Senin, 11 November 2013

Revolusi Neolitik: Perempuan Sebagai Peletak Dasar Peradaban Modern

Manusia –paling tidak semenjak kemunculan 50.000 tahun silam- cenderung bukan merupakan makhluk yang brutal, destrukif, atau jahat, dan karenanya ia bukanlah purwarupa “manusia pembunuh” yang kita jumpai dalam dalam tahap evolusi yangg lebih maju. Akan tetapi tidak berarti mengamini serta-merta demikian. Guna memahami tahapan perkembangan manusia sebagai sang penghisap dan penghancur, perlu kiranya membahas perkembangan manusia selama periode pertanian tahap awal dan tentang transformasinya menjadi pengembang kota-kota besar; prajurit; atau saudagar.

Semenjak kemunculannya, sekitar setengah juta tahun yang lalu hingga sekitar 9000 tahun SM, manusia tidak mengalami perubahan dalam satu hal; dia hidup dari apa yang ia kumpulkan dan ia buru, namun tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Manusia sepenuhnya tergantung pada alam dan tidak mempengaruhi atau mengubahnya. 

Keterikatannya terhadap alam berubah secara drastis seiring ditemukannya pertanian (dan peternakan). Ini terjadi sekitar awal periode Neolitik, atau lebih tepatnya pada periode “Protoneolitik”, sebagaimana yang disebut-sebut oleh arkeolog masa kini, yakni dari 9000 hingga 7000 tahun SM. Cakupan wilayahnya dimulai dari Irian barat sampai Yunani, termasuk bagian-bagian wilayah Iraq, Siria, Libanon, Yordania, Israel, dan dataran tinggi Anatoli di Turki. (Selanjutnya dimulai dari Eropa Tengahh dan Utara.) 

Untuk pertamakalinya manusia, pada taraf tertentu, menjadikan dirinya tidak tergantung pada alam dengan memanfaatkan daya-temu (inventiveness) dan kemahirannya untuk menghasilkan sesuatu yang melebihi apa yang selama ini ia dapatkan langsung dari alam. Di masa selanjutnya, sejalan dengan laju peningkatan jumlah penduduk, tidaklah sulit untuk menanam lebih banyak benih, menggarap lebih banyak lahan, dan peternakkan lebih banyak binatang. Surplus makanan secara perlahan dapat ditingkatkan guna menopang kebutuhan pangan para perajin yang waktunya banyak tersita untuk memproduksi peralatan, gerabah, dan pakaian.

Bercocok Tanam Merupakan Landasan Pemikiran Ilmiah

Penemuan terbesar pertama dalam periode ini adalah penanaman Gandum dan Barley (jenis Gandum untuk bahan baku Bir), yang sebelumnya dibiarkan tumbuh liar di kawasan Neolitik tersebut. Ketika itu baru diketahui bahwa dengan membenamkan benih tanaman liar ini akan tumbuh tanaman baru; bahwa orang dapat memilih benih terbaik untuk disemaikan, dan pada akhirnya secara tidak sengaja diketahui bahwa persilangan antar benih dapat menghasilkan butiran benih yang lebih besar dibandingkan butiran benih dari tanaman liar.

Proses perkembangan dari tanaman liar menjadi tanaman Gandum modern dengan hasil yang lebih banyak, belum diketahui dengan pasti. Proses ini melibatkan mutasi gen, hibridisasi, dan penggandaan kromosom, serta diperlukan waktu ribuan tahun sampai pada bentuk yang sekarang ditanam dalam pertanian modern. Bagi manusia di era industri, yang umumnya menganggap pertanian non-industrial sebagai teknologi primitif dan sebagai bentuk produksi yang kurang pasti, penemuan di zaman Neolitik boleh jadi tidak sebanding dengan penemuan-penemuan teknik di zaman kita yang begitu dibanggakan.

