Joko Widodo Presiden Indonesia; pict by antaranews.com |
Sebelumnya, orang mengenal ada beberapa theori tentang kepemimpinan. Pemimpin itu dilahirkan, hasil tempaan, dan gabungan keduanya. Tapi dewasa ini, dalam dunia modern, banyak yang membenarkan bahwa pemimpin itu tidak lain tidak bukan muncul karena dibentuk. Bukan dilahirkan. Penempaan terus-menerus atas pengalaman real. Proses internalisasi nilai tak berhingga. Termasuk tak kalah penting, bahkan sangat dominan, dibesarkan oleh media. Peran media sungguh menjadi penentu utama.
Membicarakan tipical pemimpin dalam konteks kekinian, rasanya publik akan mengganggap sosok Joko Widodo [Jokowi], Presiden Republik Indonesia ke 7, pantas mendapat predikat fenomenal. Pemilik karakter sederhana ini, begitu cepat melejit untuk ukuran orang yang belum lama berkiprah. Sosok baru. From zero. Jadi Tokoh Nasional. Tidak kurang hanya dalam 10 tahun, pria yang mengawali karirnya sebagai Walikota Solo ini, langsung menduduki orang nomor satu di Indonesia. Tidak banyak yang demikian. Bahkan sepanjang sejarah Presiden Indonesia, baru dialah Presiden yang lengkap sebagai pemimpin wilayah terhitung dari Walikota, dan Gubernur [Ibu Kota Negara, yang memang tidak berasal dari wilayah ini]. Malah karirnya sebagai kepala daerah sering "lompat kelas" meski belum selesai masa bhaktinya.
Kefenomenalannya juga menjadikan motif/ciri berpakaiannya menjadi trend [Kotak-kotak dan Kemeja Putih yang bagian lengannya digulung]. Sebenarnya gaya ini bukanlah hal baru. Tapi dalam "konsumsinya" gaya tersebut menjadi sesuatu yang sangat "Jokowi banget". Seolah-olah merupakan "penemuannya". Maka tak pelak kemudian banyak yang menyimpulkan beliau selalu bermain dengan simbol-simbol dalam watak kepemimpinannya. Kekuatan Simbol. Bahkan sosoknya adalah kekuatan simbol itu sendiri.
Sama halnya juga dengan blusukan. Bukan pula istilah baru hasil ciptaannya. Adalah kosa kata biasa Bahasa Jawa yang sebenarnya sepakem dengan istilah direct monitoring, 'turun kebawah' [Turba], inspeksi mendadak [Sidak], dan/atau 'merakyat', dengan lokus ke tengah masyarakat bertujuan memahami realita sesungguhnya. Kini, mau tidak mau, tiap kali terucap atau terdengar kata blusukan, istilah ini seperti menjadi ciri khas dan/atau trade-mark seorang Jokowi. Setelah menjabat Presiden Indonesia, cita rasa blusukan menjadi menu favorit gaya kepemimpinannya. Bahkan boleh jadi, kosa kata Bahasa Indonesia ketambahan satu kata baru. Blusukan. Bandingkan saja dengan metode virtual monitoring berbasis internet, kini dinamakan E-Blusukan.
Prilaku blusukan ini, entah sebagai arahan atau kebutuhan, tetapi kini kita dapat melihat anggota Kabinet Kerja yang dipimpinannya, semakin gemar blusukan. Media-media nasional membeberkan dengan jelas gaya baru para pembantu presiden itu. Efektif atau tidak, tentu kita dapat ketahui dari perubahan dan hasil blusukan itu kedepan. Boleh jadi anggapan pencitraan dialamatkan atas prilaku itu. Boleh jadi juga ada pihak yang merasa gerah dengan tipical yang kini seperti mewabah. Blusukan telah jadi virus baru, yang sayangnya sangat "diminati".
Prilaku blusukan ini, entah sebagai arahan atau kebutuhan, tetapi kini kita dapat melihat anggota Kabinet Kerja yang dipimpinannya, semakin gemar blusukan. Media-media nasional membeberkan dengan jelas gaya baru para pembantu presiden itu. Efektif atau tidak, tentu kita dapat ketahui dari perubahan dan hasil blusukan itu kedepan. Boleh jadi anggapan pencitraan dialamatkan atas prilaku itu. Boleh jadi juga ada pihak yang merasa gerah dengan tipical yang kini seperti mewabah. Blusukan telah jadi virus baru, yang sayangnya sangat "diminati".
Belum genap 2 bulan kepemimpinannya, "serangan" terhadap kepribadian dan postur kepemerintahannya, terasa makin meninggi. Meski situasi lembaga DPR masih belum solid, lantaran gunjang-ganjing antara KMP dengan KIH, harus menaikan harga BBM, dan adanya upaya interpelasi anggota DPR yang tergabung dalam KMP, Jokowi boleh-boleh saja fokus pada "Kerja! Kerja! Kerja!", tetapi dominasi kekuatan penyeimbang dari KMP [yang mayoritas di parlemen] adalah faktor yang mau tidak mau harus disikapi dengan bijak. Reaksi resistensi terhadap KMP yang berlebihan, bisa jadi batu sandungan yang paling pahit dalam merealisasi seluruh janji kampanye pada program kerja kepemerintahannya.
