Rabu, 03 Februari 2016

PANTE USTE: Sejarah Lewo Balela

Pantai Uste Balela di tahun 1915 [Sumber: Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute].
Masyarakat NTT atau mereka yang konsern terhadap lagu daerah, pasti cukup tahu dengan lagu "Bale Nagi" dari Larantuka. Syair lagu ini berawal dengan "Lia lampu menyala di Pante Uste". Tapi belum tentu mengetahui di mana itu Pante Uste [Pantai Suster]. Lagu ini begitu "dasyat menampar" mereka yang sedang berada di perantauan. Berkisah kerinduan putra Larantuka terhadap keluarga dan keinginan untuk kembali-pulang. 

Pantai yang digambarkan ini, terletak di Kelurahan Balela. Disebut Suster, lantaran pantai ini terletak persis di depan Biara Susteran SSpS. Kini wajah pantai ini jauh berbeda semenjak pesisir kota Larantuka ke arah barat, direklamasi menjadi Taman Kota.
Penuh Sejarah

Pantai ini punya kisah yang cukup kuno. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Larantuka. Sebagai tempat "barter" hasil bumi dan juga lokasi pencarian biota laut [Bekarang] masyarakat "awal" Balela, yang pemukimannya masih di Gunung Ile Mandiri dii tempat yang bernama "Sigo Lewo Lale" [kini disebut Lale, lalu pindah ke Keledo, juga masih di dekat Lale]. Lokasi ini beberapa puluh tahun lalu, sebagai kebun masyarakat Balela, oleh pemerintah direboisasi dengan tanaman Lamtoro Gung dan Kemiri. Kita masih bisa melihat tanaman Kemiri, Lamtoro, Nangka, Jeruk, dan Pohon Kelapa.

Sementara, di bukit sebelah timur Lale, sedikit lebih rendah, bernama Woto, adalah tempat kediaman "Watowele dan Patigolo Arakian". Hingga kini dapat dijumpai makamnya, yang selalu diziarahi keturunan raja Larantuka.


Pondok Pemancing di Pante Uste
Nama Sigo Lewo Lale sendiri bermakna Kampungnya keturunan Sigo [Igo]. Igo ini adalah keturunan dari "Lalapan Doro Duli", anak kedua Patigolo Arakian. Anak pertamanya "Kudi Lelen Bala" [Menetap di Waibalun, turunannya kini bermarga Balun]; ketiga "Padu Ile" menetap di kawasan Riangkemie [Mudakaputu] yang turunannya kemudian menjadi Raja Larantuka berdinasti DVG [Diaz Viera de Godinho].

Pada awalnya, hanya ada beberapa kampung di pesisir kota Larantuka. Diantaranya Waibalun, Balela, dan Lewonama. Kampung Balela berbatasan langsung dengan Waibalun. Batas itu kini ada di Kelurahan Pantai Besar, persis tikungan sebelum "Pase Panja" menuju Podor. Termasuk Pantai Besar, kawasan yang dulunya menjadi wilayah Balela adalah Kelurahan Larantuka, Kel. Balela sendiri, dan Kelurahan Pohon Sirih.

Nama Balela sendiri mungkin juga berasal dari kata "Lale". Ada juga secara "subjektif" menyebutnya dari kata "mbalelo" [pembangkang]. Mungkin lantaran di zaman awal, kaum Balela ini "sering" berperang melawan Kerajaan Larantuka.

Sama seperti masyarakat Lamaholot lainnya, Lewo Balela juga memiliki 4 Pilar utama [Suku] dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat. Koten, Kelen, Hurint, Maran. Dari ke-empat suku ini, kini sudah beralih nama. Suku Koten menggunakan marga "da Costa". Kelen dan Maran menjadi "da Silva ama Maran" dan "da Silva ama Kelen". Sedangkan Hurint kini menjadi turunan suku Lamuri. Nama da Costa dan da Silva adalah bahasa Portugis. Suku-suku ini kini masuk dalam "Suku-suku Semana". Yang sangat terasa dalam masa Semana Sancta [Pekan Suci], masa seminggu setelah Minggu Palm dan Minggu Paskah di Larantuka.

Pantai Uste juga terdapat Galangan Kapal milik Misi [Keuskupan Larantuka], lengkap dengan rel dan sebuah jembatan; satu-satunya galangan kapal se Flotim dan Lembata. Galangan kapal itu sudah jadi Taman Kota; Rel untuk docking kapal telah tertimbun pasir. Tertinggal jembatan yang sudah sangat parah dengan bagian ujungnya rusak berat. Konon jembatan ini rusak "kena Bomb" masa pendudukan Jepang".
Pante Uste Kini, Lokomotif Ekonomi

Pasir Pante Uster berwarna abu-abu-kehitaman. Areal ini cukup landai. Sehingga sejak dahulu dijadikan tempat pendaratan para nelayan tradisional sekaligus dijadikan "tempat tinggal sementara" [Nelayan Solor]. Termasuk lokasi pasar barter para pedagang hasil bumi dari pulau Solor. Era 80-an, masih terlihat hasil bumi Solor diturunkan di sini.
Hasil Tangkapa Nelayan Pante Uste dijual di pintu masuk Pante Uste

