Lain lubuk lain ikannya. Dalam keseharian, ada banyak kebiasaan entitas
tertentu sekaligus identifikasinya jika diterjemahkan ke dalam budaya [bahasa]
entitas lain akan menimbulkan pemaknaan yang sangat kontradiktif bahkan
terjungkirbalikkan.
Demikian juga tata kebiasaan dan istilah yang digunakan oleh masyarakat Lamaholot. Terkhusus Larantuka.
Kebiasaan itu diantaranya: terbiasa menyapa atau mengajak tetangga yang sedang melintas di depan rumahnya untuk terlibat menikmati yang sedang dinikmati oleh tuan rumah. Santapan atau minuman.
Dialog yang terjadi biasanya sbb:
"Pegari o.. ", sapa yang melintas
[Pegari=Pagi Hari; Selamat Pagi]
"Ai.. Pegari. Mo pi hena ni?", balas tuan rumah.
[Mo=Mau; Pi=Pergi; Hena=Mana]
"Pi lao deka ni kah", jawab pelintas
[Lao=Laut, bermakna ke arah pantai, ke bawah; Deka=dekat]
"Ai..kalo gitu pas sini po sementara ni, mari toran mino ae pana dulu", ajak tuan rumah.
[Po=Pun; Toran=Kita Orang, Kita; Mino=Minum; Ae=Air; Pana=Panas]
Bahasa Larantuka berasal dari bahasa Melayu Nusantara dialeg orang Portugis yang exsodus dari Lohayong, pulau Solor.
Ajakan "mino ae pana" ini, kalau diterjemahkan secara harafiah akan terasa aneh. Masa' orang diajak minum air panas? Bukankah ini bukan ajakan untuk menunjukkan perbuatan baik?
Istilah "ae pana" dalam konteks ini adalah minuman hangat menunjuk pada Kopi atau Teh. Meski penyebutan untuk air yang sedang mendidihpun dengan identifikasi yang sama, yaitu "Ae Pana".
Memang benar, lain lubuk lain ikannya. Ayo mari mampir mino ae pana...***FrankLamanepa
#AyoKeFloresTimur
Posting Komentar