Jumat, 27 Desember 2013

Mutasi Jabatan: Bukan Mutan Bertipe Liar

Karikatur: Celekit Jawa Pos 27 Agustus 2009
Mutan "Normal Licker"; Internet



















Mutasi. Istilah dan teori mutasi pertama kali dikemukakan oleh Hugo de Vries (1904), seorang botani dari Belanda. Dalam bukunya yang berjudul The Mutation Theory, Vries menjelaskan bahwa mutasi merupakan peristiwa yang jarang terjadi di alam. Namun, jika terjadi, sifat yang berubah pada peristiwa mutasi tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Kesimpulan demikian diperoleh setelah Vries melakukan percobaan terhadap bunga pukul empat (Mirabilis jalapa).


Mutasi terjadi pada frekuensi rendah di alam, biasanya lebih rendah daripada 1:10.000 individu. Mutasi di alam dapat terjadi akibat zat pembangkit mutasi (mutagen, termasuk karsinogen), radiasi surya, radio aktif, sinar ultraviolet, sinar X, serta loncatan energi listrik seperti petir.

Mutasi merupakan peristiwa berubahnya susunan materi genetika (DNA) yang berakibat berubahnya fenotipe suatu makhluk hidup. Oleh karena itu, peristiwa mutasi dapat dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya keanekaragaman materi genetika pada makhluk hidup. Agen yang menyebabkan mutasi disebut mutagen, sedangkan makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan.

Pada umumnya, gen yang telah mengalami mutasi cenderung bersifat stabil. Artinya, gen tersebut tidak akan mengalami mutasi lagi. Dalam kajian genetik, mutan biasa dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami perubahan sifat (individu tipe liar atau "wild type").

Meskipun secara biologi sebagian terbesar mutasi menyebabkan gangguan pada kebugaran (fitness) individu, bahkan kematian, mutasi sebenarnya adalah salah satu kunci bagi kemampuan beradaptasi suatu jenis (spesies) terhadap lingkungan baru atau yang berubah. Sisi positif ini dimanfaatkan oleh sejumlah bidang biologi terapan.

Mutasi Kepegawaian

Dalam Bahasa Indonesia, secara administrasi, mutasi adalah pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain. Sebagai rotasi rutin, promosi jabatan, perubahan variabel individu mengisi kekosongan jabatan, dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja suatu unit kerja yang akan berdampak makro bagi organisasi yang lebih besar.

Meskipun demikian, ada perbedaan yang cukup mendasar antara unit kerja pemerintahan dan swasta terkait logika motif pertimbangan mutasi. Bagi areal swasta, dominan mutasi pegawai lebih didasarkan pada kinerja dan produktivitas individu atau unit. Termasuk pelebaran ruang lingkup/wilayah kerja (pembukaan cabang) dan diversifikasi usaha.

Dunia kepemerintahan, oleh karena top management (dan Penguasa wilayah) muncul atas dasar momentum politik,  maka pertimbangan mutasi lebih menitikberatkan atas pertimbangan politis. Dan justru melibatkan interest group, dengan tetap mengacu pada tata aturan pengelolahan kepegawaian serta mekanismenya. Namun hal ini hanya sebagai suatu formalitas administrasi semata yang mudah diatur.

Oleh karenanya, pertimbangan yang melatarbelakanginya, sebut saja semisal, kepentingan organizing agenda politik dalam interval periodik mutasi berikutnya, agenda politis terdekat, hingga agenda politis lima tahunan. Itu artinya, logika merit ukur dinomorduakan. Kadang pula didasari oleh pertimbangan riwayat keberpihakkan pada momentum politik terdahulu yang melahirkan rezim penguasa yang akan dan sedang berjalan. Meskipun tentu rumus bakunya tetap  pertimbangkan kemampuan bekerjasama dan dianggap dapat dipercayai.

Sejatinya, mutasi jajaran kepemerintahan merupakan wilayah kewenangan dan otoritas unsur eksekutif. Namun oleh karena momentum kemunculan top managemen melalui momen politik, maka dalam penentuan dan penempatan mutasi, didominasi oleh logika politis dari lembaga politik, semisal legislatif dan unsur partai politik. Tentu hal ini jamak oleh karena tujuan partai politik selain menempatkan individu terbaiknya tidak hanya di lembaga legislatif, melainkan juga di eksekutif.

Namun tak jarang, oleh karena kematangan dan kedewasaan politik (etika politik) hanya sebagai slogan, maka rivalitas politik terus dijadikan sebagai identitas, meski momentum politik telah usai, logika kawan dan lawan perhelatan momen politik, masih diangkat sekaligus diberlakukan. Sehingga pendasarannya bisa jadi lantaran unsur like and dislike. Apalagi unsur (balas) dendam tak bisa dihindari. Maka kemudian, dampak dari mutasi jauh dari tujuan untuk meningkatkan perfomance dan produktivitas satuan kerja. Alhasil, publik akan dengan sangat tulus dan jujur mendefenisikannya sebagai rezim disorientasi.

(Ber)mutasi Fores Timur


Lazimnya pergantian suatu rezim, tentu diteruskan dengan reformasi birokrat oleh rezim baru. Hal ini sebagai dampak dari upaya mempersiapkan sumber daya manusia (birokrat) yang dianggap mampu dan relevan menjadi simpul-simpul team work dalam mewujudkan visi dan misi rezim baru tersebut. Namun oleh karena kebiasaan sejarah dan fakta keberpihakkan geliat pertarungan suksesi sebelumnya, terdokumentasi rapi, maka rezim baru menggunakan dokumentasi tersebut sebagai rujukan utama dalam merancang konstruksi jaringan kerjanya.

