Rabu, 17 Mei 2017

"TERIMA KASIH" Dalam [Bahasa] Lamaholot



Dalam sebuah seminar atau diskusi panel tahun 2008 dalam rangka "Peringatan Satu [1] Abad Kebangkitan Nasional" di Gedung Ina Mandiri Larantuka, clossing statements seorang panelis demikian: "Dalam Budaya Lamaholot, tidak mengenal ucapan 'terima kasih' untuk tiap perbuatan [baik] yang diterima".

Pandangan itu sangat mudah diterima, melihat dalam Tata Bahasa Lamaholot, tak ada frase yang tegas bermakna "terima kasih" sekaligus tak terbiasa ucapan bermakna sejenis ditujukan kepada pihak lain pada saat telah menerima kebaikan tertentu. Berbeda dengan entitas tetangga Maumere yang mengenal frase "Epang Gawang" yang maknanya "terima kasih".


Ucapan "terima kasih" sesuai pakemnya diucapkan setelah seseorang menerima sesuatu [yang baik] karena berfungsi telah membantu. Maka orang Batak menyebutnya "Mauliate". Jawa menyebut "Matur Nuhun". "Arigatou Gozaimasu" pakem di Jepang. Di Perancis umumnya "Merci" [mare-see] dengan tambahan seperti "Merci Bien" [~ bee-ehn] atau "Merci Beaucoup" [~bow-koo] yang artinya "Terima Kasih Banyak".


Dalam KBBI, frase "Terima Kasih" dimaknai sebagai "[Ucapan] Rasa Syukur". Menurut Kamus Oxford, frase "Thank You" didefenisikan sengan [salah satunya]: "a polite expression used when acknowledging a gift, service, or compliment, or accepting or refusing an offer" [Ucapan Sopan; Pengakuan atas Bantuan (Pujian); Menerima atau Menolak Tawaran].


Jika hanya melihat dari dua rumusan di atas untuk menelaah karakter Orang Lamaholot, sangat mudah mengambil simpul: Orang Lamaholot tak [terbiasa] berterimakasih atas bantuan yang diterima. Sepertinya masuk akal simpulan ini. 


Tapi benarkah demikian, orang Lamaholot tak tahu "Rasa Syukur"? Tentu juga tidak! Tapi?


Bahasa tentu saja lahir dari budaya pembentuknya. Lalu budaya karena "tindak tanduknya" warga entitas. "Tindak tanduk" terbentuk lantaran ada "Sistem Nilai" yang diakui tanpa syarat, dirawat, dan menjadi "Pedoman Hidup" bermasyarakat [Interaksi Sosial]. Menjadi penting terdahulu menelisik nilai-nilai entitas tersebut.


Orang Lamaholot menyebut Manusia dengan dua kata "Ata Diken". Tidak hanya "Orang" [Ata] saja, dilengkapi dengan "Baik/Mulia" [Diken] sebagai satu-kesatuan identitas. Malah lengkapnya dengan "Ata Sare Budhi Diken" [Orang Baik Berbudi Mulia]. 


Mendasari identifikasi yang demikian, ketiadaan yang tegas atas ungkapan "terima kasih" dapat dijadikan titik masuk menelusuri dan memaknai. 


Bahwa karena konsep atau Lamaholot mengkonsepkan manusia sebagai "Orang Baik Berbudi Mulia" maka tiap perbuatan [prilaku] baik adalah hal yang lumrah. Sesuatu yang semestinya. Sebuah keharusan yang menjadi ruh dari entitas Lamaholot dimana salah satunya dipicu oleh pandangan “Hunge baat tonga belolo lugu rere” [Menjujung tinggi dan rendah hati (kepada semua orang)].


Maka, untuk apa lagi ucapkan sesuatu yang tak diperlukan? Malah mungkin akan dianggap sebagai suatu hal yang menurunkan kualitas Ata Diken tadi. Bandingkan dengan adagium "Berbuat tanpa pamrih". Bukankah ini praktek dari adagium itu sejatinya, tindakan tanpa kata-kata? Dan pamrih, apakah juga termasuk harapkan ucapan “pengakuan” [Terima Kasih]? 


Perbuatan baik sebagai kebiasaan [maka membudaya] dapat ditemui hampir ditiap tindakan. Setiap pagi misalnya di Adonara, penghuni rumah jika ingin santap ‘keluo’ [makanan santap malam], terbiasa mengajak tetangga untuk santap bersama; termasuk orang yang sedang melintas. Apalagi sekadar nikmati minum pagi, siapapun yang melintas diajak.


Budaya ajak santap bersama ini dapat dipahami dari nilai yang tertanam dalam kalimat: “Tekan tabe gika ukun, tenu tabe lobo luan” [Makan dibelah-bagi bersama, minum diukur-sisakan bersama] contohnya. Maka ketika yang diajak tadi terlibat santap bersama, pasca santap tidak ada tradisi lisan ditemukan yang bersangkutan mesti mengucapkan frase yang bermakna “terima kasih” untuk kembali ke kediamannya. Tidak ada ucapan sejenis itu.


Tapi mengutip lagi defenisi “Terima Kasih” dari KBBI merupakan “Rasa Syukur” saja, maka ungkapan rasa syukur dalam Bahasa Lamaholot tidak kekurangan. Sebut saja misalnya: “Onen mela sare” [Hatimu baik], “Onem.mela tua” [Hatimu baik sekali], “Senaren” [Baik (sekali)], “Senareko” [Kamu baik]. Tapi lagi² ungkapan ini tidak an sich digunakan dalam kedudukan layaknya ucapkan “Thank You”.


