Senin, 12 Mei 2014

Sebuah Kisah DI 7X7 Meter



Ruang dalam  Gedung 7x7 m., Sekretariat IMAPALA UNMER Malang

Saat itu sore, sekitar tahun 1998. Gedung berukuran 7x7m itu cukup ramai. Selain oleh 'penghuninya', juga dipenuhi Anggota Muda (AM). AM kurang lebih 10 orang itu, setelah mengikuti Rangkaian DIKLAT mulai dari Ruangan, Lapangan I, Lapangan II, Interview, Pembayatan, dan Pelantikan, memasuki tahap Mentorring. Dalam tahap ini, AM dibagi menjadi beberapa kelompok bergilir tiap hari. Tahap ini, seluruh AM, akan mendapat dan memperdalam seluruh materi tentang kegiatan kepecintaalaman, administrasi praktis, Managemen Ekspedisi, Gunung Rimba, hingga Rock Climbing.

Aku baru saja lepas kuliah. Seperti biasa, sehabis kuliah pasti mampir ke gedung kecil berukuran 7x7 itu. Jarak terjauh antara Sekretariat IMAPALA dengan Fakultasku, hanya 50 m. Tiba di sekretariat IMAPALA, aku bergabung dengan sesama Anggota Biasa (AB), menikmati Kopi sore. Tak banyak yang kami obrolkan. AM sedang mendalami materi Navigasi Darat. Mentornya letingku, Hery. Dia spesialist Gunung Rimba. Pengalaman dalam bidang Mountenerring, sangat ekspert. Apalagi soal Navigasi Darat. Kami memanggil dia Kimba. Mungkin karena ketangguhannya jika berada di Hutan. Hampir semua gunung di Jawa, sudah didaki. Lebih banyak didakinya seorang diri. Mungkin itu alasannya dijuluki Si Kimba.

Sementara itu, Peo, yang juga letingku, sibuk siapkan tali dan peralatan manjat. Ditubuhnya bergelantung berbagai alat. Tali Carnmantle, Harnest, Webbing, Prussik, Carabiner, Ascendeurs (Alat-alat naik) dan Descendeurs (Alat-alat turun). Rupanya dia sedang mempersiapkan praktek materi Rock Climbing. Seperti biasa, tampilannya sangat khas. Nyeker, super selengekan, dan di kepalanya terikat Bandana Biru, yang menurutnya Biru itu bermakna misteri.

Peo menuju ke samping sekretariat. Memang Sekretariat Imapala, memiliki cukup halaman, taman berbentuk huruf L. Diapiti Mako Menwa Batalyon 808, Kantin Kopkar, Kopkar, Fisip, Masjib Kampus Al Huda, Sekretariat UKMI-LDK, Fak. Hukum, dan Fak. Teknik Sipil. Di taman yang berbatasan dengan tembok T. Sipil, tumbuh sebatang Pohon Sono dengan cabang sekitar 3 mdpt (meter diatas permukaan tanah).
Kepada cabang pohon itulah, rekan Peo membuat anchor. Sesuai safety procedure Rock Climbing, anchor minimal terdiri dari 2 (dua) titik dengan rentang tidak boleh melebihi 120 derajat, yang menuju titik simpul keduanya, disatukan dengan Carabiner dimana tempat dikaitkan fix rope, tali utama pemanjatan. 

AM sudah pada berkumpul, itu pertanda materi Navigasi Darat berakhir. Sejauh ini aku masih belum tahu materi apa yang akan diberikan oleh si Kempro. Begitulah Peo disapa. Sebutan itu bukan penghinaan, mungkin karena gaya tampilannya yang olehnya sendiri dinamakan Kempro Style.

