Kamis, 28 November 2013

OMK Katedral Larantuka, Kunjungi Lohayong dan Wulublolong

Rombongan OMK Katedral Larantuka, menuju Solor, Sabtu, 16/11/2013, pic by Kico

Panas cukup menyengat. Sabtu pagi, [16/11/2013], sekitar pukul 10:00 wita, selepas semua barang dalam kemasan gardus-gardus aneka ukuran dimuatkan, Kapal Ikan dari bahan fiber itupun bergerak tinggalkan Pelabuhan Larantuka. Sebagian dari kami menempati posisi haluan kapal pada bangku panjang, tempat para pemancing biasa melaksanakan aktivitas kala memancing. Sebagian lagi mengambil duduk pada buritan kapal yang tertutup tenda dari terpal.

Selat Adonara cukup tenang. Sesekali tampak gelombang muncul, akibat lalulintas berbagai jenis perahu motor penyeberangan yang cukup ramai melintasi selat ini. Kapal ikan yang kami tumpangi melaju dalam kecepatan normal. Tujuan perjalanan kami, pulau Solor. Pulau dimana pada awal November 2013, sempat menggetarkan ketenangan publik oleh adanya perang tanding antara dua desa tetangga, Lohayong dan Wulublolong di kecamatan Solor Timur.

Rombongan kami sejumlah 18 orang. Terdiri dari perempuan 6 orang dan 12 orang laki-laki. Merupakan perwakilan Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Katedral Reinha Rosari Larantuka (PKRRL), bertugas membawa bantuan kemanusiaan sumbangan umat PKRRL untuk korban konflik horisontal  di kedua desa yang bertikai. Ditemani romo moderator OMK PKRRL, Rm. Pius Laba Buri, Pr, dan Ketua Seksi Kepemudaan PKRRL, Gerard Bacenty.

Kurang lebih 2 km menjelang garis pantai, pada area perbukitan sebelah kiri barisan perumahan penduduk, bertebaran beberapa kelompok pepohonan dengan warna yang agak kecoklatan dan sangat mencolok dibandingkan bagian pepohonan lain yang cenderung hijau menguning. Rupanya itulah bekas dan bukti telah terjadinya pertikaian itu. Sisa-sisa pembakaran rumah penduduk Dusun IV Desa Wulublolong.

Tepat pukul 11:18 Wita, kapal yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Lewokaha, Wulublolong. Rombongan disambut ketua Stasi Wulublolong dan beberapa laki-laki, telah siap dengan pick-up beratap tambahan. Dengan bantuan penduduk setempat, muatan dipindahkan ke kendaraan, setelah sebelumnya dipisahkan untuk korban di desa Lohayong.

Dari hasil koordinasi kami, bantuan bagi korban Wulublolong, langsung diantar ke posko dibawah tanggungjawab Ketua Stasi Wulublolong . Sementara untuk korban di Lohayong, akan diantar oleh kami langsung ke posko yang berkedudukan di Kantor Desa Lohayong.

Mencari kendaran pengangkut bukanlah hal mudah di daerah ini. Apalagi dalam kondisi pasca pertikaian. Satu-satunya truck pengangkut yang biasa dipakai untuk mobilisasi bantuan, rupanya sedang menambal ban di daerah Podor yang berjarak beberapa kilometer ke arah barat.

Menunggu kehadiran truck dalam siang terik menyengat di dermaga, sambil menjaga tumpukan bantuan, menjadi tantangan tersendiri melawan membanjirnya keringat tubuh. Cuaca di seantero Flores Timur (Flotim),  memang sedang panas-panasnya. Tetapi, sepertinya teriknya Solor terlampau menyengat. Atau mungkin saja dampak dari pertikaian tersebut,  turut mempertinggi memanasnya suhu daerah ini. Beruntung kami boleh menggunakan pick-up milik PLN untuk dropping bantuan ke Lohayong.

Sebelum memasuki pusat Desa Lohayong, kami sempat terpukau menyaksikan beberapa rumah ludes dilahap api akibat pertikaian, di Dusun Kebang. Terlihat juga sebuah sepeda motor tersisa rangka gosong di depan bekas rumah yang juga hanya nampak arang dan abu semata. Yang cukup berbeda dari pemandangan ini, tampak bangunan Masjid kokoh berdiri, sementara beberapa bangunan disekitanya ludes terbakar, berjarak hanya sekitar 1 meteran dari sisi Masjid.

Rupanya dari sinilah sebabkan telah beredarnya issue bahwa pihak Wulublolong juga membakar Masjid, sehingga memicu eksodus warga muslim dari Adonara Timur (Adotim) dan Larantuka, turut membantu warga Lohayong guna membalas aksi itu pada 5 November 2013 lalu. Bangunan rumah penduduk yang terbakar itu, memang mengitari Masjid. Sehingga dengan jarak yang sangat dekat itu, akan terlihat dari jauh, seolah-olah Masjid-pun ikut terbakar.

