By; Ahmadi Madi (https://www.facebook.com/ahmadi.madi2)
Aku berjalan di tengah keramaian mahasiswa di kampus Unmer Malang. Tak lama terdengar panggilan dari teras kantin, kutoleh, sosok wanita tersenyum lalu bicara agak kencang. "Mas! Pacaran yuuk!". Hahahaa males nanggapi, arek edan!, kutinggal saja sambil menendang kaleng kosong di pinggir jalan. Ploang!! Membuang gundah. Kemudian langkah kubawa masuk gang sempit, menembus fakultas tehnik. Di situ suasana berubah sepi. Di ujung tikungan, Diajeng Bonita muncul dengan wajah kusut. Kulempar senyum tetap cemberut. Kututup jalanya, dia terdiam lalu tertunduk. " Maafkan kemarin, aku cemburu dengan Dosen yang menyukaimu", ucapku.
“Gitu langsung pulang, sebenarnya kalau sampean masuk rumah, hadapi pak Dosen, agar dia tau aku sudah punya sampean, pasti dia cepat pulang. Tadi malam sampai jam 10 malam baru mau pulang. Capek aku". "Ok sorry, kapan dia ngapel lagi?". "Besok malam minggu pasti datang lagi. Jangan main kasar, nilai ujian sampean bisa dia jatuhkan". "Nggak, dia gak bakal tahu aku pelakunya".
Malam minggu datang, rumah Bonita diatas bukit, agak terpisah dari hunian lainnya. Selepas isa sebuah mobil Jimny merah tua datang, parkir di depan rumah. Dosen Sarmin yang masih bujangan turun dari mobil, kemudian menyisir rambutnya yang tinggal beberapa helai. Dengan langkah gagah perkasa, dibawanya langkah ke pintu rumah. Pintu diketok, Bonita muncul dengan senyum jengkel. Sepatu tracking merk Catervilar dibuka, lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama di dalam rumah, Bonita pura-pura tak enak badan, harus istirahat di dalam kamar. Ibunya Bonita turut mendukung konspirasi, beliau menemui sang dosen.
"Pak Dosen, Bonita butuh istirahat, sebaiknya anda pulang saja. Bisakan?". "Ohh, sakit?. Maaf saya baru tahu, ya saya permisi bu". Saat membuka pintu Sarmin terkejut, sepatu Trekingnya yg tadi diletakan di depan pintu hilang. Lihat kiri kanan, atas bawah tak ada, kemana?. "Ada apa pak dosen kok toleh sana sini", tanya si ibu. "Gak papa bu, cuma sepatu kok. Mungkin saya tadi lupa pakai sepatu dari rumah". Dengan kaki ‘nyeker’ dia melangkah menuju mobil. Sementara aku tertawa terpingkal pingkal di kejauhan. Rasain!. Saat mobil Jimny melintas jalan turun, tampa sadar melindas hamburan paku yang sengaja kupasang. Tak lebih 100 meter empat ban bocor kehabisan angin. Terpaksa Jimny merah berhenti. Satu persatu ban dibawa becak ke tambal ban.
Di kampus, Bonita sudah berusaha keras menunjukkan aku sebagai pacarnya. Dengan cara menggandeng tanganku tiap lewat ruang dosen. Namun Sarmin hanya menganggap aku sebagai lawan kecil.
Malam minggu datang lagi. Kali ini Sarmin naik motor Bebek dengan alas kaki sandal tracking. Hmm bagaiman lagi, mesti ku apakan motornya? Kalau dibocorkan ban pasti jadi lama di rumah Bonita. Lumayan bikin pusing. Aku ingat topeng buto Cakil milik teman di dekat rumah Bonita. Pinjam sebentar. Didalam ruang tamu Sarmin sambil ngobrol, sering melirik kepintu keluar yang sedikit terbuka. Dia mengawasi sandal tracking dan motornya, takut ada yang jahil lagi. Jam 21 tepat, Sarmin beranjak pulang. Karena Bonita bilang sudah ngantuk berat, pingin bobok. Saat motornya memutar lewat jalan samping kuburan, dia yakin lebih aman dari hamparan paku pasangan para penjahat.
Tepat depan kuburan, batu sebogem kulempar sekerasnya ke arah motor Kawasaki yang ditumpanginya. Suittt, bakkk! Tepat kena ruji ban belakang. Seketika motor bergoyang, lalu jatuh ke jalan tanah. Cepat aku berdiri di balik tembok kuburan yang tinggi se meter. Sarmin yg sedang berusaha berdiri, tersentak kaget melihat kain Kafan berdiri, dengan wajah bertaring buto cakil. Motor langsung dilepas, lari sekencangnya. Agar tambah parah situasinya, kusempatkan mengejarnya beberapa saat, tentu Sarmin tambah panik dan tambah kencang larinya. Beres sudah.
Tak pernah lagi dia berani apeli Bonita. Kapok. Namun nilai ujian Ekonomi Marko yang diajar Sarmin, selalu aku dapat E. Bahkan pernah F. Gak masalah, bagiku kampus untuk nambah ilmu, bukan untuk berburu nilai.
