Bekas Tsunami 1992 di desa Riangkroko, pesisir utara Flotim; Foto: Wordpress.com |
SELASA, (10/12/2013), untuk pertama kali di musim penghujan tahun ini, hujan sangat tinggi intensitasnya melanda kota Larantuka dan sekitarnya, selama lebih kurang 2,5 jam. Yang berhasil dipantau, gedung DPRD Flotim alami banjir lokal, ketika sedang terjadi Rapat Paripurna pembahasan APBD 2014. Rapat sempat terhenti demi menguras air yang ‘nyelonong’ ke ruang sidang. Tak hanya itu, Kantor Pariwisata dan Kebudayaan yang masih mengontrak di Kel. Lohayong, juga kebanjiran. Yang sebabkan seluruh pegawainya berlarian menyelamatkan diri. Beberapa ruas jalan dipenuhi lumpur dan kerikil.
Curah hujan sedemikian tinggi ini, bagi masyarakat
Larantuka, selalu menimbulkan trauma tersendiri. Terutama mereka yang berada pada areal-areal
bekas banjir, seperti Kelurahan Waibalun, Larantuka, Balela, Pohon Sirih,
Lohayong, Postoh, dan Weri. Sudah jamak jika menghadapi situasi ini, mereka
selalu mempersiapkan segala sesuatu jika yang ditakuti itu tiba. Sebut saja
sejumlah harta benda. Apalagi jika terjadi di malam hari. Sudah tentu mereka segera mengungsi ke rumah keluarga yang jauh dari areal yang ditakuti.
Pasalnya, wilayah Larantuka selalu rentan dengan banjir.
Tak seperti banjir yang melanda wilayah Jakarta akibat meluapnya sungai dan air
laut (rob) misalnya, banjir yang melanda Larantuka biasanya berasal dari runtuhan
segala material yang dibawa air dari gunung Ile Mandiri. Batu-batu ukuran
raksasa, lumpur, kayu dan pepohonan. Sehingga daya kerusakannya sangat tinggi
dan luas.
Sepanjang sejarah yang dapat diingat dan ditulis, Larantuka dan
sekitarnya, pernah alami beberapa kejadian banjir yang sangat merusak. Yang cukup
fenomenal, tentu saja Banjir 1979.
BANJIR 1979
Terjadi Selasa malam, 27 Februari 1979. Umur saya baru beberapa tahun. Hari itu hujan tidak deras. Sore sempat gerimis, lalu berhenti. Malam sekitar 18:30 Wita hujan lagi; tapi tidak terlalu lebat.
Malam itu kami kedatangan tamu. Tuan Tanah yang tanahnya dibeli ayah tempat eumah kami didirikan. Om Wempi, begitu ibu saya menyapa. Kala itu rumahnya persis di depan Kapela Tuan Ma sebelum banjir dan kini sudah jadi Taman Kota.
Tak Sempat Makan Malam
Setelah beliau pergi, kami berkumpul di meja makan. Makanan sudah tersaji, siap santap. Waktu menunjukkan pkl. 19.00 Wita kami belum ssntap. Mendadak terdengar suara seperti dentuman meriam bersautan.
Rupanya itu suara benturan antar batu-batu besar terbawa air. “Banjir! Banjir!”
Teriakan panik tetangga berlarian menyelamatkan diri.
Jarak rumah kami dengan Gunung Ile Mandiri tak terlalu jauh.
Tak lebih dari 250 meter, di Kelurahan Balela. Kawasan itu kini oleh warga dinamakan Kampung Merdeka, sebelah atas jalan 3.
Makan malam kami batalkan. Dengan persiapan seadanya, kami mencoba menghindar. Saya dibopong ayah;
adik saya dalam gendongan ibu. Rencana waktu itu kami bergerak ke arah timur; ke arah SMA Ignasius yang kini telah berubah menjadi SMAN 1 Larantuka. Niat itu urung lantaran aliran banjir telah membatasi.
Ayah membawa kami bergerak ke arah Barat. Tidak lama berselang, gerakan batu, kerikil, air, batang pohon melulhlantahkan rumah kami dan beberapa rumah lainnya. Kami bersama beberapa keluarga lain, termasuk alm. om Thomas Boro Lamatokan dan beberapa adiknya, masuk rumah om Sinyo, kini di kawasan dekat jalan 3 San Dominggo menuju Bukit Fatimah. Rumah itu telah ditinggalkan pemiliknya.
Terpisah Diterjang Banjir
Di rumah ini, ada keluarga yang mengungsi ke arah bukit, ke rumah om Ras de Rosari, kini. Kami masih bertahan. Saya masih dibopong ayah. Akhirnya ayah mencoba amati situasi keluar dari pintu dengan tetap bopong saya.
Mendadak banjir menghantam rumah itu. Usaha ibu menarik ayah terlambat. Ayah terbawa banjir. Rumah itu rata tanah. Saya tidak sadarkan diri.