Mungkin inilah alasan yang sangat masuk akal, dalam mengkaji keterlibatan warga Muslim Larantuka dan Adotim dalam pertikaian antara Lohayong dan Wulublolong. Selain beredar juga penilaian bahwa tentu ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan kedamaian Solor terusik, dengan menciptakan issue SARA demikian. Bahwa memang di hari itu, cukup tinggi sebaran issue terkait pembakaran Masjid melalui pesan singkat (sms).

Saya kemudian teringat pengakuan Assisten I Sekretaris Daerah (Sekda) Flotim, Abdur Rasak Jakra, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Flotim, Jumat (15/11/2013), terkait penanganan kasus pertikaian kedua desa bertetangga itu. Menurutnya, sebelum dirinya bersama Kapolres Florim, AKBP Dewa Putu Gede Artha, melakukan koordinasi penanganan, dia menyempatkan diri menemui Wakil Bupati (Wabup) Flotim, Valentinus Sama Tukan, melaporkan rencana penanganan yang akan dilakukannya.

Kepada Abdur Rasak Jakra, Wabup mengaku sempat dikirim sms bahkan ditelepon bahwa telah terjadi pembakaran Masjid oleh warga Wulublolong. Bahkan dirinyapun, sempat diinformasikan telah terjadi pembakaran Gua Maria dan Gereja di Wulublolong. 

Mengingat hal demikian, ketika ditanyakan oleh Anggota DPRD Flotim, apakah ada provokator dibalik kerusuhan tersebut, Rasak Jakra, mengatakan bahwa indikasi kearah yang dimaksud dapat dimungkinkan. Termasuk pengakuan Kapolres Flotim, bahwa ada banyak wajah-wajah baru yang kelihatan berada di lokasi kejadian. Maka, menurutnya, memang ada indikasi adanya pihak-pihak tertentu yang memainkan issue dimaksud untuk mengusik sisi sensitive ketenangan masyarakat. Namun, secara diplomatis, lanjut Jakra, kepastian untuk itu menjadi tugas pihak Kepolisian untuk pembuktiannya.

Melihat fakta bahwa Masjib yang berada di Dusun Kebang, tidak ikut terbakar, dapat kita ambil kesimpulan, pertikaian yang terjadi antara kedua desa, bukanlah pertikaian antar agama. Tetapi murni kriminalitas lantaran soal tapal batas antara kedua wilayah itu yang memang belum terselesaikan.

Disambut Camat Solor Timur dan Anggota DPRD

Ketika rombongan kami tiba di kantor Desa Lohayong, cuaca masih menyengat kulit. Terutama halaman berpasir itu hampir tanpa ditumbuhi pepohonan atau tanaman hias. Terlihat hanya sebatang pohon sedang tanpa kanopi daun. Cukup gersang. Satu-satunya tempat berteduh adalah kantor desa. Memasukinya, tampak tumpukan pakaian dan aneka sumbangan lain tertata rapi pada kedua sisi ruangan pertemuan (Balai Desa).


Di Balai Desa Lohayong
Sambil melepas lelah pada kursi-kursi yang cukup banyak dalam ruangan itu, akhirnya rombongan Camat Solor Timur, M. Zulkarnaen, tiba. Datang bersamanya, Syarifuddin Abas, Anggota DPRD Flotim asal Lohayong, dan Kepala Desa Lohayong. Mereka langsung mengambil duduk dibalik meja panjang tempat pimpinan, setelah sebelumnya mengajak romo moderator, dan ketua seksi Kepemudaan untuk bersama menempatinya. Tak berselang lama, muncul para korban pertikaian dari Dusun Kebang sejumlah belasan orang.

Setelah memperkenalkan dan mengutarakan maksud kehadiran kami, Zulkarnaen, mempersilakan Romo Pius menyampaikan beberapa hal terkait kunjungan tersebut. Romo mengakui bahwa kehadiran rombongan yang membawa bantuan umat PKRRL, memang agak cukup terlambat dan mungkin tak mampu menjawabi kebutuhan utama para korban. Lebih dari itu tujuan yang paling utama, lanjut romo, adalah kerinduan dan keinginan untuk melihat dan mendengar situasi perdamaian yang selalu diagung-agungkan akan sejarah tanah Solor yang memang identik dengan kedamaian.

“Kehadiran saya bersama OMK Katedral merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pertemuan OMK Se Keuskupan Larantuka yang diselenggarakan di Witihama, Adonara. Bahwa salah satu yang menjadi poin deklarasi pertemuan itu adalah OMK berusaha dan berniat untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik yang sedang terjadi”,  papar Romo Pius.

Dikatakannya, ajakan ini untuk rekan-rekan kaum muda agar tidak terpancing dengan persoalan yang waktu itu titik bidiknya hanya terjadi di tanah Adonara. Menanggapi meletusnya pertikaian di Solor, OMK atas dasar kepeduliannya, mencoba menggalang kesetiakawanan untuk dapat hadir langsung. Romo juga berharap agar secepat mungkin segera dipulihkan ketenangan dan kedamaian di tanah Solor.

