Rombongan OMK Katedral Larantuka, menuju Solor, Sabtu, 16/11/2013, pic by Kico |
Panas cukup
menyengat. Sabtu pagi, [16/11/2013], sekitar pukul 10:00 wita, selepas semua
barang dalam kemasan gardus-gardus aneka ukuran dimuatkan, Kapal Ikan dari
bahan fiber itupun bergerak tinggalkan Pelabuhan Larantuka. Sebagian dari kami
menempati posisi haluan kapal pada bangku panjang, tempat para pemancing biasa
melaksanakan aktivitas kala memancing. Sebagian lagi mengambil duduk pada
buritan kapal yang tertutup tenda dari terpal.
Selat
Adonara cukup tenang. Sesekali tampak gelombang muncul, akibat lalulintas
berbagai jenis perahu motor penyeberangan yang cukup ramai melintasi selat ini.
Kapal ikan yang kami tumpangi melaju dalam kecepatan normal. Tujuan perjalanan
kami, pulau Solor. Pulau dimana pada awal November 2013, sempat menggetarkan ketenangan
publik oleh adanya perang tanding antara dua desa tetangga, Lohayong dan
Wulublolong di kecamatan Solor Timur.
Rombongan
kami sejumlah 18 orang. Terdiri dari perempuan 6 orang dan 12 orang laki-laki.
Merupakan perwakilan Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Katedral Reinha Rosari
Larantuka (PKRRL), bertugas membawa bantuan kemanusiaan sumbangan umat PKRRL
untuk korban konflik horisontal di kedua
desa yang bertikai. Ditemani romo moderator OMK PKRRL, Rm. Pius Laba Buri, Pr,
dan Ketua Seksi Kepemudaan PKRRL, Gerard Bacenty.
Kurang lebih
2 km menjelang garis pantai, pada area perbukitan sebelah kiri barisan
perumahan penduduk, bertebaran beberapa kelompok pepohonan dengan warna yang
agak kecoklatan dan sangat mencolok dibandingkan bagian pepohonan lain yang
cenderung hijau menguning. Rupanya itulah bekas dan bukti telah terjadinya
pertikaian itu. Sisa-sisa pembakaran rumah penduduk Dusun IV Desa Wulublolong.
Tepat pukul
11:18 Wita, kapal yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Lewokaha,
Wulublolong. Rombongan disambut ketua Stasi Wulublolong dan beberapa laki-laki,
telah siap dengan pick-up beratap tambahan. Dengan bantuan penduduk setempat,
muatan dipindahkan ke kendaraan, setelah sebelumnya dipisahkan untuk korban di
desa Lohayong.
Dari hasil
koordinasi kami, bantuan bagi korban Wulublolong, langsung diantar ke posko
dibawah tanggungjawab Ketua Stasi Wulublolong . Sementara untuk korban di
Lohayong, akan diantar oleh kami langsung ke posko yang berkedudukan di Kantor
Desa Lohayong.
Mencari
kendaran pengangkut bukanlah hal mudah di daerah ini. Apalagi dalam kondisi
pasca pertikaian. Satu-satunya truck pengangkut yang biasa dipakai untuk
mobilisasi bantuan, rupanya sedang menambal ban di daerah Podor yang berjarak
beberapa kilometer ke arah barat.
Menunggu
kehadiran truck dalam siang terik menyengat di dermaga, sambil menjaga tumpukan
bantuan, menjadi tantangan tersendiri melawan membanjirnya keringat tubuh.
Cuaca di seantero Flores Timur (Flotim),
memang sedang panas-panasnya. Tetapi, sepertinya teriknya Solor
terlampau menyengat. Atau mungkin saja dampak dari pertikaian tersebut, turut mempertinggi memanasnya suhu daerah
ini. Beruntung kami boleh menggunakan pick-up milik PLN untuk dropping bantuan
ke Lohayong.
Sebelum
memasuki pusat Desa Lohayong,
kami sempat terpukau menyaksikan beberapa rumah ludes dilahap api akibat
pertikaian, di Dusun Kebang. Terlihat juga sebuah sepeda motor tersisa rangka
gosong di depan bekas rumah yang juga hanya nampak arang dan abu semata. Yang
cukup berbeda dari pemandangan ini, tampak bangunan Masjid kokoh berdiri,
sementara beberapa bangunan disekitanya ludes terbakar, berjarak hanya sekitar 1 meteran
dari sisi Masjid.
