Ruang dalam Gedung 7x7 m., Sekretariat IMAPALA UNMER Malang |
Saat itu sore, sekitar tahun 1998. Gedung berukuran 7x7m itu cukup ramai. Selain oleh 'penghuninya', juga dipenuhi Anggota Muda (AM). AM kurang lebih 10 orang itu, setelah mengikuti Rangkaian DIKLAT mulai dari Ruangan, Lapangan I, Lapangan II, Interview, Pembayatan, dan Pelantikan, memasuki tahap Mentorring. Dalam tahap ini, AM dibagi menjadi beberapa kelompok bergilir tiap hari. Tahap ini, seluruh AM, akan mendapat dan memperdalam seluruh materi tentang kegiatan kepecintaalaman, administrasi praktis, Managemen Ekspedisi, Gunung Rimba, hingga Rock Climbing.
Aku baru saja
lepas kuliah. Seperti biasa, sehabis kuliah pasti mampir ke gedung kecil
berukuran 7x7 itu. Jarak terjauh antara Sekretariat IMAPALA dengan
Fakultasku, hanya 50 m. Tiba di sekretariat IMAPALA, aku bergabung
dengan sesama Anggota Biasa (AB), menikmati Kopi sore. Tak banyak yang
kami obrolkan. AM sedang mendalami materi Navigasi Darat. Mentornya
letingku, Hery.
Dia spesialist Gunung Rimba. Pengalaman dalam bidang Mountenerring,
sangat ekspert. Apalagi soal Navigasi Darat. Kami memanggil dia Kimba.
Mungkin karena ketangguhannya jika berada di Hutan. Hampir semua gunung
di Jawa, sudah didaki. Lebih banyak didakinya seorang diri. Mungkin itu
alasannya dijuluki Si Kimba.
Sementara itu, Peo, yang juga
letingku, sibuk siapkan tali dan peralatan manjat. Ditubuhnya
bergelantung berbagai alat. Tali Carnmantle, Harnest, Webbing, Prussik,
Carabiner, Ascendeurs (Alat-alat naik) dan Descendeurs (Alat-alat
turun). Rupanya dia sedang mempersiapkan praktek materi Rock Climbing.
Seperti biasa, tampilannya sangat khas. Nyeker, super selengekan, dan di
kepalanya terikat Bandana Biru, yang menurutnya Biru itu bermakna
misteri.
Peo menuju ke samping sekretariat. Memang Sekretariat
Imapala, memiliki cukup halaman, taman berbentuk huruf L. Diapiti Mako
Menwa Batalyon 808, Kantin Kopkar, Kopkar, Fisip, Masjib Kampus Al Huda,
Sekretariat UKMI-LDK, Fak. Hukum, dan Fak. Teknik Sipil. Di taman yang
berbatasan dengan tembok T. Sipil, tumbuh sebatang Pohon Sono dengan
cabang sekitar 3 mdpt (meter diatas permukaan tanah).
Kepada
cabang pohon itulah, rekan Peo membuat anchor. Sesuai safety procedure
Rock Climbing, anchor minimal terdiri dari 2 (dua) titik dengan rentang
tidak boleh melebihi 120 derajat, yang menuju titik simpul keduanya,
disatukan dengan Carabiner dimana tempat dikaitkan fix rope, tali utama
pemanjatan.
AM sudah pada berkumpul, itu pertanda materi
Navigasi Darat berakhir. Sejauh ini aku masih belum tahu materi apa yang
akan diberikan oleh si Kempro. Begitulah Peo disapa. Sebutan itu bukan
penghinaan, mungkin karena gaya tampilannya yang olehnya sendiri
dinamakan Kempro Style.
Setelah usai pemasangan instalasi, Kaka
Peo mulai menjelaskan pelatihan yang akan dipelajari oleh AM.
Mengenakan Harnest Putih Merah merk Petzl, Peo membuka dengan contoh
yang dipraktekkan sendiri.