Suara panggilan ibu, berangsur-angsur menyadarkanku. Yang Ibu tahu, ayah telah jadi korban banjir. Ibu menyebut nama Simon berulang-ulang. Saya masih ingat. Om Simon itu satu rumah dengan om Thomas Boro, rumahnya bersebelahan dengan rumah kami di Balela. Mereka rupanya dengar teriakan ibu, tapi aliran banjir halangi menolong. Karena berada di rumah ayahnya om Ras de Rosary, di bukit itu.
Cuaca gelap pekat. Entah jam berapa saat itu. Saya tak lagi di pundak ayah. Kudapati
diriku di atas lumpur. Batu, kerikil, batang-batang pohon, material bangunan berserakan
disekitar tempat itu. Entah kemana dan dimana ayah.
Perlahan kudekati suara ibu
dengan merangkak. Ibu masih tak kelihatan, walau sumber suara begitu dekat. Setelah
kuteliti, rupanya suara ibu ada di balik tumpukan papan, dinaungi meja makan yang kedua kaki di sisi yang sama telah patah.
Sambaran kilat sesaat terangi tempat itu, membuat ibu mampu melihat saya. Ibu meraih lalu mendekap saya dengan salah satu tangannya; tangan lainnya telah memeluk adikku. Kami berada di kolong meja makan. Ibu dalam posisi duduk di lumpur tanpa ayah.
Betapa bahagia ibu mendapati saya selamat. Setahu ibu, kondisi terakhir tadi saya di atas pundak ayah ketika banjir menghantam rumah. Dan menduga saya pasti terbawa banjir bersama ayah dan tidak selamat. Saat itu ibu tahu ayah pasti jadi korban banjir.
Mujizat
Muzijat terjadi. Semesta masih sayang kami. Dan saya sangat yakin. Bagaimana menjelaskan dengan nalar bahwa saya yang masih balita sedang di atas pundak ayah ketika dihantam Banjir 1979 demikian dasyat itu, masih selamat dan tidak terbawa banjir tapi masih berada dekat dengan ibu dan adik saya?
Lalu bagaimana pula menarik kesimpulan bahwa seluruh rumah om Sinyo itu hancur rata tanah, tapi kami bertiga, saya, ibu, dan adik serta meja makan milik om Sinyo itu tetap berada di tempat, meski dua kaki meja patah, dan banjir terus terjadi di kiri-kanan kami?
Situasi unik itu, kemudian ditanyakan ke ibu oleh banyak warga. Ibu kepada saya mengatakan, saat itu ketika sedang memeluk kami, dan tanpa bisa gerakkan kaki, ibu hanya bicara dengan keyakinan sangat dalam hati sebagai seorang Lamaholot, bahwa ia hanya seorang ibu dengan dua orang anak yang suaminya telah jadi korban dan tidak berbuatt salah sehingga pasti selamat karena Leluhur Lewotana melindungi selalu.
Di titik ini, saya bangga luar biasa sebagai anak tanah Lamaholot. Semesta dan Leluhur Lewotana memang senantiasa setia menyertai; 'Liko lapak raga gerihan".
Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat cahaya makin terang mendekat
disertai suara berat pria dewasa. Ternyata yang memegang Lampu Petromax itu
mengenakan seragam tentara. Bersama dua orang sejawatnya.
Evakuasi ke Istana Keuskupan
Bagaimana dengan tepat tentara temukan kami? Pertanyaan ini menjadi kunci kami bertiga terhindar dari berbagai resiko banjir dan lainnya.
Meja makan itu diangkat ketiga tentara itu. Aku dan adiku Setelah masih dalam dekapan ibu. Ruapanya kaki ibu tertindih tumpukan seng.
Ada pembicaraan antara ibu dengan ketiga tentara itu. Aku sendiri tak ingat apa pembicaraan mereka. Adikku digendong salah seorang tentara. Yang memegang lampu ingin gendong ibu, tapi ibu keberatan dan minta dipapah saja. Sedang aku digendong seorang lagi duluan menuju Istana Keuskupan San Dominggo.
Apa yang sedang terjadi saat itu? Tentu saja saya tidak tahu. Kami diterjang banjir yang begitu dasyat tetapi
tak alami cidera parah. Bahkan saya dan adik saya tidak alami cedera apa-apa. Miracle! Ya ini yang bisa saya sebut sekarang.
Memasuki penampungan di Istana Keuskupan, telah dipadati para korban dan pengungsi. Kami bertiga dibawa menuju ruang makan. Ayah telah ada di situ. Dengan cidera di beberapa tubuh. Terutama di bagian kaki.
Saya duluan oleh tentara itu dipertemukan dengan ayah. Ayah gembira luar biasa melihat saya selamat dan tak alami cidera apapun. Dengan kehadiran saya, ayah masih menunggu dengan harap kedatangan ibu dan adikku.