Rupanya dari
sinilah sebabkan telah beredarnya issue bahwa pihak Wulublolong juga membakar
Masjid, sehingga memicu eksodus warga muslim dari Adonara Timur (Adotim) dan
Larantuka, turut membantu warga Lohayong guna membalas aksi itu pada 5 November
2013 lalu. Bangunan rumah penduduk yang terbakar itu, memang mengitari Masjid.
Sehingga dengan jarak yang sangat dekat itu, akan terlihat dari jauh,
seolah-olah Masjid-pun ikut terbakar.
Mungkin
inilah alasan yang sangat masuk akal, dalam mengkaji keterlibatan warga Muslim
Larantuka dan Adotim dalam pertikaian antara Lohayong dan Wulublolong. Selain
beredar juga penilaian bahwa tentu ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan
kedamaian Solor terusik, dengan menciptakan issue SARA demikian. Bahwa memang
di hari itu, cukup tinggi sebaran issue terkait pembakaran Masjid melalui pesan
singkat (sms).
Saya kemudian
teringat pengakuan Assisten I Sekretaris Daerah (Sekda) Flotim, Abdur Rasak
Jakra, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Flotim, Jumat
(15/11/2013), terkait penanganan kasus pertikaian kedua desa bertetangga itu.
Menurutnya, sebelum dirinya bersama Kapolres Florim, AKBP Dewa
Putu Gede Artha, melakukan koordinasi penanganan, dia menyempatkan diri menemui
Wakil Bupati (Wabup) Flotim, Valentinus Sama Tukan, melaporkan rencana
penanganan yang akan dilakukannya.
Kepada Abdur
Rasak Jakra, Wabup mengaku sempat dikirim sms bahkan ditelepon bahwa telah
terjadi pembakaran Masjid oleh warga Wulublolong. Bahkan dirinyapun, sempat
diinformasikan telah terjadi pembakaran Gua Maria dan Gereja di Wulublolong.
Mengingat hal demikian, ketika ditanyakan oleh Anggota DPRD Flotim, apakah ada
provokator dibalik kerusuhan tersebut, Rasak Jakra, mengatakan bahwa indikasi
kearah yang dimaksud dapat dimungkinkan. Termasuk pengakuan Kapolres Flotim,
bahwa ada banyak wajah-wajah baru yang kelihatan berada di lokasi kejadian.
Maka, menurutnya, memang ada indikasi adanya pihak-pihak tertentu yang
memainkan issue dimaksud untuk mengusik sisi sensitive ketenangan masyarakat.
Namun, secara diplomatis, lanjut Jakra, kepastian untuk itu menjadi tugas pihak
Kepolisian untuk pembuktiannya.
Melihat
fakta bahwa Masjib yang berada di Dusun Kebang, tidak ikut terbakar, dapat kita
ambil kesimpulan, pertikaian yang terjadi antara kedua desa, bukanlah
pertikaian antar agama. Tetapi murni kriminalitas lantaran soal tapal batas
antara kedua wilayah itu yang memang belum terselesaikan.
Disambut Camat Solor Timur dan
Anggota DPRD
Ketika
rombongan kami tiba di kantor Desa Lohayong, cuaca masih menyengat kulit.
Terutama halaman berpasir itu hampir tanpa ditumbuhi pepohonan atau tanaman hias.
Terlihat hanya sebatang pohon sedang tanpa kanopi daun. Cukup gersang.
Satu-satunya tempat berteduh adalah kantor desa. Memasukinya, tampak tumpukan
pakaian dan aneka sumbangan lain tertata rapi pada kedua sisi ruangan pertemuan
(Balai Desa).
Di Balai Desa Lohayong |
Setelah
memperkenalkan dan mengutarakan maksud kehadiran kami, Zulkarnaen,
mempersilakan Romo Pius menyampaikan beberapa hal terkait kunjungan tersebut.
Romo mengakui bahwa kehadiran rombongan yang membawa bantuan umat PKRRL, memang
agak cukup terlambat dan mungkin tak mampu menjawabi kebutuhan utama para
korban. Lebih dari itu tujuan yang paling utama, lanjut romo, adalah kerinduan
dan keinginan untuk melihat dan mendengar situasi perdamaian yang selalu
diagung-agungkan akan sejarah tanah Solor yang memang identik dengan kedamaian.