Setelah usai pemasangan instalasi, Kaka Peo mulai menjelaskan pelatihan yang akan dipelajari oleh AM. Mengenakan Harnest Putih Merah merk Petzl, Peo membuka dengan contoh yang dipraktekkan sendiri.
Sekilas tentang Harnest Petzl itu. Dari usia dan tampilan yang sudah agak kumal itu, yang oleh kebanyakan anggota jarang diminati, ternyata oleh Peo, dijadikan sebagai Harnest favourite. Dia merasa sangat PeDe jika menggunakannya. Seat Harnest untuk pemanjatan Himalayan System itu, karena terdapat gesper di kedua lingkar paha, mungkin pernah menyelamatkannya ketika gambling sekitar belasan meter di Tebing Lembah Kera ketika TC menuju pemanjatan di Tebing Lanang, Tulungagung, saat dirinya masih AM. Waktu itu yang jadi Belayer, aku.

Oh rupanya, materi yang akan diberikan kaka Peo adalah SRT (Single Rope Technic). Yaitu teknik menambah ketinggian dan turun melalui tali tunggal dengan peralatan ascendeur dan descendeur.
Di tubuhnya, selain terpasang Seat Harnest Petzl, pada cincin harnest itu terikat Cow's Tail dua buah berukuran 60 cm dan 40 cm dari Prussik diameter 6 mm, berujung pada 2 (dua) buah Carabiner Camp screwgate Delta warna hijau. Sementara di dadanya terpasang Cheast Harnest buatan senior dari webbing berukuran lebar, warna coklat. Pertemuan kedua cincin harnest di depan dada, terdapat Croll merk Petzl warna ungu hitam (Ascendeur). Untuk stabilnya Croll, dikaitkan dengan prussik ke cincin seat harnest.
Selain Cows Tail (pengaman tubuh, mungkin mirip buntut Sapi), juga terikat dengan Webbing sejarak jangkauan tangan pada ujung yang lainnya, terdapat Jummar (Ascendeur); dari Jummar ini terdapat footloop, tempat pijakan kaki. Ada yang terbuat dari rangkain sejenis tangga kecil, atau dari webbing. Saat itu Peo, si Mentor, gunakan dari webbing. 

Sementara pada seat harnest disematkan beberapa alat turun dengan carabiner seperti figure of eight, rack, simple, Autostop, puley, dan Sun. 

Peo tampak gagah sekali dalam balutan aneka peralatan, ketika berdiri dengan sepatu panjat Big Wall, warisan senior yang jarang digunakan oleh AB lainnya.Yang katanya banyak orang, sangat tidak nyaman, berat, dan tampak tua, serta dekil. Terbukti Peo melempar senyum kearahku, seolah ingin meminta peneguhan,"Aku keren kan, Co?". Akupun membalasnya dengan dua jempol kearahnya.
Rangkaian materi telah diberikan dan dipraktekan, mulai dari naik dan turun tanpa hambatan, sampai pada membuat hambatan di tengah-tengah tali. Proses ini cukup beresiko dan jelimet. Banyak yang masiih kesulitan, walau sudah mengulangi hingga kali ke tiga.


Pict by; Rahman Hendra Gunawan
Pasalnya, Croll yang terdapat pada cheast harnest, yang berfungsi untuk menahan tubuh, tidak dapat melewati tali jika ada hambatannya. Untuk itu dibutuhkan teknik khusus. Bagi yang awam, tentu sangat sulit. Tetapi bagi mereka yang paham mekanisme kerja peralatan itu, pasti secara teori akan gampang. Intinya, jummar yang dikendalikan dalam genggaman salah satu tangan, untuk menambah ketinggian dengan tekanan kaki pada footloop, harus bisa bekerja sama dengan Croll yang menahan laju tubuh pengaruh gravitasi bumi.
Mekanisme melewati hambatan pada tali ketika prosessing "Jummaring" sangat sederhana. Sebelum melewati hambatan, keluarkan Jummar dari tali, dan masukan lagi tali pada jalur tali, diatas hambatan sejauh jangkauan tangan 1/2 atau 3/4. Jika terlalu tinggi, akan sangat menyulitkan.

Kemudian, pastikan posisi Croll tidak sampai mentok dengan hambatan. Berdirilah pada footloop, Badan diiupayakan merapat pada tali utama. Sambil menahan gaya sentrifugal [gaya plintiran], Bukalah kuncian Croll dari tali. Karena gerigi Croll mirip Gigi Ular, maka akan sangat sulit sekali membukanya setelah terbebani. Untuk itu, diperlukan sedikit dorongan ke atas agar gerigi Croll keluar dari tali, otomatis akan sangat mudah dilepaskan. Maka jarak antara Croll dan hambatan tadi, berfugsi sebgai ruang untuk menggeser Croll.

