Kamis, 12 Desember 2013

Desa Mengepung Kota, Bukanlah Parade Teriakan Dan Gertak

Ilustrasi Demonstrasi; pict: hizbut-tahrir.or.id


Di era 80-an, ada sebuah program TVRI yang cukup saya sukai: 'Dari Desa ke Desa'. Program ini menampilkan progress pembangunan desa-desa di seluruh Indonesia. Ratingnya cukup bagus. Apalagi saat itu, TVRI merupakan satu-satunya Stasiun televisi yang beroperasi. Acaranya selalu dinantikan. "Siapa tahu kali ini desaku yang akan disiarkan. Atau desa yang ada di Kabupatenku atapun cukuplah desa di Provinsiku". Demikian harap tiap orang.

Sebelumnya, kisah tentang Revolusi China sangat menginspirasi. Mao Tsedung berhasil menumbangkan penguasa. Melalui "Gerakan Desa Mengepung Kota". Kembali desa menjadi point penting dalam proses perubahan.

Kisah Perang Kemerdekaanpun bercerita senada. Pejuang-pejuang Indonesia saat itu bergrilia dari desa ke desa. NICA selalu kesulitan untuk mematahkan perlawanan mereka. Desa lagi-lagi menjadi gudang dan persemaian kaum Patriot Bangsa.

Flores Timur, dengan jumlah desa sekitar 250. Jumlah yang tidak sedikit. Kenapa desa, selalu menjadi penting? Sederhana. Bagaimanapun jumlah desa selalu lebih banyak dari Kota. Desa selalu mengelilingi Kota. Desa bagaikan satelit yang menyokong kehidupan Perkotaan. Desa bagaikan pejuang-pejuang Indian yang mengelilingi benteng pemerintah Amerika di era 1700-1800 untuk merebutnya. 

Untuk mengalahkan benteng tersebut, Pejuang Indian, hanya mengurung benteng. Berusaha menghentikan pasokan makanan-minuman dari luar. Mereka hanya menunggu, walau berhari-hari. Tujuannya jelas. Stock Logistik Benteng habis. Siapakah yang mampu berperang dalam kondisi lapar dan haus?

Bermodal 250 desa di Flores Timur. Ah, tentu sangat menarik jika dimanfaatkan. Jika tiap desa minimal direkrut 10 militan maka jumlah militan baru 2.500 orang. Andaipun nominal 10 cukup berat, kurangi hingga angka 5 per desa.  1.250 orang. Menghitung angka 1.250 dan mengumpulkannya pada saat bersamaan, bukanlah pekerjaan sederhana. Tentu akan jauh berbeda jika mengorganisir 5 orang dalam tiap desa.  

Ataupun bayangkan saja seluruh pimpinan dan tokoh-tokoh adat tiap desa, dalam saat yang bersamaan membuat statemen bersama, atau berkunjung ke lembaga perwakilan menyatakan tuntutan?

Saat ini, ada beberapa elemen mencoba menjadi pelopor dalam gerakan perubahan di Flotim. Setiap usaha tindakan mereka usai, evaluasi atas tindakan tersebut adalah ketakpedulian masyarakat atas gerakan itu. Boleh jadi elemen itu merasa sunyi. Jauh dari respon yang diharapkan. Justifikasi muncul menyalahkan ketakpedulian, selanjutnya.

Kepeloporan itu memang syarat awal.  Tetapi jika tujuannya mengarah pada perubahan dan pencerdasan secara massal, maka kepeloporan saja tidak cukup. Justru timbul nilai dan karakter elitis. Eksklusif! Elitis dan eksklusif akan sangat cocok jika elemen apapun ingin memanjakan pesona menjadi pesohor-pesohor. Bahwa gerak perubahan secara massal, apapun itu, membutuhkan gerbong-gerbong yang digerek oleh lokomotif yang bernama kepeloporan; dan gerbong itu bernama massa rakyat, yang potensi terbesarnya berada di lingkaran desa-desa. Meninggalkan potensi desa, itu sama halnya meruntuhkan tembok baja dengan Bambu Runcing semata. Atau hanya percikan api dari Kembang Api. Indah dan bertahan sesaat, lalu musnah.

Layaknya, Flotim sudah dan sangat butuh perubahan. Perubahan tentu butuh strategi dan taktik. “Menempeleng” penyimpangan birokratisasi dengan sistem yang telah terbudaya puluhan tahun, hanya oleh segelintiran orang dengan parade teriakan dan gertak saja, itu sangat tak cukup. Gerbong-gerbong perlu dilibatkan dan melibatkan diri. Dalam urusan strategis, desa merupakan asset yang sangat pontensial. Maka sejarah telah mencatat Mao berhasil dengan: DESA MENGEPUNG KOTA.
Share this article now on :

Posting Komentar