“Kehadiran
saya bersama OMK Katedral merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pertemuan
OMK Se Keuskupan Larantuka yang diselenggarakan di Witihama, Adonara. Bahwa
salah satu yang menjadi poin deklarasi pertemuan itu adalah OMK berusaha dan
berniat untuk tidak terlibat dalam konflik-konflik yang sedang terjadi”, papar Romo Pius.
Dikatakannya,
ajakan ini untuk rekan-rekan kaum muda agar tidak terpancing dengan persoalan
yang waktu itu titik bidiknya hanya terjadi di tanah Adonara. Menanggapi meletusnya
pertikaian di Solor, OMK atas dasar kepeduliannya, mencoba menggalang
kesetiakawanan untuk dapat hadir langsung. Romo juga berharap agar secepat
mungkin segera dipulihkan ketenangan dan kedamaian di tanah Solor.
Menanggapi
harapan tersebut, Camat Solor menjelaskan bahwa pemicu kejadian 5 November itu
adalah penyelesaian batas kedua desa yang hingga kini belum terselesaikan.
Bahwa kejadian itu bukan perang antar agama; antara warga Wulublolong yang
Katolik dan Dusun Kebang yang kebetulan Muslim. Dan bahwa rumah ibadah sebagai
simbol penyelenggaraan keagamaan kedua pihak, tidak tersentuh oleh siapapun.
“Kalaupun
terjadi sedikit plafond yang ada pada Masjid Kebang, itu diakibatkan oleh
satu bangunan yang mepet sekali. Sehingga kepulan api itu sedikit menyambar
plafond. Dan telah dipadamkan. Bahwa dengan kehadiran rombongan ini membuktikan
nilai kemanusiaan sangat dihargai dan dihormaati”, ujar Zulkarnaen.
Pada
kesempatan yang sama, dihadapan para korban dan rombongan, Syarfuddin Abas
mengaku, bahwa sehari sebelumnya, dalam RDP yang juga dihadiri oleh perwakilan
kedua belah pihak, perwakilan Wulublolong dan Lohayong sepakat untuk segera
melaksanakan rekonsiliasi, yang direncanakan akan terjadi pada sore hari itu
sekitar pkl 16:00 wita atas fasilitasi Polres Flotim dan Camat Solor Timur.
Abas juga berharap agar pihak Gereja terlibat menyumbangkan pikiran untuk
mempercepat rekonsiliasi, proses rehabilitasi, dan pasca penanganan korban
konflik.
Berkunjung ke Wulublolong
Meninggalkan
Kantor Desa Lohayong, dalam perjalanan menuju Wulublolong, kami sempatkan diri
mengunjungi Benteng Lohayong. Bukti kejayaan Solor berabad-abad lalu itu, kini
tertinggal puing-puing tembok batu yang sudah tak utuh lagi. Didalamnya
terrdapat beberapa bangunan tembok masa kini, termasuk Mushola kecil.
Ditengah-tengahnya, dibangun 2 buah rumah panggung tanpa dinding beratap
alang-alang. Dapat dipastikan sebagai rumah adat.
Setelah
mengabadikan beberapa momen di tempat itu, masih dengan pick-up milik PLN, kami
melanjutkan perjalanan.
Menuju
Wulublolong, kami ikuti jalan semenisasi yang kian menanjak. Pada kawasan yang
banyak bertebaran batu kali inilah, pada 4 Novembr lalu, menjadi pokok
persoalan pertikaian kedua belah pihak. Pengambilan tumpukan batu, hingga
menyebabkan perkelahian antara kedua belah pihak, menyulut terjadinya aksi
saling membakar rumah pada keesokan hari.
Kondisi Wulublolong |
Masih dalam
sengatan panas yang kian meninggi, kami saling berbagi cerita bersama Kepala
Desa Wulublolong, Ketua Stasi Wulublolong, dan beberapa tokoh masyarakatnya.
Bagaimana tidak panas, tanah yang agak kemerahan diatas kawasan Karts (batuan
Kapur), beberapa pohon yang tumbuh diatasnya, seolah-olah tak mampu memberi
pasokan oksigen.
Dari
penuturan bapak kepala desa, rencana rekonsiliasi yang akan direncanakan sore
itu, sepertinya pihak mereka, Wulublolong, belum siap. Ah semoga saja teriknya
suhu kawasan ini yang mampu membuat tumbuhanpun tak nyaman, tidak makin
memperpanjang proses menuju kedamaian. Atau memang ada jedah yang masih butuh
ruang. Atau lantaran episode tertentu belum dipentaskan. *FOL*
Posting Komentar