Padahal, terbuktinya perkiraan bahwa “benih yang dibenamkan ke dalam tanah akan tumbuh” justru telah memunculkan pemikiran yang sepenuhnya baru: manusia mengetahui bahwa dirinya dapat menggunakan maksud dan tujuannya untuk mengupayakan terjadinya sesuatu hal, bukannya membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Karenanya tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa penemuan cara bercocok-tanam merupakan landasan bagi semua pemikiran ilmiah dan perkembangan teknologi mutakhir.

Penemuan kedua adalah pengembangbiakan hewan yang dicapai dalam periode yang sama. Domba telah dipelihara atau dikembangbiakkan pada 9000 tahun SM di Iraq, dan Sapi serta Babi telah menghasilkan pasokan makanan tambahan, yakni susu dan daging. Pasokan makanan yang kian meningkat dan stabil memungkinkan cara hidup menetap, sekaligus mendorong terjadinya pembangunan perdusunan dan perkotaan yang permanen.

Dalam periode Protoneolitik, suku-suku pemburu menemukan dan mengembangkan sistem perekonomian menetap yang berbasis pada pemeliharaan tanaman dan ternak. Meski sisa-sisa awal dari tanaman yang dibudidayakan tidak jauh lebih awal dari 7000 tahun SM, “standar pembudidayaan telah dicapai, dan beragamnya tanaman pangan yang dipelihara mensyaratkan adanya masa prasejarah yang panjang dari pertanian tahap awal yang kemudian diralat menjadi dari periode awal Protoneolitik, sekitar 9000 tahun SM” (J. Mellaart, 1976).

Diperlukan sekitar 2000 hingga 3000 tahun sebelum dicapainya penemuan baru yang didorong oleh kebutuhan untuk menyimpan bahan pangan: yakni seni Gerabah (Keranjang telah lebih dulu ditemukan). Dengan ditemukannya Gerabah, berarti temuan teknis pertama telah dicapai, dan ini bermuara pada upaya mengetahui proses-proses kimia. Tidak salah bila “pembuatan pot merupakan contoh nyata dari kreasi manusia” (V. G. Childe, 1936).

Dengan demikian, dari periode Neolitik itu kita dapat membedakan antara tahap “non-keramik”, yakni periode dimana Gerabah belum ditemukan, dan tahap keramik. Beberapa penduduk kuno di Anatolia, misalnya Hacilar, dibangun pada tahap a-keramik, sedangkan Catal Huyuk merupakan kota yang kaya akan Gerabah atau barang pecah-belah lain yang terbuat dari lempung.

Catal Huyuk merupakan salah satu kota Neolitik yang paling maju di Anatolia. Meski relatif sedikit bagian-bagian yang telah digali sejak 1961, dari kota ini telah didapatkan data-data yang sangat penting untuk memahami aspek-aspek ekonomi, sosial, dan politik masyarakat Neolitik. Tiga lapisan tanah telah tergali semenjak dimulainya penggalian situs Catal Huyuk; tertua telah berusia 6500 tahun SM. Salah satu ciri khas yang paling menakjubkan dari Catal Huyuk adalah tingkat peradabannya.
 Catal Huyuk mampu menghasilkan barang-barang mewah seperti cermin obsidian, perlengkapan upacara, dan aksesoris dari logam yang jauh lebih baik ketimbang benda-benda sejamannya. Tembaga dan timah dilebur menjadi semacaam tasbih, manik-manik, pipa, dan mungkin juga perkakas-perkakas kecil. Dengan demikian, awal jaman pengecoran logam kembali kita mundurkan ke 7000 tahun SM. Industri batunya, yang berbahan baku batu obsidian lokal dan batu api impor adalah yang paling indah dalam periode tersebut; mangkuk-mangkuk kayunya cukup lengkap dan canggih; inndustri kain wolnya juga berkembang pesat (J. Mellaart, 1967). 
Ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui seni melebur tembaga dan timah. Pemanfaatan bermacam batuan dan mineral menurut Mellaart menunjukkan bahwa usaha pencarian bijih (semacam penambangan) dan perdagangan merupakan unsur utama perekonomian kota ini. Di Catal Huyuk, surplus yang dihasilkan berkat metode baru pertanian tentunya cukup besar menopang industri benda-benda mewah dan perdagangan.

