Kamis, 07 April 2016

FAJAR MERAH; Cerpen Frank Lamanepa



"Maafkan aku. Memang tak seharusnya hal ini terjadi. Mestinya selalu ada pilihan yang harus kuambil meski semuanya memiliki resiko. Tentu, jangan berkata bahwa aku tak memikirkannya. Tapi inilah pilihanku. Inilah jalanku. Demi keselamatanmu". Itulah kalimat terakhir dari dia, ketika temaram sore mengajak kami beradu debat, 2 tahun silam.
Tampangnya begitu lusuh memendam amarah tertahan. Pakaiannya didominasi warna hitam itu, setahuku telah 3 hari tak berubah. Ia lelah meski guratan pada wajahnya tak cukup gambarkan kelelahan itu. Tapi aku tau. Mungkin hanya aku saja yang mengetahuinya. Dan sebelum berlalu, aku menangkap sekilas kilatan sinar di mata itu, meski tertutup beberapa untaian rambut ikal hitam pekat.
"Sudahlah. Aku harus pergi. Sampaikan salamku pada dia. Itupun jika kamu ingin dia mengetahui kondisi ini".
“Kak, tapi mengapa engkau tak biarkan aku dampingi kehendakmu? Ini adalah jalan kita. Jalan keras yang telah jadi semangat tidak hanya kamu dan aku, tapi seluruh kawan-kawan kita! Kerja telah kita mulai bersama. Secara komunal. Maka konsekuensinyapun adalah kita! Bukan hanya engkau…”
“Sarinah, engkau mengetahui pasti seluruh geliat di aliran darahku, sum-sumku, gelora nafasku, termasuk keberpihakkan pikiran pada hati apalagi otakku. Mauku, dan tentu maunya kita, kerja ini tak mungkin pisahkan engkau barang sedetik dari aku. Dan ini bukan soal nyawa aku atau kamu Sarinah. Apakah engkau lupa ada dia, yang adalah curah terdalam replika kita? Diantara kita, harus ada yang meneruskannya kepada dia. Dan aku memilih engkau..”
“Kak Bara, bukankah dia, anak kita itu berada dalam asuhan guru kita dan tak perlu kita kuatirkan keselamatannya? Tak ada tempat teraman dan paling tepat selain bersamanya. Termasuk kekuatiran kita tentang terputusnya pewarisan ideologi kepada anak kita?”
“Bukan sekadar itu persoalannya. Tidak sesederhana demikian. Sekali lagi, ini bukan ketakutan mengorbankan tubuh demi revolusi yang telah kita mulai. Tidak! Tidak Sarinah. Dia adalah kemewahan alam raya, dan kemegahan leluhur engkau dan aku. Belum saatnya kita begitu tega putuskan rantai sebelum dia sendiri memahami arti pengorbanan dan nyala api revolusi. Dia masih butuhkan dampingan api dari darah dagingnya.”
“Kak … Lantas engkau mesti membiarkan aku termangu dan menyendiri seperti kecoak pengecut di lembah sunyi ini dan saban senja menunggu kepulanganmu atau kabar hidup-matimu? Tidaakkk… Aku tak sekuat itu membiarkan engkau sendirian men……” Kalimat itu terputus. Tak mampu lagi aku teruskan. Keburu diganti tangis lembut, meski tak kubiarkan sediktipun suara didengarnya. Keharuan memuncak. Aku tau, diapun tau situasi terdalamku ketika air mata tak kuasa kubendung.
Bara Revolusi tertunduk. Angin senja membungkus geloranya. Kematangan mentalnya tertusuk. Tak ada suara. Senja begitu sempurna tawarkan sunyi. Lelaki itu mematung meski kedua tangannya lalu mendekap lembut tubuhku. Perihku mengutuh sempurna. Tak ada isak. Tak ada kaca di matanya. Konsekuensi revolusi begitu tebal melindungi dirinya dari rengekan rasa.
“Sarinah, aku janji pada air matamu, aku janji pada isakmu senja ini, aku janji pada temaram sore ini, dan aku bersumpah kepada bukit dan hempasan lembut angin senja ini, bahwa aku Bara Revolusi akan kembali dan memelukmu lagi seperti senja ini. Tak kuizinkan para cecunguk-cecunguk itu patahkan tubuhku untuk kembali ke tempat ini.” Sorot mata lelaki itu menguat pancarkan kepastian.
Aku menggeliat pelan. Kepala kuangkat untuk mengjenguk sisi terdalam bola matanya.
