Patung Herman Fernandez, foto Simon Lamakadu |
Di tengah Kota Larantuka, jikapun itu disebut alun-alun, maka ada di sana, Monumen atau Patung dua orang dengan dua pucuk senapan. Patung itu kini tak terurus. Prasasti yang semestinya berisi tulisanpun,tak tampak.
Dewasa ini, sepertinya sudah dilupakan. Belum tentu pula, generasi kini mengenalnya. Siapakah dua orang itu, mengapa ada di sana, dan sejak kapan ada di sana. Patung itu diresmikan oleh Menko Polkam Surono di hari Selasa, 16 Februari 1988.
Mungkin pula orang mengenalnya sebagai Patung Herman Fernandez. Siapakah sebernarnya beliau dan Alex Rumanbi yang membungkuk itu?
Berikut ini kami coba mengisahkannya.
Malam itu di bulan Agusutus 1941, kapal KMP “Waikelo” pelan-pelan meninggalkan pelabuhan Ende menuju Surabaya. Dari atas geladak, Herman Fernandez, Frans Seda, Willem Wowor, dan Silvestar Fernandez, terus memandang ke darat, pulau Flores yang makin lama makin sayup-sayup menghilang dalam kejauhan malam.
Sebelumnya, kira-kira jam 8 malam itu, Herman datang menemui kakaknya Philomena Fernandez. Keduanya sangat dekat. Kepada kakaknya, yang kemudian menjadi Suster Emilia Fernandez, ia memberitahukan bahwa dirinya akan segera meninggalkan Ende pergi ke Jawa. Sambil merangkul kakak perempuannya itu , Herman berpesan bahwa dia pasti akan kembali lagi suatu saat. Sementara Frans Seda, saat itu sudah berada di atas perahu untuk naik ke kapal.
Sebelumnya, kira-kira jam 8 malam itu, Herman datang menemui kakaknya Philomena Fernandez. Keduanya sangat dekat. Kepada kakaknya, yang kemudian menjadi Suster Emilia Fernandez, ia memberitahukan bahwa dirinya akan segera meninggalkan Ende pergi ke Jawa. Sambil merangkul kakak perempuannya itu , Herman berpesan bahwa dia pasti akan kembali lagi suatu saat. Sementara Frans Seda, saat itu sudah berada di atas perahu untuk naik ke kapal.
Di atas kapal mereka bertemu dengan seorang gadis asal Maumere, Nona Helena [isteri mantan Bupati Sikka, Lourens Say] yang juga hendak ke Surabaya. Selain mengangkat penumpang, “Wai-kelo”, seperti biasanya, juga mengangkut hewan [sapi]. Herman, Frans, Wowor, dan Sil tidur di dek, sekaligus menjadi pengawal Nona Helena.
Tiba di Surabaya
Pagi yang cerah, masih di bulan Agustus 1941. Setelah berlayar selama dua malam tiga hari, KMP Waikelo akhirnya merapat di pelabuhan Surabaya. Pintu kapal belum dibuka. Para penumpang belum diperbolehkan turun. Sementara di udara, beberapa pesawat tempur terbang melintas. Rupanya sudah mulai memasuki suasana perang.
Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri mereka. Tetapi Herman, Frans, Wowor, dan Sil tidak menghiraukannya. Di hati mereka masih terngiang pesan pastor di Ndao pada malam terakhir Khursus Peradaban. “Awas, pergi ke kota besar banyak sekali godaannya. Di sana ada yang disebut kupu-kupu malam. Kalian tidak boleh melihatnya, apalagi mendekati. Itu dosa! Dan kalau mati langsung masuk api neraka.”
Inilah tulisan yang hilang pada prasasti Monumen itu |
Turun ke dermaga, Herman, Frans, Wowor, dan Sil, bingung. Apa yang harus mereka lakukan. Beruntung ada seorang Oom Tentara. “Mau ke mana?”, tanyanya. “Mau ke Muntilan”, jawab mereka. Kebetulan Oom Tentara itu mau ke Muntilan juga. Ia lalu mengajak mereka bersama naik taxi. Banyak kenangan diperoleh selam perjalanan. Di beberapa tem-pat, orang-orang menghampiri mereka, sambil mengulurkan tangan ke dalam taxi. “Baik benar orang jawa ini. Belum kenalan saja sudah pingin salaman.”
Tetapi, lagi-lagi keempat pemuda Flores yang baru dating dari kampung itu menjadi malu sendiri. Belakangan baru diketahui bahwa yang dikira orang-orang yang ingin bersalaman itu, ternyata para pengemis. Maklum, di Flores mereka tidak pernah melihat pemandangan seperti itu. Apalagi itu tahun 1941.
Sorenya mereka tiba di Ambarawa. Hari mulai gelap, perjalanan tidak diteruskan ke Muntilan. Terpaksa harus bermalam. Kesempatan pertama ini, supaya tidak disia-siakan, Herman, Frans, Wowor, dan Sil pergunakan untuk menonton hingga empat film sekaligus, meskipun filmnya cuma film bisu. Film pertama yang ditonton adalah “Terang Bulan Terang di Kali”. Bintangnya Rukijah dan Raden Mochtar. Keesokan harinya, baru perjalanan diteruskan ke Muntilan.*** [bersambung #Part2]
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988.
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988.
+ komentar + 2 komentar
Monumen ini tepat di jantung kota Reinha. Darah dipacu dari jantung menuju tubu manusia. Jika Herman Fernandez dilupakan, bukan sekedar ada masalah dengan manusia penghuni kota Reinha. Nilai perjuangan akan pergerakan nasional tersembunyi rapi. Di dalamnya tersembunyi energi pergerakaan untuk membuka katup ketidakadilan, ketidakbenaran, dan ketidakjujuran. Herman Fernandez adalah lambang Nilai kemanusiaan yang sengaja dilupakan agar kepentingan pribadi dan golongan bebas berkeliaran. welewelewele
Terimakasih www.krisantuskwen.blogspot.com atas Komentarnya di Herman Fernandez, Pahlawan Bangsa [mulai] Terlupakan #Part 1Kak, ada foto Herman Yosef Fernandez kah? Sekiranya ada mohon dibagikan ya, kak
Terimakasih Astuty HAR atas Komentarnya di Herman Fernandez, Pahlawan Bangsa [mulai] Terlupakan #Part 1Posting Komentar