Sekilas tentang Harnest Petzl itu.
Dari usia dan tampilan yang sudah agak kumal itu, yang oleh kebanyakan
anggota jarang diminati, ternyata oleh Peo, dijadikan sebagai Harnest
favourite. Dia merasa sangat PeDe jika menggunakannya. Seat Harnest
untuk pemanjatan Himalayan System itu, karena terdapat gesper di kedua
lingkar paha, mungkin pernah menyelamatkannya ketika gambling sekitar
belasan meter di Tebing Lembah Kera ketika TC menuju pemanjatan di
Tebing Lanang, Tulungagung, saat dirinya masih AM. Waktu itu yang jadi
Belayer, aku.
Oh rupanya, materi yang akan diberikan kaka Peo
adalah SRT (Single Rope Technic). Yaitu teknik menambah ketinggian dan
turun melalui tali tunggal dengan peralatan ascendeur dan descendeur.
Di tubuhnya, selain terpasang Seat Harnest Petzl, pada cincin harnest
itu terikat Cow's Tail dua buah berukuran 60 cm dan 40 cm dari Prussik
diameter 6 mm, berujung pada 2 (dua) buah Carabiner Camp screwgate Delta
warna hijau. Sementara di dadanya terpasang Cheast Harnest buatan
senior dari webbing berukuran lebar, warna coklat. Pertemuan kedua
cincin harnest di depan dada, terdapat Croll merk Petzl warna ungu hitam
(Ascendeur). Untuk stabilnya Croll, dikaitkan dengan prussik ke cincin
seat harnest.
Selain Cows Tail (pengaman tubuh, mungkin mirip
buntut Sapi), juga terikat dengan Webbing sejarak jangkauan tangan pada
ujung yang lainnya, terdapat Jummar (Ascendeur); dari Jummar ini
terdapat footloop, tempat pijakan kaki. Ada yang terbuat dari rangkain
sejenis tangga kecil, atau dari webbing. Saat itu Peo, si Mentor,
gunakan dari webbing.
Sementara pada seat harnest disematkan
beberapa alat turun dengan carabiner seperti figure of eight, rack,
simple, Autostop, puley, dan Sun.
Peo tampak gagah sekali
dalam balutan aneka peralatan, ketika berdiri dengan sepatu panjat Big
Wall, warisan senior yang jarang digunakan oleh AB lainnya.Yang katanya
banyak orang, sangat tidak nyaman, berat, dan tampak tua, serta dekil.
Terbukti Peo melempar senyum kearahku, seolah ingin meminta
peneguhan,"Aku keren kan, Co?". Akupun membalasnya dengan dua jempol
kearahnya.
Rangkaian materi telah diberikan dan dipraktekan,
mulai dari naik dan turun tanpa hambatan, sampai pada membuat hambatan
di tengah-tengah tali. Proses ini cukup beresiko dan jelimet. Banyak
yang masiih kesulitan, walau sudah mengulangi hingga kali ke tiga.
Pict by; Rahman Hendra Gunawan |
Mekanisme melewati hambatan pada tali
ketika prosessing "Jummaring" sangat sederhana. Sebelum melewati
hambatan, keluarkan Jummar dari tali, dan masukan lagi tali pada jalur
tali, diatas hambatan sejauh jangkauan tangan 1/2 atau 3/4. Jika terlalu
tinggi, akan sangat menyulitkan.
Kemudian, pastikan posisi
Croll tidak sampai mentok dengan hambatan. Berdirilah pada footloop,
Badan diiupayakan merapat pada tali utama. Sambil menahan gaya
sentrifugal [gaya plintiran], Bukalah kuncian Croll dari tali. Karena
gerigi Croll mirip Gigi Ular, maka akan sangat sulit sekali membukanya
setelah terbebani. Untuk itu, diperlukan sedikit dorongan ke atas agar
gerigi Croll keluar dari tali, otomatis akan sangat mudah dilepaskan.
