Agresi defensif,
kedestruktifan, dan kekejaman pada dasarnya bukan penyebab peperangan, namun
dorongan-dorongan itu dapat disalurkan lewat peperangan. Karena itu, data-data
tentang perang primitif akan membantu melengkapi gambaran mengenai agresi
primitif.
Meggitt (M. J. Meggitt,
1960) mengetengahkan ikhtisar mengenai sifat peperangan di kalangan suku
Walbiri, Australia. Ia mengakui pernyataan-pernyataan E. R. Service (1966)
sebagai karakterisasi yang tepat mengenai peperangan dalam masyarakat
pemburu-pengumpul makanan secara umum:
Masyarakat Walbiri tidak menekankan militerisme –tidak ada kelompok yang secara tetap atau profesional bertugas sebagai prajurit; tidak ada hirarki komando militer; dan di kalangan kelompok-kelompok yang ada jarang sekali terjadi perang penaklukan. Setiap pria (sampai sekarang) siap menjadi prajurit, selalu membawa senjata, dan siap mempertahankan haknya. Akan tetapi ia juga seorang individualis yang lebih suka berperang secara mandiri. Namun demikian mereka tidak memiliki pemimpin militer, baik yang dipilih maupun secara turun-temurun, yang harus merencanakan taktik dan memastikan bahwa bawahannya melaksanakan rencana itu.Secara teknis, jenis konflik di kalangan pemburu primitif dapat digolongkan sebagai perang; dalam konteks yang demikian kita dapat menyimpulkan bahwa “perang” selalu ada dalam spesies manusia, dan bahwa hal ini merupakan manifestasi dari dorongan bawaan untuk membunuh. Akan tetapi, pemikiran ini abai terhadap perbedaan-perbedaan menyolok antara peperangan dalam budaya primitif rendah dan dalam budaya primitif yang lebih tinggi serta peperangan dalam budaya yang berperadaban.
Peperangan primitif,
terutama primitif rendah, tidak diorganisir secara memusat dan
tidak pula dipimpin oleh panglima yang tetap; relatif tidak sering; bukan
berupa perang penaklukkan atau perang berdarah yang bertujuan membunuh musuh
sebanyak mungkin.
Selain itu, dan
barangkali yang terpenting, adalah adanya fakta yang kerap diabaikan, yaitu bahwa
tidak ada stimulus ekonomi yang kuat yang dapat memicu perang besar-besaran
di kalangan pemburu-pengumpul makanan primitif.
D. Pilbean (1970)
menegaskan bahwa dalam masyarakat pemburu tidak dijumpai adanya perang, terlepas
dari percekcokan yang kadang terjadi, dan bersama itu dijumpai pula suri
tauladan, bukannya unjuk kekuatan, di kalangan pemimpin mereka. Di kalangan
mereka juga berlaku prinsip timbal-balik dan kedermawanan serta
dijunjungtingginya kegotong-royongan.
H. H. Turney-High (1971)
menekankan bahwa meski pengalaman tentang rasa takut, marah, dan frustrasi
bersifat universal, seni berperang baru mengalami perkembangan cukup lama
setelah evolusi manusia. Sebagian masyarakat primitif tidak mahir berperang,
sebab perang yang sesungguhnya menuntut tingkat konseptualisasi yang tinggi. Dalam
pikiran mereka umumnya tidak terbayang sebuah organisasi yang diperlukan untuk
menaklukkan atau mengalahkan musuh. Perang primitif tidak lain hanyalah
perkelahian bersenjata, bukan perang dalam arti sesungguhnya.
Queincy Wright (1965)
mengemukakan, Pengumpul makanan, pemburu dan pencocok-tanam tingkat rendah
adalah kelompok yang paling tidak suka berperang. Pemburu tingkat tinggi dan
pencocok-tanam tingkat lebih tinggi adalah yang lebih suka berperang.
Pernyataan ini
menegaskan pendapat bahwa kesukaan berperang bukanlah fungsi dari dorongan
alami manusia yang terwujud dalam bentuk-bentuk masyarakat yang paling
primitif, melainkan sebagai perkembangan lebih lanjut dari dorongan tersebut
dalam peradaban.
Data-data Wright
menunjukkan bahwa semakin banyak pembagian kerja dalam suatu masyarakat, semakin
besarlah kecenderungannya untuk berperang, dan masyarakat bersistem-kelas
merupakan masyarakat yang paling suka berperang.
Di bagian akhir dari
data-datanya kita ketahui bahwa semakin tinggi keseimbangan antara kelompok
dengan lingkungan fisiknya, semakin kecillah kecenderungan mereka untuk
berperang, sedangkan seringnya terjadi gangguan keseimbangan antara keduanya dapat
mencetuskan kecenderungan berperang.
Hasil penelitian Wright
mendukung tesis bahwa manusia yang paling primitif adalah yang paling tidak suka
berperang, dan bahwa kesukaan berperang bertumbuh seiring dengan berkembangnya
peradaban. Jika memang kedestruktifan merupakan ciri pembawaan manusia, maka
kecenderungan yang didapatinya adalah sebaliknya.
Ruth Benedict(1959)
membedakan antara perang “mematikan secara sosial” dengan perang “tak mematikan”.
Pada yang kedua, tujuannya bukan untuk membuat suku lain tunduk kepada si
pemenang sebagai pihak yang menguasai dan memanfaatkannya.
Benedict berkesimpulan
bahwa upaya penghapusan perang adalah hal yang sangat wajar, sebagaimana yang
kita ketahui dari tulisan para pakar strategi perang tentang peperangan di jaman
pra sejarah..... Sangat keliru jika menyatakan bahwa peperangan ditimbulkan
oleh kebutuhan manusia itu sendiri untuk berperang, sebab perang pada
kenyataannya merupakan hasil karya manusia.
#Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, dengan judul bahasa Indonesia, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Cetakan II, Juni 2001, hal. 198 - 205
Posting Komentar