Kamis, 21 Juli 2016

"BU'A KAE"; Salam Santun Khas Adonara

Pilot Pesawat Amphibi dari MLD [Angkatan Laut Belanda] berburu di Pantai Wureh Adonara,
dengan latar belakang Gunung Ile Mandiri, AGustus 1926; Sumber Tropenmuseum

Di Lamaholot, Flores, dapat kita bedakan dua rumpun besar terkait dengan entitas pengguna bahasa keseharian. Yaitu, Bahasa Nagi [Nagi=Nagari; lazim disebut bahasa Larantuka] dan Lamaholot.
Pengguna Bahasa Nagi ini tersebar di 3 wilayah utama dasar. Larantuka, Konga, dan Wureh. Tiga tempat inilah pada abad ke 17 awal menjadi tempat exsodus bangsa Portugis dari Benteng Henriques, Lohayong, Solor, akibat kalah perang dengan Belanda dibantu pribumi. Ya bahasa Nagi adalah warisan bahasa Melayu dialeg Portugis.

Dari 3 tempat ini kemudian menyebar ke beberapa daerah seiring perpindahan penduduk 3 lokasi ini. Hokeng, Boru, Riangkoli, Waiwadan, Waiwerang Kota dan Lewoleba.

Maka bahasa berikut sekaligus bahasa dasar wilayah Lamaholot adalah bahasa Lamaholot. Meskipun tiap daerah dengan aksen yang agak berbeda satu dengan lain. Ciri tiap daerah terasa kental. Terutama intonasinya. Flores Timur daratan, Solor, Adonara dan Lembata. Di Lembata sedikit terkecuali rumpun bahasa Kedang. Meski ada beberapa kata, kalau ditelusuri miliki muasal yang sama.
Semisal kata 'Pan' yang di Lamaholot umumnya teridentifikasi dengan 'Pana'; yang sama-sama berarti 'Pergi'. Atau 'Ledo-ledo' yang Lamaholot 'Lega-lega' yang bermakna 'Jalan-Jalan'. Perbedaan berikutnya intern bahasa Lamaholot adalah perbedaan satu huruf pada kata yang sama. Huruf ini umumnya antara huruf 'L' dengan 'R'. Daratan Flotim, misalnya lebih gunakan huru 'L' daripada huruf 'R' yang digunakan di Adonara.

Kata-kata itu antara lain: Laran, Léra, Belara. Adonara menyebutnya, berurutan: 'Raran' untuk 'Jalan', 'Réra' yang berarti Matahari dan 'Berara' untuk menyatakan 'sakit'. Ketiga kata itu maknanya sama meski berbeda satu huruf. Penggunaan bahasa ini, tentu sama mempengaruhi juga tata kehidupan dalam keseharian. Terurama bagi para pengguna bahasa Nagi dengan pengguna bahasa Lamaholot.

Di Adonara misalnya. Ada sebuah kebiasaan yang begitu khas yang muncul ketika tamu berkunjung. Kekhasan ini terdapat pada ucapan atau sapaan dari tamu untuk pertama kalinya. Kalo wialayah pengguna bahasa Nagi memulai dengan salam sesuai dengan waktu, misalnya pagi, siang, sore atau malam, maka di kawasan Adonara umumnya tidak demikian.

Ucapan pertama kali sebagai salam umumnya adalah "Bu'a Kae?". Ini adalah sebuah pertanyaan. Bu'a=Makan, Kae=Sudah. "Sudah makan kah?" Atau "Kalian sudah makan?" Memang tidak seperti tatabahasa Bahasa Indonesia yang menggunakan hukum DM [dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya "Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia" terbit pertama kali tahun 1949], Bahasa Lamaholot berpola MD sebagaimana Bahasa Jerman atau English.

Anda bisa membayangkan kalau salam seperti ini dipahami oleh entitas lain, tanpa mengetahui latar sosiologisnya. Salamnya sudah gunakan pertanyaan, dan apalagi itu terkait soal makan dan/atau makanan. Tak perlu entitas yang jauh, entitas tetangga seperti pengguna Bahasa Nagi, mungkin akan sangat keheranan mendengarkan "salam unik" seperti ini.

Opini atau asumsi negative bisa dengan tiba-tiba diberikan kepada tamu itu. Sebut saja misalnya: "Waw tamu ini betapa kurang ajarnya" atau "Tamu ini berkunjung hanya ingin "nimbrung" makan", dan sebagainya. Dampak luasnya, asumsi miring ini akan menjadi stempel umumdalam menilai tamu  tadi termasuk entitas tamunya, yaitu orang Adonara.

Tuan rumah, setelah mendapat "salam unik" itu, biasanya akan menjawab: "Wa' di. Ra' mete tula ni. Lepat neti tite hama-hama bu'a pe..". Kata "Wa'" ini artinya 'belum', "Wa' di" bisa bermakna 'Belumlah'. "Ra'"= Mereka, menunjuk pada orang rumah; 'Mete'=Sedang; 'Tula'=buat atau kerjakan, 'Lepat'=Sehabis, sesudah, setelahnya; 'Neti'=Selanjutnya, 'Lepat neti'=Sesudah itu baru ....; 'Tite'=Kita; 'hama-hama'=Sama-sama.

Atau "Kae. Main lepat di" [Kae=Sudah; Main=Barusan; 'Main lepat di'=Barusan saja selesai]. Setelah jawaban dari tuan rumah seperti demikian, tamu menyampaikan maksud dan kedatangannya. Sebuah cara mengucapkan salam yang sangat unik sekaligus tanda kesantunan.****FrankLamanepa [01 Feb 2016]

Mari Kenal dan Cintai Budaya Kita
Share this article now on :

Posting Komentar