Pun tak jauh berbeda dengan pengucapan salam. Meski dalam Bahasa Lamaholot soal waktu seperti  pagi, siang, dan malam ternamakan [Hogohulen=Pagi, Malam,=Rema, Siang=Reron], tapi dalam Lamaholot tidak mengenal salam dengan formula seperti dalam Bahasa Indonesi atau Inggris. 


Justru tamu yang datang mengucapkan kalimat pembuka yang agak berbeda maknanya seperti: “Bua kae?” [Sudah makan?], “Mete ma’an aku?” [Sedang lakukan apa?]. Tapi inilah salam khas dalam pertanyaan [Kebiasaan di Pulau Adonara]. Soal mengucapkan salam [Tena], budaya Lamahholot lebih kental ketimbang ucapkan terima kasih. 


Siapapun, kenal atau tidak pasti disapa saat berpapasan, ingin men/di-dahului, atau ketika ada melintas di depan kediaman, malah terkesan cepat²an menyalami. Seperti: “Molo…” [Silakan [kamu] duluan], “Kolo” [Saya duluan ya], “Nare atau Kreu” [Selamat ya/mohon pamit].


Maka bisa saja pola itu, hanya mengenal salam ketimbang ucapkan “terima kasih”, sekonteks dengan Budaya Aisatsu di Jepang. Bahwa ucapan “terima kasi” digolongkan dalam salah satu bentuk persalaman. Dalam artian, kata “terima kasih” dalam konteks Lamaholot sudah include dalam [meng]ucap[k]an salam [Tena].


Lalu, jika ucapan “terima kasih” itu bermakna “rasa syukur”, lantas rasa syukur itu hanya dapat diwakili oleh ucapan saja atau bisa melalui tindakan? Hemat saya, sebab lainnya sulit memastikan frase  “terima kasih” an sich ada dalam Budaya Lamaholot dikarenakan kesadaran merawat nilai tindakan jauh lebih mulia ketimbang ucapan. 


Adalah lebih penting di sini, Lamaholot sebagaimana kekhasan masyarakat tradisional, budaya simbolik lebih ditonjolkan dalam mengungkapkan dan/atau menunjukkan “rasa tertentu”.


Beberapa tempat di Lamaholot, ketika kita terima hantaran berupa makanan, wadah makanan itu [misalnya piring atau mangkok] saat itu juga dikembalikan tanpa perlu membersikannya. Maknanya tak lain memberi “pesan” kepada yang memberi bahwa si penerima telah menerima dengan senang hati dan tidak akan melupakan kebaikan itu. Bukankah ini gambaran rasa syukur atau terima kasih itu?


Lalu bandingkan juga dengan pola tindakan sebagai bentuk rasa syukur dalam Budaya Ojigi di Jepang yang masih dipraktekan hingga kini. Ketika kedua belah pihak yang berhadapan saling membukukkan badan beberapa kali. Mestikah memerlukan ucapan untuk menangkap makna Ojigi itu? Bukankah tindakan Ojigi itu adalah ungkapan rasa syukur atau terima kasih?※※※


#kembalikanbudayalokal #banggadenganbudayasendiri #banggamenjadilamaholot #ayokeflorestimur


©francislamanepa | 16052017 | Larantuka | Lamaholot | Masih Indonesia |
Share this article now on :

+ komentar + 4 komentar

21 Oktober 2017 pukul 10.29

Mantap Ade Francis jadi mengerti sekarang ternyata Budaya Lamaholot lebih luas lapang dari sekedar " ungkapan "terima kasih" Orang lamaholot selayak dan sepantasnya harus tau nilai-nilai keuramaan Lamaholot... JIka tidak bukan orang Lamaholot... Semoga oleh bimbingan ROH KUDUS kita akan dituntun, dibimbing dan didorong untuk menjadi "Ata Sare Budhi Diken". SNAREKO!!!! God bless all of us. Amen!

Terimakasih Rikardus Umbu T. Nippa atas Komentarnya di "TERIMA KASIH" Dalam [Bahasa] Lamaholot
21 Oktober 2017 pukul 10.30

Mantap Ade Francis jadi mengerti sekarang ternyata Budaya Lamaholot lebih luas lapang dari sekedar " ungkapan "terima kasih" Orang lamaholot selayak dan sepantasnya harus tau nilai-nilai keuramaan Lamaholot... JIka tidak bukan orang Lamaholot... Semoga oleh bimbingan ROH KUDUS kita akan dituntun, dibimbing dan didorong untuk menjadi "Ata Sare Budhi Diken". SNAREKO!!!! God bless all of us. Amen!

Terimakasih Rikardus Umbu T. Nippa atas Komentarnya di "TERIMA KASIH" Dalam [Bahasa] Lamaholot
3 Februari 2020 pukul 15.58

Jd yg selama ni ata wahankae aen daharo ne naku ternyata beginilah kira2 penjelasan nae... senareko ama

Terimakasih Unknown atas Komentarnya di "TERIMA KASIH" Dalam [Bahasa] Lamaholot
28 Oktober 2021 pukul 13.59

ibdah penjelasannya dan merasuk sukma.Onen mela sare. Senaren.

Terimakasih Unknown atas Komentarnya di "TERIMA KASIH" Dalam [Bahasa] Lamaholot

Posting Komentar