"Bagaimana mungkin
mencintai itu engkau sebut sebagai Pekerjaan?"
Hening. Tak ada suara lain
mengelak.
"Lalu, rentetan ini:
Kerja, Karya, dan Politik, engkau namakan apa? Hal sesederhana ini, jelas
terlalu mudah buatmu membedakan keduanya. Bahkan bisa jadi, jika aku memberikan
waktu, dan engkaupun berkeinginan, perbedaan itu dengan mudah akan kau ulas
jadi satu bab".
Pria itu masih tak
bersuara. Masih mematung. Matanya tetap tertuju pada deretan konsep di atas
meja kerjanya. Sesekali ia melirik pemilik suara itu yang berdiri tepat di
depannya. Berjarak tak lebih 5 cm dari meja kerja.
Pria itu begitu tenang.
Kerutan-kerutan halus sesekali tercetak di dahinya. Lalu, diikuti gerakan
lembut bola matanya. Ekspresi ini selalu berulang beberapa saat. Sepertinya ia
sedang berada dalam dunia berbeda. Tidak di tempat ini.
"Shamon... Aku sedang
bicara denganmu..."
Pria itu bergeming. Ia
makin tenggelam dalam ekspresi berulang seperti sebelumnya. Sunyi sekali.
"Shamon..! Engkau
tahu, aku bukan Orang-orangan Sawah; dan engkau bukanlah tawanan hasratmu
sendiri. Tidak! Aku juga bukan seonggok Jagung dalam ruangan kosong; engkau
juga bukan seorang Swami yang sedang jalani tapa 9 bulan dan esok akan purna!
Bukan Shamon!"
"Aku lagi-lagi tidak
ingin nikmati secangkir Teh seorang diri di Gurun Sahara seperti impian si
legenda Sting. Tidak! Aku hanya ingin bicara sekaligus ditanggapi olehmu. Hanya
itu. Kumohon tanggapilah aku...."
Luar biasa pria itu. Sudah
begitu banyak ocehan menderu dalam 39 menit berlalu, namun kekuatan membatunya
sangat sempurna. Ia malah mulai membalik-balik beberapa helai kertas berisi
konsep itu. Benteng yang ia bangun, sungguh kokoh.
Ragil, gadis muda itu
nampak kehilangan kendali diri. Ia terlihat makin gusar. Peluh mulai meleleh di
dahinya. Tentu tak lama lagi bendungan itu akan jebol. Tak lama lagi.
"Hahahahahaha......."
Suara tawa Ragil terdengar meninggi. Tak berapa lama, lenguh lembutnya menyembul iringi air mata menetes.
Suara tawa Ragil terdengar meninggi. Tak berapa lama, lenguh lembutnya menyembul iringi air mata menetes.
"Mungkin inilah
saatnya engkau akui kebenaran ucapan kakek Fromm, Shamon. Masochist.
Perempuan menyenangi disakiti! Tapi kukatakan padamu, jika itu kebenaranmu,
maka engkau keliru maknai situasi bathinku saat ini!"
Ragil mengusap pelan aliran
air mata yang masuk di ujung mulut kanannya. Hanya itu. Yang lainnya, ia
biarkan saja mengalir sekehendak air mata itu.
"Namun, aku ingin
katakan padamu... Biarlah saat ini, ketakberdayaan periodikku ini, menjadi
penanda akan kejeniusan Kekekalan Energi. Bahwa energi takkan pernah musnah; ia
hanya berubah bentuk. Energi yang kuhamburkan sia-sia hari ini, tidak akan mati.
Ia akan beralihrupa dan kelak, di saat yang tepat, ia akan datang menagih
janji".
Kalimatnya terhenti. Isak
yang dibendungnya kembali menyembul. Pria itu mendadak memandangnya dengan
kilatan mata bermakna ganda.
"Ya, Shamon. Dan
ketika ia datang menagih janji itu, akan digenapilah apa yang oleh kamu dan
para ahli physikoanalisis menyebutnya sebagai SadoMasochistis. Kelembutan, ketakberdayaan dan air mata wanita,
akan jadi senjata pamungkas, mencerai-beraikan pria setangguh apapun hingga
terkapar dan menggelepar."
Redup sorot mata Ragil tiba-tiba menajam.
"Hahahahahahaha.....
Dan ketika itu tiba, pintaku padamu, Shamon, jangan engkau ingat ketakberdayaan
dan sosok aku. Aku telah hilang dalam ingatanmu detik ini juga!
Hahahaha.."
"Plok... plok ...
plok.....". Suara tepuk tangan tiba-tiba membahana.
"Cukup! Cukup....
Kualitas ekspresi dan penjiwaanmu, sangat menggagumkan Ina Kewa. Saya puas
lihat kemajuanmu di latihan hari ini," kata lelaki separuh baya bertopi baret putih, sambil mendekati Ina Kewa
yang tengah usap sisa air mata dengan 3 lembar
tissue.
"Ah abang.. Jikapun
itu benar, tentu berkat kepiawaian abang sebagai sutradara sekaligus penulis naskah
Monolog ini; yang tak bosan dan sabar
membimbing Ina", terang Ina Kewa sambil melepas senyum indah.
"Hahahahaha....
sudahlah. Hari ini cukup. Dan sebelum aku antar pulang, aku ingin ajak kamu
saksikan pentas teater di TIM. 'Satria, Putri, dan Bintang Jatuh' persembahan
dari Bengkel Teater,"
ujar lelaki itu seraya menggandeng jemari Ina Kewa.
Selasa, 24 Maret 2015
Posting Komentar