Setiap kali menjelang suksesi, Pegawai Negri Sipil (pns) selalu terfragmentasi. Terpolarisasi ke dalam berbagai pasangan calon (paslon). Kalangan ini oleh karena budaya patron-client telah mengakar kuat dan terbilang patuh pada atasan, cenderung menjadi sumber agency dan pendulangan suara "yang mudah". Tentu disertai seluruh anggota keluarganya. Hitung saja jumlah mereka dari tenaga honorer dan pns tingkat desa (sekdes) hingga esekon tertinggi.

Lahan perebutan ini sungguh sangat nampak jika ada paslon terbilang incumbent. Apalagi, misalnya, jika jumlah paslon incumbent ada 3 mewakili tiga pimpinan tertinggi wilayah (Bupati, Wabup, dan Sekda). Selama 5 tahun kepemimpinan, tentu saja ketiga unsur ini telah menciptakan dan memiliki barisan pns yang loyal, baik tercipta dan/atau diciptakan. Maka kadar fragmentasinya cukup meluas.

Oleh karena loyalitas (semu), niat, dan iming-iming kekuasaan (jabatan) yang dijanjikan (peluang), serta ketakutan dampak kegagalan dari keberpihakan (terdepak), maka terkadang mereka ini justru malah melupakan "netralitas" dalam politik praktis. Malah cenderung sangat vulgar dan terlampau 'sangat dalam' terjun. Melebihi para pelaku politik praktis sendiri. Dititik inilah sepak terjang mereka, terdokumentasi sangat rapi oleh seluruh rival. Dan akan dipergunakan oleh sang rival, siapapun dia saatnya tiba. Apalagi oleh rival incumbent, yang tentu saja sangat mengenal sesiapa itu.

Maka diawal kepemimpinan rezim baru, kita akan mudah melihat dan mendengar, para petinggi pns dinonjobkan, meskipun secara kualitas dan capabilitas, masih sangat dibutuhkan dan bisa jadi jenis kemampuan itu sangat langka serta belum ada pengganti. Dikotakkan! Sehingga yang belum memiliki kualifikasipun, dipaksa untuk memangku jabatan. Pada wilayah ini, tugas dan fungsi Baperjakat atau kini bernama Bapek menjadi tak bermakna. Pertimbangannya berakhir di Tong Sampah.

Sementara itu yang terkategori eselon menengah dan rendah, dibuang ke unit wilayah minus dan tandus, dimana pimpinan unit itu, malah secara kepangkatan, lebih rendah dari yang di  depak. Maka yang terjadi, justru menimbulkan konflik peran sendiri bagi sang pimpinan. Tujuan mutasi untuk peningkatan performance dan produktivitas malah makin jauh darii harapan.

Saat ini, Pemda Flotim akan melakukan mutasi. Para pejabat (rendah, menengah, dan tinggi) tentu sedang berkutat dalam situasi antara harap dan cemas. Sebelumnya, bagi yang super ambisius, tentu telah "bermuka manis" pada top managemen. Melalui berbagai cara. Bisa jadi melalui pendekatan agen (interest group). Ataupun melalui kepedulian yang kelewat akut.

Yang merasa gaya dan karakteristiknya agak berseberangan, tentu sangat wajar berada da- lam situasi teramat galau. Demikianpun bagi mereka yang post power syndrom  atau bertipe  status quo. Kehilangan jabatan dan tunnjangan jabatan. Terutama jika utang di Bank cukup besar, sementara tuntutan dan gaya hidup keluarga terbiasa berkelas. Yang selama ini tertolong oleh adanya tunjangan jabatan, fee proyek, dan biaya SPPD yang kelewat sering.

Kondisi ini akan semakin runyam, ketika yang bersangkutan punya simpanan ratusan juta di Mitra Tiara yang kini sedang tak mampu membayar bunga dan simpanan pokok nasabah. Tak menjabat lagi itu sama dengan runtuhnya benteng pertahanan terakhir ekonomi keluarga. Maka tak menjabat lagi dalam mutasi kali ini, itu sama halnya dengan "Tombak Takdir" yang fenomenal itu menikam lambung Jesus dari Nasareth di Bukit Tengkorak 2000 tahun silam. "Sudah selesai".

Dengan pola semacam ini, bagi yang kemudian dimutasikan pada satuan kerja yang tandus bukan karena ketakmampuan dan minus conditio, maka akan menciptakan semakin banyak parade cacian dan kutukan yang tak putus, serta menambah panjang daftar kelompok sakit hati, yang akan berujung semakin tak produktifnya kinerja birokrasi termasuk menjadi batu sandungan dalam memanifestasi visi, misi, dan program unggulan rezim berjalan.

Sejalan dengan pemahaman bidang biologi, agar mutasi pada akhirnya adalah salah satu kunci bagi kemampuan beradaptasi suatu jenis (spesies) terhadap lingkungan baru atau yang berubah. Bukan malah menciptakan Mutan yaitu individu tipe liar atau "wild type". Semoga.



Share this article now on :

Posting Komentar