Begitu melihat ibu dan adikku hadir di hadapannya, kami dipeluk ayah dan tentu saja tangis ibu membahana. Bagaimana tidak! Kami sekeluarga utuh berhasil selamat meski diterjang banjir, dan mengingat ibu harus memeluk kami sekian waktu di mana di kiri-kanannya banjir dasyat sedang terjadi.
Apa yang terjadi pada Ayah?
Setelah dihantam banjir, Ayah diseret cukup
jauh oleh banjir itu. Akhirnya ayah tertahan oleh sebatang pohon, lokasinya kini
persis berada di belakang SDK Larantuka IV San Dominggo, kurang lebih 100 meter
dari Istana Keuskupan. Tubuh dan wajah ayah ditutupi lumpur.
Dalam gelap, ayah
meraba-raba ditemukannya air. Setelah membersihkan lumpur tebal yang menutupi
wajahnya, tahulah ayah bahwa dirinya berada dia pohon Mangga. Dan air yang
ditemukannya ternyata tertampung dalam cerukan kecil yang dibentuk oleh
cabang-cabang pohon,
Saat itu ayah hanya berpikir bagaimana kondisi kami. Dan saya yang terpisah dari pundaknya ketika dihantam banjir, ayah sudah pasrah nasib saya. Kondisi ayah di pohon itu, ditolong oleh seorang tentara dan membawa ayah menuju Istana Keuskupan.
Keberadaan kami yang tengah dilanda banjir, diinformasikan oleh ayah ke tentara itu. Yang ternyata adalah salah satu dari 3 orang tentara yang berhasil temukan kami di balik meja makan dan mengevakuasi kami. Dan puji Tuhan, kami masih berada di lokasi rumah itu, meski yang tersisa hanya meja makan.
Di Istana, kami sekeluarga mendapat banyak pertolongan. Baik dari para imam maupun warga yang telah mengungsi di tempat itu. Salah satunya kedua orang tua Guru Vinsen da Silva yang kini bertugas di SMA PGRI Larantuka.
Kami diberi selimut, pakaian, bahkan kedua orang tuanya membawa beras dari rumah mereka sekaligud memasak untuk kami selama di Istana Keuskupan. Rumahnya kini persis di depan Pintu Masuk area wisata rohani Bukit Fatima San Dominggo.
Dan saya masih ingat baju kaos berkerah warna merah yang dikenakan ayah, diberi oleh salah seorang imam di ruang makan Istana Keuskupan saat itu. Entah pula siapa nama imam itu.
Pada kesempatan ini, mewakili keluarga, saya mengucapkan banyak terima kasih dari hati yang terdalam kepada semua yang telah menolong kami ketika itu. Ketiga bapa tentara yang saya tidak tahu namanya, imam-imam di keuskupana, keluarga da Silva di Bukit San Dominggo, dan yang lain yang tak sempat kami sebutkan.
Banjir Terdasyat
Rupanya kejadian dan efek banjir itu sangat menyebar. Tidak saja
di Larantuka Kota. Areal yang terkena, mengitari seluruh kawasan lereng Gunung
Ile Mandiri. Kecamatan Larantuka dan Kecamatan Ile Mandiri kini.
Wilayah yang
terparah di kecamatan Larantuka, yakni: Kelurahan Larantuka, Balela, Pohon Sirih,
Lohayong, dan Postoh. Lumpur, batu, batang pohon, dan aneka material menutupi pemukiman.
Laut menjadi begitu kotor. Menampung seluruh material yang digerus banjir,
termasuk mayat-mayat. Kedasyatan aliran banjir dapat dipantau kini oleh bekas
yang ditinggalkan berupa saluran berukuran 4-5 meter dengan kedalaman 3-5 meter
terbentang dari lereng Gunung Ile Mandiri hingga ke Laut, terletak di Kelurahan
Lohayong dan Postoh.
Selain kehilangan bangunan rumah tinggal dan fasilitas publik, Jumlah
korban meninggal 97 orang, 47 hilang dan 350 orang lainnya luka-luka berat dan
ringan. Ribuan penduduk mengungsi ke berbagai tempat baik di daratan Flores dan
pulau-pulau lain di Flotim.
Kemunkinanu jumlah korban akan sangat besar, jika
saja kejadian itu terjadi tengah malam, di saat warga lelap dalam tidur. Semoga Banjir 1979 menjadi pelajaran paling berharga bagi kita untuk menjaga dan merawat lingkungan dan alam.
Semoga semua jiwa-jiwa korban Banjir 1979 berbahagia bersama para kudus di Surga. Amen.***FrankLamanepa
+ komentar + 2 komentar
Tuhan masih mencintai kita. Biarlah ini menjadi kenangan buat kita anak2 kota reinha. Tora sisa banjir.
Terimakasih Unknown atas Komentarnya di Larantuka, Hujan Deras, dan Banjir 1979Amen
Posting Komentar