Aku berjalan di tengah keramaian mahasiswa di kampus Unmer Malang. Tak lama terdengar panggilan dari teras kantin, kutoleh, sosok wanita tersenyum lalu bicara agak kencang. "Mas! Pacaran yuuk!". Hahahaa males nanggapi, arek edan!, kutinggal saja sambil menendang kaleng kosong di pinggir jalan. Ploang!! Membuang gundah. Kemudian langkah kubawa masuk gang sempit, menembus fakultas tehnik. Di situ suasana berubah sepi. Di ujung tikungan, Diajeng Bonita muncul dengan wajah kusut. Kulempar senyum tetap cemberut. Kututup jalanya, dia terdiam lalu tertunduk. " Maafkan kemarin, aku cemburu dengan Dosen yang menyukaimu", ucapku.
“Gitu langsung pulang, sebenarnya kalau sampean masuk rumah, hadapi pak Dosen, agar dia tau aku sudah punya sampean, pasti dia cepat pulang. Tadi malam sampai jam 10 malam baru mau pulang. Capek aku". "Ok sorry, kapan dia ngapel lagi?". "Besok malam minggu pasti datang lagi. Jangan main kasar, nilai ujian sampean bisa dia jatuhkan". "Nggak, dia gak bakal tahu aku pelakunya".
Malam minggu datang, rumah Bonita diatas bukit, agak terpisah dari hunian lainnya. Selepas isa sebuah mobil Jimny merah tua datang, parkir di depan rumah. Dosen Sarmin yang masih bujangan turun dari mobil, kemudian menyisir rambutnya yang tinggal beberapa helai. Dengan langkah gagah perkasa, dibawanya langkah ke pintu rumah. Pintu diketok, Bonita muncul dengan senyum jengkel. Sepatu tracking merk Catervilar dibuka, lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama di dalam rumah, Bonita pura-pura tak enak badan, harus istirahat di dalam kamar. Ibunya Bonita turut mendukung konspirasi, beliau menemui sang dosen.
"Pak Dosen, Bonita butuh istirahat, sebaiknya anda pulang saja. Bisakan?". "Ohh, sakit?. Maaf saya baru tahu, ya saya permisi bu". Saat membuka pintu Sarmin terkejut, sepatu Trekingnya yg tadi diletakan di depan pintu hilang. Lihat kiri kanan, atas bawah tak ada, kemana?. "Ada apa pak dosen kok toleh sana sini", tanya si ibu. "Gak papa bu, cuma sepatu kok. Mungkin saya tadi lupa pakai sepatu dari rumah". Dengan kaki ‘nyeker’ dia melangkah menuju mobil. Sementara aku tertawa terpingkal pingkal di kejauhan. Rasain!. Saat mobil Jimny melintas jalan turun, tampa sadar melindas hamburan paku yang sengaja kupasang. Tak lebih 100 meter empat ban bocor kehabisan angin. Terpaksa Jimny merah berhenti. Satu persatu ban dibawa becak ke tambal ban.
Di kampus, Bonita sudah berusaha keras menunjukkan aku sebagai pacarnya. Dengan cara menggandeng tanganku tiap lewat ruang dosen. Namun Sarmin hanya menganggap aku sebagai lawan kecil.
Malam minggu datang lagi. Kali ini Sarmin naik motor Bebek dengan alas kaki sandal tracking. Hmm bagaiman lagi, mesti ku apakan motornya? Kalau dibocorkan ban pasti jadi lama di rumah Bonita. Lumayan bikin pusing. Aku ingat topeng buto Cakil milik teman di dekat rumah Bonita. Pinjam sebentar. Didalam ruang tamu Sarmin sambil ngobrol, sering melirik kepintu keluar yang sedikit terbuka. Dia mengawasi sandal tracking dan motornya, takut ada yang jahil lagi. Jam 21 tepat, Sarmin beranjak pulang. Karena Bonita bilang sudah ngantuk berat, pingin bobok. Saat motornya memutar lewat jalan samping kuburan, dia yakin lebih aman dari hamparan paku pasangan para penjahat.
Tepat depan kuburan, batu sebogem kulempar sekerasnya ke arah motor Kawasaki yang ditumpanginya. Suittt, bakkk! Tepat kena ruji ban belakang. Seketika motor bergoyang, lalu jatuh ke jalan tanah. Cepat aku berdiri di balik tembok kuburan yang tinggi se meter. Sarmin yg sedang berusaha berdiri, tersentak kaget melihat kain Kafan berdiri, dengan wajah bertaring buto cakil. Motor langsung dilepas, lari sekencangnya. Agar tambah parah situasinya, kusempatkan mengejarnya beberapa saat, tentu Sarmin tambah panik dan tambah kencang larinya. Beres sudah.
Tak pernah lagi dia berani apeli Bonita. Kapok. Namun nilai ujian Ekonomi Marko yang diajar Sarmin, selalu aku dapat E. Bahkan pernah F. Gak masalah, bagiku kampus untuk nambah ilmu, bukan untuk berburu nilai.
Posting Komentar