“Kak … Bagaimanapun engkau tau, kebahagianku tak tertandingi jika berada di sampingmu; selalu. Tidak karena kasih atau semangat revolusi semata. Tapi itulah takdir dan tujuanku dilahirkan, hidup, dan mati di atas persada ini. Tapi …”
“Sarinah, sudah kukatakan aku akan kembali di sini, di tempat ini. Jangan lagi engkau belenggu garis kehendak yang kini sendang kujalani. Jangan, jangan engkau yang putuskan itu. Hak itu hanya miliknya ujung kerja ini. Dan itu adalah perwujudan alam raya itu sendiri.”
“Kak, demi langit, tanah, leluhur, dan dia, aku tak berpaling barang sejengkalpun menunggu di sini. Tapi itu untuk menjumut tubuh hidupmu. Bukan lainnya! Maka aku relakanmu pergi tapi untuk memelukmu di tempat ini, di bukit ini bersama dia. Pergilah kak. Aliran darahku dan dia menjagamu sekaligus menantimu.”
19 detik kami menyambung energi pada pelukkan dan ciuman. Dan ketika senja makin memerah, lelaki itu berlalu. Aku terpaku iringi kepergiannya dengan tatapan mahapilu.
Ketika tubuh itu lenyap di balik punggungan barat, aku memaksa beranjak. Menuruni lereng ke arah timur, dimana ada perempuan itu, yang kusapa emak, selalu menemani keputusasaanku pada semesta. Terutama selama 7 hari kepulanganku. Aku harus kembali. Tidak ada pilihan lain. Hanya inilah cara yang kutau begitu juga dengan sosok yang telah pergi itu. Bersembunyi. Tidak seperti itu juga, tapi semua demi kesetiaan terhadap api revolusi yang telah kami nyalakan.
Dua tahun berlalu. Lelaki itu belum pernah kembali. Meski tiap tanggal 15 senja, aku selalu mengharapkan kedatangannya. Lelaki itu suamiku. Dan kini, aku tidak sendiri di bukit ini. Aku bersama anak kami, lelaki itu menamainya Fajar Merah, yang hari ini genap 10 tahun.
Dan seperti biasanya di tempat ini, selalu kubisikkan kepada Fajar Merah, "Kelak, bangkitkanlah api revolusi yang telah dikobarkan ayahmu. Jaga api itu. Barang sedetikpun jangan pernah biarkan ia padam. Api itu berisi nyala perlawanan. Ayahmu dan kawan-kawannya ada di dalamnya. Kuharap engkau mengerti, Fajar Merah. Karena engkaulah api itu sendiri. Ya, karena engkau adalah Fajar Merah".
Fajar Merah menatap jauh ke batas cakrawala; pada langit senja yang merah menggelap. Ia menyaksikan alur mentari mulai membenam dirinya. Tanpa kata. Tapi aku tau, ada berjuta kata sedang bergelayut dalam pikirannya. Dan saat-saat demikian, ekspresi dan tatapannya, aku tidak melihat Fajar Merah. Justru aku tengah saksikan lelaki itu, suamiku, Bara Revolusi sedang radiasikan kekuatan pikat sekaligus nyala api yang tak pernah padam. Dan seperti biasanya, aku seketika tunduk dan takhluk. Kubelai rambut itu. Senyumku pada Fajar Merah bangkitkan ketabahan. Bukan untuk dia, sebenarnya lebih tepat menambal ketabahannku sendiri.
Tiba-tiba anakku palingkan wajahnya. Achhh ekspresi bijak ayahnya tergambar di situ. Jika demikian, itu tanda ada kusut yang ingin dibenahi bersamaku.
“Mama, Fajar tau. Bapa pasti kembali. Mama tak perlu sedih….”
“Ya …!?” Aku kaget. Mengapa harus itu keluar dari mulutnya?
“Fajar kangen dengan bapa. Tapi Fajar tau, bapa harus berjuang. Fajar ingin seperti teman-temannya bapa. Apakah Fajar mampu? Jadi seperti bapa, Fajar belum siap. Tapi Fajar ingin ikuti bapa seperti teman-temannya bapa, mama…."

"Engkau akan menuju ke sana anakku. Tak perlu engkau ragu dan gusar. Sebab engkau, engkau Fajar Merah, engkau adalah nyala api itu. Yang senantiasa berkobar membakar dan meninggalkan bara. Dan pantanglah engkau bergeser, sebab engkau tidak akan sendiri dalam mengobarkan nyala api itu. Ada banyak api-api lainnya yang akan terus menyambutmu dengan kobaran mereka, Fajar Merah."***
Larantuka; 12 September 2013
Share this article now on :

Posting Komentar