Kamis, 18 Mei 2017

L A M A H O L O T I S M E

Teluk Larantuka dengan latar Pulau Adonara dan Solor

Dr. Alexander Irwan, membuatku greending. Tidak saja merinding, lebih dari itu menampar sengit hasratku yang kelampau kafir karena murtad [Terlalu over ya? Anggap saja kebanjiran libido. Upssss! :P ] Astaga! Ya! Aku lahir dalam titisan darah leluhur yang teramat ramah merawat dan kekeuh membumikan apa yang disentilnya.

Bisa jadi aku pongah saking "merasa" kebanyakan menyerap nilai-nilai barat, yang dianggap paling adiluhung seantero Bumi. Dan kupikir, Kennedy dan Marx di alam sana nyinyir. Malah mungkin opa Marx ngakak sampe guling-guling. "Lihat tuch! Mereka masih gemar nyebut namaku. Aku memang hantu yang masih gelayuti pikiran orang-orang itu. Hehehe.."

"Jangan-jangan Karl Marx, penggagas sosialisme moderen itu pernah belajar sampe ke negeri Flores, ketika berbicara tentang nilai tambah dalam sistem ekonomi sebagaimana Sistem Gemohin dalam tradisi masyarakat Lamaholot ..." tulis Irwan di Harian Kompas, 03052002, tepat 15 tahun lalu itu.

Tidak hanya itu, dalam artikel yang berjudul: "Belajar Sampai ke Negeri Flores" itu, sang penulis juga "menyentil" pembaca dengan "keyakinannya" bahwa Kennedy, untuk meningkatkan kecerdasannya, telah belajar ke ke Flores. Untuk 'membuktikannya', pembaca diminta untuk memastikannya sendiri.

...."Coba dicek yang benar dalam lembaran sejarah. Jangan-jangan Presiden John F. Kennedy ketika mengatakan, jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang engkau berikan untuk negaramu, justeru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk menambah kecerdasannya, dan bukan hanya berhenti pada membaca karya-karya para filosof Eropa..."

Gagasan Kennedy, bagi orang Lamaholot bukan gagasan baru. Bukan juga karena orang Lamaholot sering membaca dan praktekkan nilai-nilai demikian? Di Lamaholot, gagasan itu, disebut dengan paham "Gelekat Lewo-Gewayan Tana". Diturunkan oleh leluhur Lewotana Lamaholot. "Ina Ama genaƱ" semenjak Lamaholot ada. Dipraktekkan terus menerus sebagai ruh, karakter Lamaholotis.

Plato, Sokrates, Musa dan penulis² Yahudi, Zun Tzu, Confusius, dan para Penulis Maha Barata-Ramayana, Mpu Prapanca, Sutasoma, misalnya, dunia mengenal budaya mereka lantaran membukukannya; dan terutama mereka punya bahasa tulisan.

Lamaholot, memang tidak miliki bahasa tulisan. Gagasannya terus diwariskan melalui budaya tutur. Bahasa yang hemat saya, jauh lebih murni, tua dan bertuah. Yang cara pewarisannya juga tidak "serampangan" ke semua orang, tapi melalui pribadi² tertentu dan juga pada momen² sakral seperti dalam tarian tradisional Sole Oha, atau ritus² adat lainnya untuk "mencari kebenaran". Koda terlahir kembali, mengada, reinkarnasi, sekaligus diteruskan.

Tentang hal ini, bisa jadi Opa Jacques Derrida dan para pengikutnya membantah sangat keras.Tapi ini, pola tutur, sekali lagi merupakan cara pewarisan yang lebih syahdu. Lebih outentik dengan cara tersebut di atas. Hanya orang terpilih, "Pehen Koda", kemurnian itu sangat terjamin.

Sebab Koda adalah Sabda. Firman. Wahyu. Bukankah Bahasa Tutur [Koda] itu setua manusia ada? Dan bukankah pada awalnya adalah Sabda?,※※※

©francislamanepa | Larantuka | Lamaholot | 03052017 |

#koda #kodalamaholot #gelekatlewo #gewayantana #gemohin #lamaholot #lamaholotisasi #banggamenjadilamaholot
Share this article now on :

Posting Komentar