Setelah itu pindahkan Croll diatas hambatan. Begitupun jika turun.
Setelah semuanya selesai, munncul Senior Angkatan I, Mas Ahmadi Madi. Seperti biasa. Dengan pakaian cirikhas nuansa Hitam, selalu melemparkan senyum dan sapaan duluan kepada junior-juniornnya, sapaan khas juga, "Hello Pren", sambil menempelkan salah satu tangan di jidat dengan telapak tangan menghadap keluar. Sebuah cara menyapa yang unik dari seorang senior pada waktu itu. Duluan menyapa saja, sudah unik dan dianggap tidak biasa? 

Tapi demikianlah Mas Madi, selalu supel dan gampang akrab kepada siapa saja.
Mas Madi, setelah melihat beberapa saat, mendekati Peyo Adrian. Aku juga tertarik. Pasalnya, Frank Lamanepa, juga spesialist Rock Climbing. Dan Mas Madi adalah Pemanjat yang cukup disegani di Jatim waktu itu. Pasti ada ilmu baru yang akan ditularkan.

Tiba dekat Peo, Mas Madi langsung melepaskan Sunn di harnest Peo. Ya alat itu yang belum digunakan selama materi tadi. 

"Co, kamu pernah gunakan alat ini buat turun?", sergap Mas Madi di hadapan AM.
"Kalau buat naik pernah Mas. Tapi buat turun, belum pernah Mas", Jawabku.
"Bisa ndak buat turun, Kico?", kejarnya lagi.
"Setahu saya, secara prinsip, semua alat naik bisa digunakan pula sebagai alat turun, mas", jawabku mencoba menguasai kondisi pribadi dihadapan AM
"Kalau begitu, cobalah dipraktekkan", sambil mengarahkan pandangan dan alat itu kepadaku.
"Mas, Peo saja ya,,,,. Apalagi dia sudah kenakan Harnest?", aku berusaha mengelak. Mas Madi selalu punya trik. itu feellingku saat itu.
"Monggo,,,! Siapa takut....!", tantang Peo.

Sekilas gambaran, Peo memang tipe yang suka sekali dengan tantangan. Apalagi hal baru dan ditantang.
Mas Madi duduk tak jauh dari lokus. Akupun ikut duduk. Sementara Peo mulai merambah pada tali. Hingga pada titik top, Peo terhenti dan mulai memasang alat turun tadi, Sunn. Peo akan rapeling menggunakan Sunn. Sesuatu hal baru. AM pun super serius. 

Kulihat Mas Madi tanpa suara. Matanya tak pernah berpaling. Akupun makin tegang. Terutama detik-detik Peo hendak menekan panel Sunn.
Lumayan batinku, dengan jarak 2,5 mdpt. 

Mula-mula agak kaku. Sulit bergerak karena terbebani berat tubuh. Kemudian, Peopun agak sedikit gunakan tenaga menekan. Apa yang terjadi....!!!!??
Sangat sulit diikuti gerakan mata. Hanya terdengar suara "Buukk...!!"
Kami hanya dapat melihat Peo memegang pantatnya, dengan ekspresi berbeda di wajahnya. Untung tidak terlalu tinggi.

Tiba-tiba, pecahlah suara tawa Mas Madi. Bahkan sampai hampir keluar airmatanya. Akupun turut tertawa.
"Peyo, akupun belum pernah coba,,,"
"Tadi katanya sudah coba", sambil meringis Peo bersungut
"Biar aku tahu bisa apa nggak. Kalau aku bilang belum, mana mungkin kamu mau? Hahahahahahahahaha".
Suatu cara pembelajaran dan mencari tahu yang sangat ekstrim. Feelingku memang tepat. Kali ini aku luput.***

23 Okto 2013
Share this article now on :

Posting Komentar