Senin, 11 November 2013

Perang Primitif

Agresi defensif, kedestruktifan, dan kekejaman pada dasarnya bukan penyebab peperangan, namun dorongan-dorongan itu dapat disalurkan lewat peperangan. Karena itu, data-data tentang perang primitif akan membantu melengkapi gambaran mengenai agresi primitif.

Meggitt (M. J. Meggitt, 1960) mengetengahkan ikhtisar mengenai sifat peperangan di kalangan suku Walbiri, Australia. Ia mengakui pernyataan-pernyataan E. R. Service (1966) sebagai karakterisasi yang tepat mengenai peperangan dalam masyarakat pemburu-pengumpul makanan secara umum:

Masyarakat Walbiri tidak menekankan militerisme –tidak ada kelompok yang secara tetap atau profesional bertugas sebagai prajurit; tidak ada hirarki komando militer; dan di kalangan kelompok-kelompok yang ada jarang sekali terjadi perang penaklukan. Setiap pria (sampai sekarang) siap menjadi prajurit, selalu membawa senjata, dan siap mempertahankan haknya. Akan tetapi ia juga seorang individualis yang lebih suka berperang secara mandiri. Namun demikian mereka tidak memiliki pemimpin militer, baik yang dipilih maupun secara turun-temurun, yang harus merencanakan taktik dan memastikan bahwa bawahannya melaksanakan rencana itu.

Secara teknis, jenis konflik di kalangan pemburu primitif dapat digolongkan sebagai perang; dalam konteks yang demikian kita dapat menyimpulkan bahwa “perang” selalu ada dalam spesies manusia, dan bahwa hal ini merupakan manifestasi dari dorongan bawaan untuk membunuh. Akan tetapi, pemikiran ini abai terhadap perbedaan-perbedaan menyolok antara peperangan dalam budaya primitif rendah dan dalam budaya primitif yang lebih tinggi serta peperangan dalam budaya yang berperadaban.

Peperangan primitif, terutama primitif rendah, tidak diorganisir secara memusat dan tidak pula dipimpin oleh panglima yang tetap; relatif tidak sering; bukan berupa perang penaklukkan atau perang berdarah yang bertujuan membunuh musuh sebanyak mungkin.
Selain itu, dan barangkali yang terpenting, adalah adanya fakta yang kerap diabaikan, yaitu bahwa tidak ada stimulus ekonomi yang kuat yang dapat memicu perang besar-besaran di kalangan pemburu-pengumpul makanan primitif.

D. Pilbean (1970) menegaskan bahwa dalam masyarakat pemburu tidak dijumpai adanya perang, terlepas dari percekcokan yang kadang terjadi, dan bersama itu dijumpai pula suri tauladan, bukannya unjuk kekuatan, di kalangan pemimpin mereka. Di kalangan mereka juga berlaku prinsip timbal-balik dan kedermawanan serta dijunjungtingginya kegotong-royongan.

H. H. Turney-High (1971) menekankan bahwa meski pengalaman tentang rasa takut, marah, dan frustrasi bersifat universal, seni berperang baru mengalami perkembangan cukup lama setelah evolusi manusia. Sebagian masyarakat primitif tidak mahir berperang, sebab perang yang sesungguhnya menuntut tingkat konseptualisasi yang tinggi. Dalam pikiran mereka umumnya tidak terbayang sebuah organisasi yang diperlukan untuk menaklukkan atau mengalahkan musuh. Perang primitif tidak lain hanyalah perkelahian bersenjata, bukan perang dalam arti sesungguhnya. 

Queincy Wright (1965) mengemukakan, Pengumpul makanan, pemburu dan pencocok-tanam tingkat rendah adalah kelompok yang paling tidak suka berperang. Pemburu tingkat tinggi dan pencocok-tanam tingkat lebih tinggi adalah yang lebih suka berperang.

Pernyataan ini menegaskan pendapat bahwa kesukaan berperang bukanlah fungsi dari dorongan alami manusia yang terwujud dalam bentuk-bentuk masyarakat yang paling primitif, melainkan sebagai perkembangan lebih lanjut dari dorongan tersebut dalam peradaban. 

Data-data Wright menunjukkan bahwa semakin banyak pembagian kerja dalam suatu masyarakat, semakin besarlah kecenderungannya untuk berperang, dan masyarakat bersistem-kelas merupakan masyarakat yang paling suka berperang. 

Di bagian akhir dari data-datanya kita ketahui bahwa semakin tinggi keseimbangan antara kelompok dengan lingkungan fisiknya, semakin kecillah kecenderungan mereka untuk berperang, sedangkan seringnya terjadi gangguan keseimbangan antara keduanya dapat mencetuskan kecenderungan berperang.

Hasil penelitian Wright mendukung tesis bahwa manusia yang paling primitif adalah yang paling tidak suka berperang, dan bahwa kesukaan berperang bertumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban. Jika memang kedestruktifan merupakan ciri pembawaan manusia, maka kecenderungan yang didapatinya adalah sebaliknya.

Ruth Benedict(1959) membedakan antara perang “mematikan secara sosial” dengan perang “tak mematikan”. Pada yang kedua, tujuannya bukan untuk membuat suku lain tunduk kepada si pemenang sebagai pihak yang menguasai dan memanfaatkannya.

Benedict berkesimpulan bahwa upaya penghapusan perang adalah hal yang sangat wajar, sebagaimana yang kita ketahui dari tulisan para pakar strategi perang tentang peperangan di jaman pra sejarah..... Sangat keliru jika menyatakan bahwa peperangan ditimbulkan oleh kebutuhan manusia itu sendiri untuk berperang, sebab perang pada kenyataannya merupakan hasil karya manusia.
 #Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, dengan judul bahasa Indonesia, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Cetakan II, Juni 2001, hal. 198 - 205
Share this article now on :

Posting Komentar