Gerbang Fort Henricus XVII [Benteng Lohayong] 1930 [Sumber: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute]
|
Saat ini, kita mendengar, dari tanah yang dahulunya menjadi Bandar Perdagangan bagian tenggara Indonesia, bahkan terkenal hingga ke Eropa, terjadi konflik sengketa tanah yang telah sebabkan menghilangnya nyawa sesama saudara dan ratusan rumah penduduk. Tulisan ini sekadar mengingatkan betapa mashyurnya daerah ini dahulu sekaligus menjadi daya tarik perebutan dengan peperangan.
Perjanjian Saragosa tahun 1529, Spanyol menyerahkan kekuasaan atas
wilayah rempah-rempah (Maluku) kepada Portugal dengan ganti rugi 350.000
dukat. Selain berdagang rempah-rempah, orang Portugal juga dalam
perjalanan mencari rempah-rempah, mereka menemukan pulau Timor dengan
hasil Cendana Putih. Cendana ini ditukar dengan Sutra dan Porselin dari
China. Sutra dan Porselin sangat mahal di Pasar Eropa. Oleh
karena sulitnya memperoleh Cendana di Timor, karena suku-suku di Timor
yang sudah terbiasa bergaul dengan pedagang Asia, telah bersatu
mendirikan negara-negara kecil dengan memonopoli perdagangan dan
berhasil menghalangi pedagang asing mendirikan pemukiman yang tetap.
Menghadapi
situasi ini, orang-orang Portugis mencari tempat-tempat yang nyaman
untuk didirikan benteng-benteng yang kokoh. Sebagai tempat persinggahan perjalanan dari Timor sekaligus sebagai pengawasan atas jalan
laut. Selat-selat yang terlindung dari angin antara Flores dan
Adonara-Solor, adalah sangat cocok.
Berdasarkan Surat
Pater Baltazar Dias, Imam Jesuit, 1559. Telah ada 300 orang Kristen di
Solor dan Flores, termasuk raja Solor dan orang ternama lainnya. Maka tahun 1562 biarawan Dominikan dan pedagang Portugal membangun sebuah benteng
di Lohayong-Solor. Namun benteng ini setahun kemudian diserang dan
dibakar oleh orang-orang Muslim dari Jawa. Tahun 1566 dibangun lagi di tempat
ini, benteng lebih kokoh dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam.
Juga menjadi pusat kegiatan misionaris Dominikan yang hanya dalam setahun
telah mencapai 2500 orang Katolik di Flores, Solor dan Adonara. Benteng
ini seringkali diserang, dirampok dan dibakar. Sering dilakukan oleh
orang-orang muslim, termasuk Kesultanan Ternate yang menganggap Solor
masuk dalam wilayah mereka.
Rupanya yang membuat
runtuhnya pertahanan Benteng Lohayong adalah konflik antara misionaris
Dominikan dan pedagang Portugal. Hubungan baik yang menguntungkan antara
para pedagang Portugal dengan rekan-rekan pedagang Muslim, sering
dirusak oleh para misionaris. Maka tahun 1598, ketika terjadi konflik
antara dua kelompok di Solor, mereka memihak salah satu kelompok. Tak pelak konflik meluas dan terjadilah pemberontakan penduduk Solor, lalu
benteng diserang dan dibakar.
Kebanyakan pedagang
meninggalkan Solor menuju pantai timur Flores dan membangun pusat
perdagangan baru, Kota Pelabuhan Larantuka dibawah perlindungan Raja
Larantuka. Sedangkan pertahanan Portugal hanya tersisa benteng Ambon.
Belanda dalam tahun 1605 berhasil merebutnya dan mengusir Portugal keluar dari Maluku di bawah pimpinan Jendral Arnold de Vlaming van Oudtshoorn.
Tahun 1613, Kapten Belanda,
Apollonius Scotte, dikirim ke Solor untuk merebut Benteng Lohayong
dengan 2 armada kapal. Serangan berhasil, banyak orang Portugal ditangkap dan dibawa ke Malaka. Namun beberapa orang Portugis berhasil
lolos bersama rohaniwan Katolik dan banyak pribumi Katolik melarikan diri ke Larantuka.
Gerbang Benteng Lohayong kini, Pict by Frank Lamanepa |
Tahun
1622 Jan Thomaszoon Dayman diangkat menjadi komandan benteng. Bersama
istrinya seorang perempuan Solor, serta anak-anaknya, mereka pergi
menetap di Larantuka dan beralih menjadi Katolik. Penggantinya, Jan de
Hornay [Keturunan Eurasia/Yahudi]. Keberatan terhadap kepemimpinannya terus berkembang dan ketika
ia akan ditangkap, ia melarikan diri ke Larantuka tahun 1628 dan
mengawini seorang pribumi dan menjadi seorang pedagang yang sangat
kaya.
Tahun 1630, Portugal berhasil merebut benteng
Lohayong dan menempatkan sebuah Garnisum kecil di situ, yang juga
beranggotakan beberapa serdadu Afrika dari Mosambik. Pusat misipun
dipindahkan kembali ke Lohayong. Ketika Belanda hendak melakukan
serangan dalam tahun 1636, garnisum itu menyerah tanpa perlawanan. Hal
itu disebabkan biaya pemeliharaan benteng tidak sepadan dengan
kegunaannya untuk perdagangan. Maka pusat perdagangan dan misi,
dipindahkan kembali ke Postoh-Larantuka.
Tahun 1646 VOC
memutuskan untuk mengirimkan lagi satu pasukan untuk mempertahankan
benteng itu. Ketika sebuah gempa bumi besar menghancurkan benteng itu
di tahun 1648, orang Belanda hanya mengadakan perbaikan darurat, tidak
memugar kembali secara besar-besaran. Ditambah lagi dalam tahun 1653
mereka berhasil merebut benteng Portugis di Kupang dan dinamai Concordia. Dengan demikian
Belanda menetap dengan kokoh di Pulau Timor. Solor tidak mempunyai arti
lagi dari segi militer. Selain itu, Larantuka sudah lama melampaui
pemukiman Solor sebagai pusat perdagangan.*Frank Lamanepa
Posting Komentar