanes Paulus II sangat dikenal dalam banyak hal, termasuk dalam kontribusinya dalam runtuhnya Komunisme Eropa Timur dengan damai, yang juga terbukti kebenarannya oleh bekas presiden Soviet Gorbachev pada saat wafatnya Yohanes Paulus II. 

Pada 29 April 2011, peti Paus Yohanes Paulus II digali mengawali beatifikasinya, sementara puluhan ribu umat mulai berdatangan ke Roma untuk peristiwa besar sejak pemakamannya pada tahun 2005. Peti tertutup berisi jenazah Yohanes Paulus II dipindahkan dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo Sebastian, Pier Paolo Christofari, dimana Yang Diberkati (Beato) Paus Innosensius XI dimakamkan. Lokasi yang lebih baik ini, dekat Kapel Pieta, Kapel Sakramen Mahakudus dan patung dari Paus Pius XI dan Paus Pius XII, akan memungkinkan lebih banyak peziarah melihat makamnya.

Polandia mengeluarkan koin emas 1.000 Złoty (mata uang Polandia) dengan wajah Paus Yohanes Paulus II untuk memperingati beatifikasinya. 

Pada hari yang sama “Non abbiate paura” (“Tanpa takut”), lagu resmi yang didedikasikan untuk Yohanes Paulus II yang menampilkan foto dan kata-kata asli dari Yohanes Paulus II diedarkan. Lagu, yang diciptakan oleh Giorgio Mantovan dan Francesco Fiumanò, dinyanyikan oleh penyanyi Italia Matteo Setti dan satu-satunya karya musik dimana Vatikan memberikan izin penggunaan suara rekaman Karol Wojtyła. 

Pada 5 Juli 2013, Paus Fransiskus mensetujui kanonisasi terhadap Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII. Dan pada 30 September 2013 , Paus Fransiskus menyetujui bahwa kedua Paus tersebut akan dikanonisasi pada 27 April 2014. Dan akhirnya pada 27 April 2014, Paus Yohanes Paulus II Yang Agung, dinobatkan sebagai Santo.***Berbagai sumber
Share this article now on :

Posting Komentar