Budaya Kolektif (Gemohing)

Mellaart menjelaskan bahwa kerajinan di zaman Neolitik merupakan industri rumahan dan bahwa tradisi kerajinan ini tidak bersifat individual, namun kolektif. Hal ini tentu mengingatkan kita tentang budaya sejenis di Lamaholot yang bernama Gemohing.  Pengalaman dan pengetahuan semua anggota masyarakatnya terus-menerus dipadukan; pekerjaan di kota ini, Catal Huyuk, bersifat terbuka untuk umum dan peraturannya disusun dari hasil pengalaman masyarakat. Pot-pot dari dusun-dusun Neolitik yang ada menceritakan tradisi kolektif yang kental. Selain itu tidak pernah terjadi kekurangan lahan atau pekarangan; bila jumlah penduduk meningkat, kaum mudanya pergi ke luar kota untuk membangun perkampungan baru.

Dalam kondisi ekonominya yang sedemikian, tidak ada persyaratan yang diberlakukan untuk menggolongkan masyarakatnya ke dalam beberapa kelas, atau untuk membentuk kepemimpinan tetap yang bertugas mengatur seluruh perekonomian dan mematok harga untuk keahlian yang dimiliki oleh masyarakat ini (sosialisme sejati). Hal ini hanya terjadi di masa selanjutnya ketika surplunya jauh lebih besar dan dapat diubah menjadi “modal”, dann mereka yangg memilikinya dapat memanfaatkannya dengan cara mempekerjakan orang lain untuk keuntungan mereka sendiri.

Peran Sentra Kaum Perempuan

Salah satu ciri paling khas dari perdusunan Neolitik adalah peran sentral kaum ibu dalam struktur sosial dan dalam agama.

Penyimakan pembagian kerja di mas lampau, yakni kaum pria berburu dan kaum perempuan mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan, pertanian boleh jadi adalah hasil temuan kaum perempuan, sedangkan peternakan adalah temuan kaum pria. Hal ini sedikit menarik jika kita kaitkan dengan peradaban Lamaholot; sebut saja kisah Tonu Wujo, dan identitas penamaan kaum pria Lamaholot semisal, keturunan Kelake Ado Pehan, salah seorang bernama Kia Karabau (Kerbau); serta binatang, persembahan bagi perempuan dalam perkawinan disertai hasil kerja pria berupa ternak, Babi dan Kambing. Ini tentu berangkat dari kedekatan dengan hasil usaha kaum pria yang menjadi persembahan itu.

Maka mengingat peran fundamental pertanian dalam perkembangan peradaban, barangkali tidak berlebihan bila kita nyatakan bahwa peletak dasar peradaban modern adalah kaum perempuan. Dengan kemampuan bumi dan kaum perempuan untuk menghasilkan dan melahirkan –kemampuan yang tidak dimiliki pria- maka wajarlah jika kaum ibu mendapatkan kedudukan istimewa dalam masyarakat pertanian awal. 

Kaum pria hanya dapat mengklaim keunggulan mereka setelah dapat menciptakan benda-benda dengan daya pikir mereka, baik yang teknis maupun magis. Sang ibu, sebagai Dewi, yang kerap diidentikkan dengan ibu-bumi, merupakan dewi agung dalam dunia religius, sedangkan sosok perempuan sebagai ibu merupakan induk dari kehidupan keluarga dan masyaraakat. Hal ini kita juga dapat telusuri dari beberapa kisah di Lamaholot tentang asal muasal kehidupan peradaban suatu teritori berangkat dari sosok perepuan. Sebutlah Dona Wato Wele di Larantuka dan Kewae Sode Boleng di Adonara. Malah keduanya di sebut sebagai penguasa gunung.
Sumber;Erich Fromm, Akar Kekerasan
Share this article now on :

Posting Komentar