"Maafkan aku. Memang tak seharusnya
hal ini terjadi. Mestinya selalu ada pilihan yang harus kuambil meski semuanya
memiliki resiko. Tentu, jangan berkata bahwa aku tak memikirkannya. Tapi inilah
pilihanku. Inilah jalanku. Demi keselamatanmu". Itulah kalimat terakhir
dari dia, ketika temaram sore mengajak kami beradu debat, 2 tahun silam.
Tampangnya begitu lusuh memendam amarah
tertahan. Pakaiannya didominasi warna hitam itu, setahuku telah 3 hari tak
berubah. Ia lelah meski guratan pada wajahnya tak cukup gambarkan kelelahan
itu. Tapi aku tau. Mungkin hanya aku saja yang mengetahuinya. Dan sebelum
berlalu, aku menangkap sekilas kilatan sinar di mata itu, meski tertutup
beberapa untaian rambut ikal hitam pekat.
"Sudahlah. Aku harus pergi.
Sampaikan salamku pada dia. Itupun jika kamu ingin dia mengetahui kondisi
ini".
“Kak, tapi mengapa engkau tak biarkan
aku dampingi kehendakmu? Ini adalah jalan kita. Jalan keras yang telah jadi
semangat tidak hanya kamu dan aku, tapi seluruh kawan-kawan kita! Kerja telah
kita mulai bersama. Secara komunal. Maka konsekuensinyapun adalah kita! Bukan
hanya engkau…”
“Sarinah, engkau mengetahui pasti
seluruh geliat di aliran darahku, sum-sumku, gelora nafasku, termasuk
keberpihakkan pikiran pada hati apalagi otakku. Mauku, dan tentu maunya kita,
kerja ini tak mungkin pisahkan engkau barang sedetik dari aku. Dan ini bukan
soal nyawa aku atau kamu Sarinah. Apakah engkau lupa ada dia, yang adalah curah
terdalam replika kita? Diantara kita, harus ada yang meneruskannya kepada dia.
Dan aku memilih engkau..”
“Kak Bara, bukankah dia, anak kita itu
berada dalam asuhan guru kita dan tak perlu kita kuatirkan keselamatannya? Tak
ada tempat teraman dan paling tepat selain bersamanya. Termasuk kekuatiran kita
tentang terputusnya pewarisan ideologi kepada anak kita?”
“Bukan sekadar itu persoalannya. Tidak
sesederhana demikian. Sekali lagi, ini bukan ketakutan mengorbankan tubuh demi
revolusi yang telah kita mulai. Tidak! Tidak Sarinah. Dia adalah kemewahan alam
raya, dan kemegahan leluhur engkau dan aku. Belum saatnya kita begitu tega
putuskan rantai sebelum dia sendiri memahami arti pengorbanan dan nyala api
revolusi. Dia masih butuhkan dampingan api dari darah dagingnya.”
“Kak … Lantas engkau mesti membiarkan
aku termangu dan menyendiri seperti kecoak pengecut di lembah sunyi ini dan
saban senja menunggu kepulanganmu atau kabar hidup-matimu? Tidaakkk… Aku tak
sekuat itu membiarkan engkau sendirian men……” Kalimat itu terputus. Tak mampu
lagi aku teruskan. Keburu diganti tangis lembut, meski tak kubiarkan sediktipun
suara didengarnya. Keharuan memuncak. Aku tau, diapun tau situasi terdalamku
ketika air mata tak kuasa kubendung.
Bara Revolusi tertunduk. Angin senja
membungkus geloranya. Kematangan mentalnya tertusuk. Tak ada suara. Senja
begitu sempurna tawarkan sunyi. Lelaki itu mematung meski kedua tangannya lalu mendekap
lembut tubuhku. Perihku mengutuh sempurna. Tak ada isak. Tak ada kaca di
matanya. Konsekuensi revolusi begitu tebal melindungi dirinya dari rengekan
rasa.
“Sarinah, aku janji pada air matamu, aku
janji pada isakmu senja ini, aku janji pada temaram sore ini, dan aku bersumpah
kepada bukit dan hempasan lembut angin senja ini, bahwa aku Bara Revolusi akan
kembali dan memelukmu lagi seperti senja ini. Tak kuizinkan para
cecunguk-cecunguk itu patahkan tubuhku untuk kembali ke tempat ini.” Sorot mata
lelaki itu menguat pancarkan kepastian.
Aku menggeliat
pelan. Kepala kuangkat untuk mengjenguk sisi terdalam bola matanya.
“Kak … Bagaimanapun engkau tau,
kebahagianku tak tertandingi jika berada di sampingmu; selalu. Tidak karena
kasih atau semangat revolusi semata. Tapi itulah takdir dan tujuanku
dilahirkan, hidup, dan mati di atas persada ini. Tapi …”
“Sarinah, sudah kukatakan aku akan
kembali di sini, di tempat ini. Jangan lagi engkau belenggu garis kehendak yang
kini sendang kujalani. Jangan, jangan engkau yang putuskan itu. Hak itu hanya miliknya
ujung kerja ini. Dan itu adalah perwujudan alam raya itu sendiri.”