Jika kini anda kembali ingin melihat Pantai Suster, bentangan pasir dan tanahnya hanya tinggal sekitar 50 - 75 m. Dibatasi dinding tembok Taman Kota [beruntung pihak Pemda waktu itu, berhasil memenuhi tuntutan warga Balela untuk tidak menjadikan kawasan "penuh sejarah" ini sebagai Taman Kota]. Meski beraneka sampan [Bero] dan kapal kecil penangkap ikan tanpa atap bermesin kecil, betebaran di pasir dan pesisir pantai. Maka inilah satu-satunya lokasi pantai di Larantuka kota yang tidak tertutup tembok sekaligus nelayan tradisional masih bisa menyimpan sampan-sampannya. Tidak hanya nelayan Balela, tapi juga untuk dua kelurahan sekitarnya; Pohon Sirih dan Larantuka.
Minggu pagi, 20 Sept 2015, seperti beberapa waktu sebelum-sebelumnya, saya menyempatkan diri berkunjung ke tempat ini. Di sana sudah ada beberapa orang yang menunggu kedatangan nelayan bersama hasil tangkapnya. Seperti biasa, pantai ini cukup ramai saban hari mulai dari pkl. 07:00 - 11:00 Wita.

Aku sangat mengenal pantai ini. Bahkan dari usia baru beberapa tahun, sudah diajak tetangga untuk mancing; malam maupun siang, menggunakan sampan [Odoń, Tonda, Menyulo] atau di tepi pantai [Lambo/Lempa, Bekarań]. Sebagian besar waktuku sepulang sekolah, kuhabiskan di tempat ini [juga "bermaen" sepak bola], dan Lale [untuk mencari kayu bakar]. Sekadar untuk mandi. Termasuk wilayah perairannya. Saat SMA, aku lebih banyak mencari ikan dengan cara "menembak" dengan "Bedil" buatan sendiri termasuk kaca mata selamnya.

Kusapa semua yang ada di sana. Hampir semua nelayan itu aku kenal. Bahkan beberapa diantara mereka sahabatku sewaktu kecil, sering bersama-sama menghabiskan waktu di pantai ini. Aku ke bibir pantai. Ada sampan yang baru tiba, ingin kulihat hasil tangkapannya. Ternyata itu sahabatku tadi. Tangkapannya lumayan.

Di tempat ini juga telah didirikan pondok kecil untuk nelayan. Obrolan nelayan sering terjadi di sana. Tempat santap nelayan sebelum dan sesudah mancing atau sekadar minum kopi buatan istri. Seperti saat itu, seorang istri nelayan, menyapa suaminya di pondok itu sambil membawa masakan dan minuman buatan rumah. Kadang juga beberapa diantara mereka "tidur" di pondok itu menunggu waktu yang tepat melaut, semisal dini hari.


Yoce da Silva Ama Maran, salah seorang nelayan Balela dengan hasil tangkapnya




Para nelayan tradisional ini, telah mengorganisir diri dalam sebuah paguyuban. Organ ini dibentuk terutama untuk penentuan harga jual hasil tangkapan. Di pinggir jalan raya kawasan ini, telah dibuat tempat sederhana dari kayu untuk memajang hasil tangkap. Harga ikan-ikan ini cukup variatif. Rata-rata Rp. 25.000 - Rp. 35.000 seikat. Bahkan hingga ratusan ribu seekor.

Seperti terlihat hari itu. Diantara ikan yang dipajang, terdapat dua ikat yang sangat menonjol berwarna coklat. Ikan Kerapu. Ukurannya cukup besar. Satu ekor dibandrol Rp. 250.000. Keinginanku begitu kuat untuk bisa nikmati ikan yang baru saja ditangkap. Oleh pemiliknya membolehkan menjual salah satu sisinya dengan Rp. 125.000. Sayang, uangku tak tersedia sebanyak itu [Hehehehe].

Bisa jadi anda ingin ketahui berapa penghasilan para nelayan ini hanya dengan menjualnya di area itu. Pendapatan mereka sehari berkisar antara Rp.400.000 - Rp. 600.000. Tak perlu dihitung selama 30 hari, cukup selama 20 hari kerja saja. Maka sebulan penghasilan mereka jika diambil rata-rata sehari Rp.500.000 adalah Rp.10.000.000 [sepuluh juta rupiah]. Sangat fantastic ukuran Larantuka, yang rata-rata ingin menjadi PNS [bandingkan penghasilan PNS sebulan; tak ada artinya dengan nelayan ini; hahahahaha].

Alam Lamaholot terlalu kaya dengan ketersediaan yang tak terbatas. Sayang kaum muda Lamaholot terlalu banyak menganggap remeh hasil laut, ketimbang berlomba "tak kenal batas" menjadi PNS. Bahkan terlalu sering mengeluh tentang lapangan pekerjaan yang tidak tersedia oleh pemerintah. Maka, mengajak mereka untuk mengenal lebih "mesra" nelayan tradisional di Pante Uste ini, mungkin sedikit banyak dapat merubah cara berpikir dan berprilaku.

Termasuk bagi anda yang ingin mendapatkan hasil tangkapan yang segar dan bergizi tinggi dari laut yang masih jernih dan kaya, silakan datang ke Pante Uste setiap pagi..*** FrankLamanepa
Share this article now on :

Posting Komentar