Maka jarak antara Croll dan hambatan tadi, berfugsi sebgai ruang untuk
menggeser Croll.
Setelah itu pindahkan Croll diatas hambatan. Begitupun jika turun.
Setelah semuanya selesai, munncul Senior Angkatan I, Mas Ahmadi Madi.
Seperti biasa. Dengan pakaian cirikhas nuansa Hitam, selalu melemparkan
senyum dan sapaan duluan kepada junior-juniornnya, sapaan khas juga,
"Hello Pren", sambil menempelkan salah satu tangan di jidat dengan
telapak tangan menghadap keluar. Sebuah cara menyapa yang unik dari
seorang senior pada waktu itu. Duluan menyapa saja, sudah unik dan
dianggap tidak biasa?
Tapi demikianlah Mas Madi, selalu supel dan gampang akrab kepada siapa saja.
Mas Madi, setelah melihat beberapa saat, mendekati Peyo Adrian. Aku juga tertarik. Pasalnya, Frank Lamanepa,
juga spesialist Rock Climbing. Dan Mas Madi adalah Pemanjat yang cukup
disegani di Jatim waktu itu. Pasti ada ilmu baru yang akan ditularkan.
Tiba dekat Peo, Mas Madi langsung melepaskan Sunn di harnest Peo. Ya alat itu yang belum digunakan selama materi tadi.
"Co, kamu pernah gunakan alat ini buat turun?", sergap Mas Madi di hadapan AM.
"Kalau buat naik pernah Mas. Tapi buat turun, belum pernah Mas", Jawabku.
"Bisa ndak buat turun, Kico?", kejarnya lagi.
"Setahu saya, secara prinsip, semua alat naik bisa digunakan pula
sebagai alat turun, mas", jawabku mencoba menguasai kondisi pribadi
dihadapan AM
"Kalau begitu, cobalah dipraktekkan", sambil mengarahkan pandangan dan alat itu kepadaku.
"Mas, Peo saja ya,,,,. Apalagi dia sudah kenakan Harnest?", aku
berusaha mengelak. Mas Madi selalu punya trik. itu feellingku saat itu.
"Monggo,,,! Siapa takut....!", tantang Peo.
Sekilas gambaran, Peo memang tipe yang suka sekali dengan tantangan. Apalagi hal baru dan ditantang.
Mas Madi duduk tak jauh dari lokus. Akupun ikut duduk. Sementara Peo
mulai merambah pada tali. Hingga pada titik top, Peo terhenti dan mulai
memasang alat turun tadi, Sunn. Peo akan rapeling menggunakan Sunn.
Sesuatu hal baru. AM pun super serius.
Kulihat Mas Madi tanpa
suara. Matanya tak pernah berpaling. Akupun makin tegang. Terutama
detik-detik Peo hendak menekan panel Sunn.
Lumayan batinku, dengan jarak 2,5 mdpt.
Mula-mula agak kaku. Sulit bergerak karena terbebani berat tubuh.
Kemudian, Peopun agak sedikit gunakan tenaga menekan. Apa yang
terjadi....!!!!??
Sangat sulit diikuti gerakan mata. Hanya terdengar suara "Buukk...!!"
Kami hanya dapat melihat Peo memegang pantatnya, dengan ekspresi berbeda di wajahnya. Untung tidak terlalu tinggi.
Tiba-tiba, pecahlah suara tawa Mas Madi. Bahkan sampai hampir keluar airmatanya. Akupun turut tertawa.
"Peyo, akupun belum pernah coba,,,"
"Tadi katanya sudah coba", sambil meringis Peo bersungut
"Biar aku tahu bisa apa nggak. Kalau aku bilang belum, mana mungkin kamu mau? Hahahahahahahahaha".
Suatu cara pembelajaran dan mencari tahu yang sangat ekstrim. Feelingku memang tepat. Kali ini aku luput.***
23 Okto 2013
Posting Komentar