Cita-cita collectivisme seperti yang dianjurkan oleh Pendidikan Nasional Indonesia mudah dipahamkan oleh rakyat kita, karena ia berakar dalam masyarakat asli Indonesia. Sampai sekarang ia tidak luput dari kalbu rakyat. Dalam kota-kota, dimana sudah timbul perburuan, bangun persekutuan seperti dahulu itu tidak begitu kentara lagi, akan tetapi di desa-desa, dimana pengaruh modernisme belum masuk, keadaan itu dapat dipersaksikan dengan nyata. Dan masyarakat Indonesia sebagian yang terbesar masih terhitung desa.
Tanda-tanda collectivisme itu tampak pertama kali pada sifat “tolong-menolong”. Dalam segala usahanya dan caranya ia mempergunakan tenaganya orang desa masih menyangka dirinya sebagai satu anggota dari pada kaum. Kalau seseorang hendak memperbuat rumah, maka ia dapat mengharapkan pertolongan dari orang lain sama se desa. Demikian juga ia hendak mengerjakan sawahnya. Senantiasa ia beroleh bantuan. Disini tidak ada upah. Cukuplah kalau usaha dan jerih bersama itu disudahi dengan santapan bersama. Demikian juga kalau seseorang di desa ditimpa bahaya kematian. Bukan saja mayat dipikul ke kubur, juga perjamuan bersama turut menghiburkan hati yang rindu.
Demikianlah sifat “tolong-menolong” itu menjadi satu tiang daripada pergaulan hidup Indonesia. Dan sifat itu berpengaruh pula atas caranya orang-orang di desa mengurus beberapa hal yang bersangkut dengan kebutuhan mereka. Keputusan dengan mufakat!
Lebih jelas keliatan tanda-tanda collectivisme itu pada hak milik atas tanah. Pergaulan hidup di desa pada mulanya tidak mengenal hak orang seorang atas tanah; tanah itu bersama.
Sekarang dimana-mana sudah keliatan orang seorang mempunyai tanah. Hilangkah dengan itu hak milik bersama tadi? Dipandang dengan sekejap mata memang begitu rupanya. Tetapi kalau diselidiki dalam-dalam hak milik bersama itu tidak luput. Dimana tanah ditinggalkan oleh yang mengerjakannya, tanah itu jatuh kembali kepada kaum desa. Hak milik bersama daripada kaum desa hidup kembali.
Menurut asasnya hak milik bersama itu orang seorang boleh memakai tanah kepunyaan desa untuk dikerjakannya, asal saja tanah yang dimaksud itu belum lagi dipakai oleh orang lain. Hutan, sungai, bukit dan tanah mati, semuanya itu desa yang empunya. Orang-orang di desa berhak mengambil buh kayu disana, memancing ikan dengan sesukanya. Dan kalau ada sebagian hutan atau tanah mati yang hendak ditanaminya, cukuplah kalau ia memberi tanda dengan pancang atau apapun juga. Bagi orang lain di desa ini sebagai tanda, bahwa tanah yang tersebut tidak boleh diganggunya atau dipakainya lagi. Dibawah atap hak milik bersama orang seorang boleh mempunyai tanah buat dikerjakannya. Dan haknya atas tanah itu tetap selama ia mengerjakan tanah itu atau membuka perusahaan diatasnya. Dan kalau terbukti, bahwa ia tidak lagi memakai tanah itu, maka haknya hilang kembali dan tanah itu pulang menjadi hak milik desa.
Inilah dasarnya hak milik bersama atas tanah. Didalam lingkungan hak milik desa dapat diakui hak orang seorang. Keadaan inilah, kalau kita kurang periksa, yang sering menimbulkan sangka-sangka, bahwa dimana-mana tempat sudah keliatan milik orang seorang. Bertambah kembang rakyat di desa dan bertambah sesak penduduk negeri, bertambah hilang bukti-bukti yang orang meninggalkan tanah yang dikerjakannya, sehingga ia tetap mempunyai tanah itu. Hanya di daerah-daerah yang penduduknya amat jarang dan tanahnya amat luas, disana masih terdapat tanah yang ditinggalkan dan kembali kepada hak milik desa.
Satu soal yang penting berhubung dengan collectivisme ialah caranya pembagian tanah yang diusahakan sebagai sawah dan ladang diantara penduduk desa.
Ada dua macam pembagian! Pertama, dan rupanya inilah macam yang paling tua, tanah yang ada dibagi diantara penduduk desa untuk beberapa waktu yang ditentukan lamanya. Jikalau waktu itu sudah lewat, maka diulang membagi kembali. Boleh jadi dalam waktu yang lewat itu penduduk desa sudah berubah susunan dan jumlahnya, sehingga bagian masing-masing pada pembagian yang baru tidak sama dengan pembagian yang lama. Bertambah banyak tambahan jumlah rakyat, bertambah sedikit bagian masing-masing pada tiap-tiap pembagian baru.
Jadi menurut sistem pembagian ini saban sekian tahun diadakan pembagian tanah antara anggota-anggota kaum desa. Saban orang baru atau dewasa yang sudah mempunyai rumah tangga mendapat bagian pada tiap-tiap pembagian. Dengan jalan ini tidak ada penduduk yang tidak mendapat tanah untuk mendatangkan hasil bagi dia. Akan tetapi macam pembagian yang seperti ini semakin lama semakin hilang. Boleh jadi umat desa bertambah lama bertambah banyak, sehingga akhirnya masing-masing mendapat hanya sebidang kecil saja daripada tanah yang ada.
Kedua, tanah yang ada dibagi satu kali saja diantara penduduk desa yang ada waktu itu. Kalau pembagian itu sudah langsung, maka masing-masing tetap mempunyai tanah yang diusahakan itu sampai ia mati. Dan kalau ia sudah meninggal haknya atas mengerjakan tanah itu turun kepada ahli warisnya, seolah-olah tanah itu kepunyaan sendiri. Hanya kalau tanah itu tidak dikerjakannya lagi atau ditinggalkannya saja sampai beberapa lama, maka hak milik atas tanah itu pulang kembali kepada desa. Tanah itu dapat dibagi kembali atau dibagikan kepada orang lain. Alhasil orang yanng datang kemudian atau sampai dewasa tidak mendapat bagian sendiri, melainkan terpaksa menumpang atau turut makan dengan kaum keluarganya.
Siapa yang memperhatikan betul-betul kedua macam pembagian tanah itu diantara penduduk desa, dapat merasai keberatannya bagi waktu sekarang. Pembagian yang diadakan tiap-tiap sekian tahun ada adil rupanya buat zaman dahulu, tatkala rakyat belum begitu banyak, sedangkan tanah masih luas. Setelah rakyat bertambah banyak dan desa bertambah sesak, pembagian secara itu membawa kemunduran dalam penghidupan. Bagian masing-masing semakin lama semakin kecil.
Oleh karena itu tiap-tiap yang beruntung mendapatkan bagian tanah yang subur berusaha dengan sepenuh-penuh daya upayanya untuk menarik hasil yang sebesar-besarnya daripada tanah itu. Sering terjadi yang kesuburan tanah itu diperasnya sampai habis. Ini merugikan kepada orang yang menerima tanah itu sesudah dia! Inilah kesalahan yang melekat kepada sistem pembagian tiap-tiap sekian tahun.
Posting Komentar