“Kak, demi langit, tanah, leluhur, dan
dia, aku tak berpaling barang sejengkalpun menunggu di sini. Tapi itu untuk
menjumut tubuh hidupmu. Bukan lainnya! Maka aku relakanmu pergi tapi untuk
memelukmu di tempat ini, di bukit ini bersama dia. Pergilah kak. Aliran darahku
dan dia menjagamu sekaligus menantimu.”
19 detik kami menyambung energi pada pelukkan dan ciuman. Dan ketika
senja makin memerah, lelaki itu berlalu. Aku terpaku iringi kepergiannya dengan
tatapan mahapilu.
Ketika tubuh itu lenyap di balik punggungan
barat, aku memaksa beranjak. Menuruni lereng ke arah timur, dimana ada
perempuan itu, yang kusapa emak, selalu menemani keputusasaanku pada semesta.
Terutama selama 7 hari kepulanganku. Aku harus kembali. Tidak ada pilihan lain.
Hanya inilah cara yang kutau begitu juga dengan sosok yang telah pergi itu.
Bersembunyi. Tidak seperti itu juga, tapi semua demi kesetiaan terhadap api
revolusi yang telah kami nyalakan.
Dua tahun berlalu. Lelaki itu belum
pernah kembali. Meski tiap tanggal 15 senja, aku selalu mengharapkan
kedatangannya. Lelaki itu suamiku. Dan kini, aku tidak sendiri di bukit ini.
Aku bersama anak kami, lelaki itu menamainya Fajar Merah, yang hari ini genap
10 tahun.
Dan seperti biasanya di tempat ini,
selalu kubisikkan kepada Fajar Merah, "Kelak, bangkitkanlah api revolusi
yang telah dikobarkan ayahmu. Jaga api itu. Barang sedetikpun jangan pernah biarkan
ia padam. Api itu berisi nyala perlawanan. Ayahmu dan kawan-kawannya ada di
dalamnya. Kuharap engkau mengerti, Fajar Merah. Karena engkaulah api itu
sendiri. Ya, karena engkau adalah Fajar Merah".
Fajar Merah menatap jauh ke batas
cakrawala; pada langit senja yang merah menggelap. Ia menyaksikan alur mentari
mulai membenam dirinya. Tanpa kata. Tapi aku tau, ada berjuta kata sedang
bergelayut dalam pikirannya. Dan saat-saat demikian, ekspresi dan tatapannya,
aku tidak melihat Fajar Merah. Justru aku tengah saksikan lelaki itu, suamiku,
Bara Revolusi sedang radiasikan kekuatan pikat sekaligus nyala api yang tak
pernah padam. Dan seperti biasanya, aku seketika tunduk dan takhluk. Kubelai
rambut itu. Senyumku pada Fajar Merah bangkitkan ketabahan. Bukan untuk dia,
sebenarnya lebih tepat menambal ketabahannku sendiri.
Tiba-tiba anakku palingkan wajahnya.
Achhh ekspresi bijak ayahnya tergambar di situ. Jika demikian, itu tanda ada
kusut yang ingin dibenahi bersamaku.
“Mama, Fajar
tau. Bapa pasti kembali. Mama tak perlu sedih….”
“Ya …!?” Aku
kaget. Mengapa harus itu keluar dari mulutnya?
“Fajar kangen dengan bapa. Tapi Fajar
tau, bapa harus berjuang. Fajar ingin seperti teman-temannya bapa. Apakah Fajar
mampu? Jadi seperti bapa, Fajar belum siap. Tapi Fajar ingin ikuti bapa seperti
teman-temannya bapa, mama…."
"Engkau akan menuju ke sana anakku. Tak perlu engkau ragu dan gusar. Sebab engkau, engkau Fajar Merah, engkau adalah nyala api itu. Yang senantiasa berkobar membakar dan meninggalkan bara. Dan pantanglah engkau bergeser, sebab engkau tidak akan sendiri dalam mengobarkan nyala api itu. Ada banyak api-api lainnya yang akan terus menyambutmu dengan kobaran mereka, Fajar Merah."***
"Engkau akan menuju ke sana anakku. Tak perlu engkau ragu dan gusar. Sebab engkau, engkau Fajar Merah, engkau adalah nyala api itu. Yang senantiasa berkobar membakar dan meninggalkan bara. Dan pantanglah engkau bergeser, sebab engkau tidak akan sendiri dalam mengobarkan nyala api itu. Ada banyak api-api lainnya yang akan terus menyambutmu dengan kobaran mereka, Fajar Merah."***
Larantuka; 12 September 2013
Posting Komentar