Rabu, 10 Juni 2015

Maria Loretha, Melawan Kelaparan dengan Sorghum

Maria Loretha di lahan Sorghum Likotuden,
Demon Pagong, Flotim
Saat itu sekitar tahun 2012. Saya baru saja menyalakan televisi. Seperti biasa langsung saja saya memilih channel berita. Kick Andy Show. Si jurnalis berkepala plontos itu, sedang wawancarai seorang ibu muda. Wajah itu seperti tak asing. Begitu familiar. Benarkah dia yang kumaksud? Atau jangan-jangan wajahnya mirip. Aku ingin pastikan. Ingin kudengar Andy Noya memanggilnya siapa. Maria Loretha. Sontak decak kagum tiba-tiba keluar. Pasalnya, siapapun yang masuk dalam acara itu, tentulah memiliki prestasi tertentu. Bagaimana tidak, seorang masyarakat biasa Flores Timur masuk dalam acara yang cukup bergengsi di televisi berita nasional. 

Ia bukan pejabat, bukan istri seorang ternama di Flotim. Ia hanya petani biasa bersama suaminya yang juga petani, tinggal di Pajinian. Sebuah desa kecil di Ke-camatan Adonara Barat. Rumahnya cukup terpencil di pesisir pantai. Sangat jauh dari pemukiman penduduk di areal kebun masyarakat. Di halaman rumahnya inilah, bersama suami, Jeremias D. Letor mengusahakan tanah kering itu untuk menghidupi kebutuhan keluarga mere-ka. Lahan itu milik keluarga suami yang berasal dari Kelurahan Waibalun, Larantuka.

Tata. Begitulah ia disapa. Saya mengenalnya dengan baik semenjak 2007. Kami cukup akrab. Kerap Tata berkunjung ke rumah di Balela, Larantuka, dengan membawa sayur-mayur yang ia tanam sendiri di kebun miliknya. Beberapa kali saya menyempatkan diri mam-pir ke kediamannya di Pajinian. Ia memang tipe wanita aktif. Terlibat dalam beberapa organisasi. Punya mimpi yang luar biasa dalam urusan pemberdayaan. Seorang istri dan ibu dari 4 orang anak, sebagai keluarga petani kecil, tidak banyak yang tahu kalau Ibu Tata ini seorang sarjana. Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Mer-deka Malang, Jawa Timur.

Perkenalannya dengan sorghum terbilang sangat sederhana. Demi memenuhi kebutuhan hidup, sekitar tahun 2005, bersama suami mereka menggarap lahan kering di halaman rumah mereka. Kacang-kacangan, umbi-umbian, beras merah dan jagung mereka tanam. Pikirannya waktu itu, hidup butuh makan. Tidak lebih.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan keluarga besarnya. Perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1969 dan alumnus SMA St. Fransiskus I Jakarta ini, berasal dari keluarga mapan. Ayahnya seorang mantan hakim terkenal yang menyidang Xanana Gusmao sebelum menjadi Presiden Timor Leste. Tak begitu jauh berbeda dengan keluarga suaminya. Tetapi itu keluarga mereka. Mereka harus memulai dari awal. Dari lokasi yang sangat terpencil. Dan pilihan itu jatuh pada bertani.
Bersama Uskup Larantuka, Gubernur NTT dan Wabup Flotim
panen perdana Sorghum Likotuden, 21/03/2015

Berbekal pemberian bibit sorghum (watabelo-lon) setengah gelas dari seorang tetangganya, Tata kemudian mulai menanam di lahannya. Tahun 2007, setelah berhasil panen sorghum, perempuan keturunan suku Dayak Kanayatn ini, semakin tertarik dengan sorghum. Ia mulai mencari bibit sorghum ke beberapa wilayah di Flotim. 

Watablolon memang bukan tanaman asing di Flotim. Merupakan tanaman lokal yang sudah sangat lama dikenal. Flotim mengenalnya de-ngan beberapa sebutan lainnya, yaitu jagung Solor dan jewawo. Namun semenjak era 90-an tanpak mulai berangsur menghilang seiring merebaknya tanaman jagung, padi, dan varietas lainnya yang lebih dominan ditanam. Hal inilah yang menjadi daya dorong utama bagi Tata untuk menghidupkan kembali keja-yaan watablolon Lamaholot. Memberdayakan pangan lokal terutama di kebun miliknya.

Dengan pemahaman demikian, Tata bersama suami dan petani membentuk lembaga Cinta Alam Pertanian 2007. Semenjak itu sorghum betul-betul menjadi hal penting dalam kehidupan Tata. Tidak hanya menjadi petani, demi membudidayakan dan memasyarakat sorghum, Tata juga menjadi pendamping petani. 

Di NTT, Tata mendampingi petani lahan kering di 8 kabupaten. Flotim, Lembata, Ende, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote, dan TTS. Tata juga menjadi fasilitator beberapa LSM lokal.

Beberapa penghargaan yang telah Tata terima
“Frank, tahukah kamu bahwa sebenarnya ada satu cara paling mudah dalam menghilangkan image minus NTT yang sering alami gizi buruk dan kekurangan pangan.Yaitu watablolon. Ta-naman ini sangat cocok dengan kondisi tanah NTT yang gersang dan kering. Tidak boros air. Tak rumit merawatnya”, terang Tata ketika berjumpa di Hotel Sasando Kupang, selepas menghadiri kegiatan terkait sorghum 2012 si-lam. 

Kalimat yang sama ini, sering kude-ngar dan kubaca hingga kini. Entah melalui pesan singkat maupun berjumpa dengan Mbak Tata. Begitulah aku menyapanya. Terbiasa dari dulu. Meski terkesan ke jawa-jawaan, tapi ini lan-taran bersama suaminya, kami berkuliah pada kampus yang sama.

Sambil nikmati kopi, Tata menceritakan kisahnya mendampingi kelompok-kelompok tani se NTT. Ia perlihatkan juga gambar-gambar aktivitasnya. Termasuk berbagai penghargaan tingkat nasional yang ia terima, sebagai bentuk apresiasi usahanya. Kulihat kilatan semangat begitu meninggi pada sorot matanya ketika Tata menbicarakan orientasi dan mimpinya dalam membudidayakan watablolon ini.

Semoga berbagai penghargaan yang telah Tata terima, tidak membuatnya terlena dan berpuas diri. Tapi menjadi cambuk dalam memacu niatnya menjadikan pangan lokal sebagai “emas” tidak akan pernah pupus. Termasuk ketika Mei 2015 ini, sebagai delegatus Caritas Indonesia menerima penghargaan internasional di Roma, Italia.***Frank Lamanepa

Share this article now on :

Posting Komentar