Menanggapi harapan tersebut, Camat Solor menjelaskan bahwa pemicu kejadian 5 November itu adalah penyelesaian batas kedua desa yang hingga kini belum terselesaikan. Bahwa kejadian itu bukan perang antar agama; antara warga Wulublolong yang Katolik dan Dusun Kebang yang kebetulan Muslim. Dan bahwa rumah ibadah sebagai simbol penyelenggaraan keagamaan kedua pihak, tidak tersentuh oleh siapapun. 
“Kalaupun terjadi sedikit plafond yang ada pada Masjid Kebang, itu diakibatkan oleh satu bangunan yang mepet sekali. Sehingga kepulan api itu sedikit menyambar plafond. Dan telah dipadamkan. Bahwa dengan kehadiran rombongan ini membuktikan nilai kemanusiaan sangat dihargai dan dihormaati”, ujar Zulkarnaen.

Pada kesempatan yang sama, dihadapan para korban dan rombongan, Syarfuddin Abas mengaku, bahwa sehari sebelumnya, dalam RDP yang juga dihadiri oleh perwakilan kedua belah pihak, perwakilan Wulublolong dan Lohayong sepakat untuk segera melaksanakan rekonsiliasi, yang direncanakan akan terjadi pada sore hari itu sekitar pkl 16:00 wita atas fasilitasi Polres Flotim dan Camat Solor Timur. Abas juga berharap agar pihak Gereja terlibat menyumbangkan pikiran untuk mempercepat rekonsiliasi, proses rehabilitasi, dan pasca penanganan korban konflik.

Berkunjung ke Wulublolong

Meninggalkan Kantor Desa Lohayong, dalam perjalanan menuju Wulublolong, kami sempatkan diri mengunjungi Benteng Lohayong. Bukti kejayaan Solor berabad-abad lalu itu, kini tertinggal puing-puing tembok batu yang sudah tak utuh lagi. Didalamnya terrdapat beberapa bangunan tembok masa kini, termasuk Mushola kecil. Ditengah-tengahnya, dibangun 2 buah rumah panggung tanpa dinding beratap alang-alang. Dapat dipastikan sebagai rumah adat.

Setelah mengabadikan beberapa momen di tempat itu, masih dengan pick-up milik PLN, kami melanjutkan perjalanan.

Menuju Wulublolong, kami ikuti jalan semenisasi yang kian menanjak. Pada kawasan yang banyak bertebaran batu kali inilah, pada 4 Novembr lalu, menjadi pokok persoalan pertikaian kedua belah pihak. Pengambilan tumpukan batu, hingga menyebabkan perkelahian antara kedua belah pihak, menyulut terjadinya aksi saling membakar rumah pada keesokan hari.


Ketika memasuki kawasan Pohon Mente, kami seketika terkesima. Tampak dihadapan kami ratusan rumah telah habis terbakar pada kanan dan kiri jalan. Pohon-pohon  Mente ikut terbakar. Seolah-olah hamparan hutan yang sengaja dibakar untuk lahan baru. Aduh Tuhan, inikah hasil pertikaian sesama saudara itu? Dusun IV Wulublolong, kini jadi kawasan mati ditinggalkan penghuninya.
Kondisi Wulublolong
Serupa dengan Dusun Kebang, Lohayong, diantara bangunan-bangunan yang telah dilahap api itu, tampak Gua Maria masih utuh. Dengan warna cat yang tak tersentuh lidah api. Setelah melewati Gereja, yang sempat diisukan telah terbakar, rombongan kami berhenti  di depan Kantor Desa. Dibawah bentangan terpal biru, tampak banyak orang. Diantaranya rombongan SMAK Suradikara Ende, SMA PGRI Larantuka, dan Conggregasi Suster PRR Larantuka.

Masih dalam sengatan panas yang kian meninggi, kami saling berbagi cerita bersama Kepala Desa Wulublolong, Ketua Stasi Wulublolong, dan beberapa tokoh masyarakatnya. Bagaimana tidak panas, tanah yang agak kemerahan diatas kawasan Karts (batuan Kapur), beberapa pohon yang tumbuh diatasnya, seolah-olah tak mampu memberi pasokan oksigen.

Dari penuturan bapak kepala desa, rencana rekonsiliasi yang akan direncanakan sore itu, sepertinya pihak mereka, Wulublolong, belum siap. Ah semoga saja teriknya suhu kawasan ini yang mampu membuat tumbuhanpun tak nyaman, tidak makin memperpanjang proses menuju kedamaian. Atau memang ada jedah yang masih butuh ruang. Atau lantaran episode tertentu belum dipentaskan. *FOL*



Share this article now on :

Posting Komentar