Eksekutif dan Legislatif adalah mitra kerja. Salah satunya [DPR] bukanlah Oposan. Secara konstitusional, hampir seluruh kebijakan strategis bangsa dan pembangunan, harus diputuskan bersama antara lembaga kepresidenan dan DPR. Jika "aura konflik" yang mulai terbangun semenjak kampanye pilpres ini tidak segera dihentikan, maka sudah jamak jika salah satu pihak akan menjadi sandera dan tersandera oleh pihak lainnya. Sayangnya, konflik kedua pihak, telah serta merta juga diturunkan menjadi konflik antar masyarakat yang terseret dan diseret-seret. "Konflik horison" antara para pendukung. Sebagai contoh pembanding, perhatikan "kerusuhan" antara mahasiswa dengan warga masyarakat yang terjadi di Makasar lantaran pengurangan subsidi negara atas BBM. Faktanya telah merengut korban jiwa dan minimal berdampak mengganggu perikehidupan masyarakat wilayah itu.
Masyarakat memang telah terbelah. Para pendukung kedua kubuh, begitu sangat "vulgar" membela dan saling "menyerang". Alam demokrasi memang berkonsekuensi logis atas kritikan dan "cacian". Namun boleh jadi, publik seperti semakin sulit membedakan mana kritikan, mana pujian, mana cacian dan hujatan.
Apapun alasannya, lembaga kepresidenan harus kuat dan berdaya. Lembaga parlemen juga musti kuat dan berdaya. Negara ini akan maju pesat jika lembaga trias politikanya memiliki produktivitas dan kinerja yang saling bersinergi membangun bangsa. Walau hingga saat ini media masih memberitakan konflik itu belum reda, setidaknya itu bukan domain rakyat untuk menyelesaikan. Mereka telah dipercaya rakyat melalui pemilu. Di atas mereka harapan dan impian rakyat untuk merubah nasib bangsa ini diletakan. Merubah nasib dan penghidupan tidak mungkin dapat terlaksana baik sementara para peubah masih sibuk dan saling renggek mempertahankan "kesalahan" masing-masing pihak. Saling serang demi menjaga kehormatan semu.
Sejalan dengan postur konstitusi negara ini, mekanisme kekuasaan Indonesia tidak mengenal adanya oposisi. Maka segala bentuk koalisi dalam parlemen adalah fakta paling hina dalam mengkhianati dan mengkerdilkan kebesaran Demokrasi Pancasila. Koalisi Merah Putih dan Indonesia Hebat harus bubar. Keduanya adalah fosil yang semestinya dikuburkan dalam sejarah saja. Menghiasi lembar-lembar buku sejarah bangsa yang kelak akan dibaca generasi berikutnya. Padahal saat ini publik Indonesia hanya mengenal oplosan bukan oposan. Di dalam oplosan ada kebersamaan. Ada pembagian kepentingan yang saling dipahami. Bukan oposan yang hanya mementingkan kebutuhan "perut" dan "di bawah perut" kekuasaan kelompok. Hahahaha.
Masyarakat memang telah terbelah. Para pendukung kedua kubuh, begitu sangat "vulgar" membela dan saling "menyerang". Alam demokrasi memang berkonsekuensi logis atas kritikan dan "cacian". Namun boleh jadi, publik seperti semakin sulit membedakan mana kritikan, mana pujian, mana cacian dan hujatan.
Apapun alasannya, lembaga kepresidenan harus kuat dan berdaya. Lembaga parlemen juga musti kuat dan berdaya. Negara ini akan maju pesat jika lembaga trias politikanya memiliki produktivitas dan kinerja yang saling bersinergi membangun bangsa. Walau hingga saat ini media masih memberitakan konflik itu belum reda, setidaknya itu bukan domain rakyat untuk menyelesaikan. Mereka telah dipercaya rakyat melalui pemilu. Di atas mereka harapan dan impian rakyat untuk merubah nasib bangsa ini diletakan. Merubah nasib dan penghidupan tidak mungkin dapat terlaksana baik sementara para peubah masih sibuk dan saling renggek mempertahankan "kesalahan" masing-masing pihak. Saling serang demi menjaga kehormatan semu.
Sejalan dengan postur konstitusi negara ini, mekanisme kekuasaan Indonesia tidak mengenal adanya oposisi. Maka segala bentuk koalisi dalam parlemen adalah fakta paling hina dalam mengkhianati dan mengkerdilkan kebesaran Demokrasi Pancasila. Koalisi Merah Putih dan Indonesia Hebat harus bubar. Keduanya adalah fosil yang semestinya dikuburkan dalam sejarah saja. Menghiasi lembar-lembar buku sejarah bangsa yang kelak akan dibaca generasi berikutnya. Padahal saat ini publik Indonesia hanya mengenal oplosan bukan oposan. Di dalam oplosan ada kebersamaan. Ada pembagian kepentingan yang saling dipahami. Bukan oposan yang hanya mementingkan kebutuhan "perut" dan "di bawah perut" kekuasaan kelompok. Hahahaha.
Sebab taruhan negara-bangsa [Nation-state] ini sangat besar. Rakyat dan nilai-nilai mulia kerakyatan dalam sistem nilai bangsa adalah prioritas tertinggi untuk diselamatkan, dimaju-sejahterakan dan dirawat. Kearifan budaya Indonesia memang dasyat, meski itu berupa kalimat sederhana. Tetapi ia tidak begitu saja muncul. Tentu telah melalui "tempaan" pengalaman real berkehidupan kemasyarakatan, yang mampu menjadi Dian kecil bangsa ini. "Jika Gajah dan Gajah bertarung, maka yang mati adalah Pelanduk, bukan salah satu dari Gajah itu". *Frank Lamanepa
Posting Komentar