Selasa, 17 Desember 2013

Telaah Dampak Buruk Praktek Investasi Berkedok Koperasi Dari Perspektif Ekonomi Politik

Oleh Darius Boro Beda*)
Foto by; Kico
Membaca tulisan T. Lamuri di Warta Flobamora edisi VI/Mei 2013 dengan judul Penipuan Berkedok Investasi beberapa informasi yang disodorkan oleh T. Lamuri didalam tulisan tersebut antara lain; Yang pertama, banyak warga pemilik dana tunai menempatkan dananya di koperasi sebut saja namanya Koperasi Mantra Tetangga (KMT). Yang kedua, Imbal hasil yang dibayarkan KMT kepada para pemilik dana hingga saat ini sebesar 10% per bulan atau 120% oer tahu. Yang ketiga, beberapa PNS kemudian memanfaatkan peluang bisnis ini dengan meminjam dana dari bank dan kemudian dana itu ditempatkannya ke KMT. Yang keempat, tidak hanya masyarakat tetapi rohaniwan juga ikut berinvestasi. Yang kelima, argumenasi dasar pihak KMT bahwa, perusahaan ini mendapat keuntungan keuntungan berlipat ganda main valas bahwa perusahaan ini bekerja sama dengan yayasan di luar negeri.

T. Lamuri dalam tulisan tersebut kemudian berargumentasi bahwa; Yang pertama, kontrak investasi diatas meterai bukan jaminan uang kembali. Yang kedua, untuk meyakinkan para pemilik dana, KMT telah membeli sebuah bangunan permanen untuk kantornya dan bahkan saat ini sedang membangun sebuah hotel mewah. Berdasarkan informasi ini T. Lamuri lalu berargumentasi bahwa patut diduga dana untuk membangun hotel mewah dan membeli bangunan permanen untuk kantor tersebut berasal dari setoran nasabah baru. Dalam arti KMT melakukan praktek gali lobang tutup lobang. Yang ketiga, dengan rasionalisasi bahwa jika kemudian KMT bermain valas sementara prosentase keuntungan pertahun rata-rata 2,60%, sangatlah tidak logis kalau kemudian KMT dengan bermain valas mampu memberi imbal 120% per tahun. Yang keempat, masih berkaitan dengan penilaian gali lobang tutup lobang, L. Lamuri kemudian membandingkan investasi perbankan baik perbankan yang melalukan fungsi mediasi maupun pengelolaan produk reksadana. Keuntungan dari dua bentuk investasi ini berkisar antara 2-15%. Tentu sangatlah tidak logis dengan kemampuan KMT memberi imbal 120% per tahun.

Dapat disimpulkan bahwa L. Lamuri mencoba menyoroti praktek investasi berkedok koperasi yang dilakukan KMT dari perspektif keamanan berinvestasi. Atas dasar inilah tulisan ini dibuat. Tulisan ini bermaksud memperkaya pemahaman atas kasus ini dari perspektif ekonomi politik.

Gerak Sejarah Dunia Internasional Hingga Situasi Terkini

Membaca teori ekonomi klasik yang dirumuskan oleh Adam Smith, Negara Eropa berhasil mencapai puncak kejayaan ketika kemajuan kekuatan produksi pada akhinya memicu revolusi borjuis demokratik. Revolusi ini, dalam bidang ekonomi dapat kita temui di Inggris dan, dalam bidang politik dapat kita temui di Prancis. Feodalisme akhirnya digilas oleh sejarah dan digantikan kapitalisme. Diatas sistem kapitalisme, Negara Eropa mencapai masa kejayaan namun terus terseok dengan krisis periodik sistem kapitalisme. Seperti bangsa Eropa perna berteriak roti, begitu pun sejarah kelam AS yaitu krisis malaise. Teriakan roti mengharuskan bangsa barat mencari daerah koloni hingga pecah perang dunia I. Begitupun krisis malaise, dimana AS pada akhinya terjebak ikut terlibat dalam perang dunia II dalam memperebutkan pasar.

Ada dua hal yang dapat simpulkan yaitu pertama, perang perebutan sumber daya alam berikut tenaga produksi dan, yang kedua perang monopoli pasar. Ditandai dengan 60% armada angkatan laut AS yang saat ini ditempatkan di perairan Asia Selatan, dan jika AS sebagai kompas dunia maka, geopolitik dunia internasional mulai beralih ke Asia setelah kemenangan perang dan revolusi demokratik di wilayah Timur Tengah yang dimulai dari Iraq dengan isu seperti nuklir, HAM, demoktartisasi, dan juga terorisme. Ditarik ke wilayah Asia, baru-baru ini, Malaysia mulai bergejolak sementara Korea Utara mulai dituduh AS dengan isu nuklir, begitu pun resim orde baru akhinya tumbang dengan isu HAM dan demokrasi.

Geliat AS mendekati asia saat ini dapat terbaca dari krisis kredit perumahan yang terjadi ada tahun 2008. Krisis tersebut sebenarnya bisa dilihat dari krisis over produksi kemudian mendorong kebijakan investasi lebih diarahkan ke penyediaan rumah bagi para buruh. Krisis tersebut belum terselesaikan dan justru terus menyebar ke Eropa. Bahkan justru memicu harga pangan dunia. Yunani akhirnya terseok sebagai Negara yang terkategori rantai kapitalisme terlemah di Eropa. Praksis, motif penempatan 60% armada angkatan laut AS diperairan Asia Selatan perlu ditelaah berdasarkan peta kekuatan Indonesia yaitu; 1) memiliki iklim dan SDA yang menjanjikan, 2) buruh murah-terdidik, dan 3) potensi pasar yang sangat menjanjikan. Apa yang menjadi kekuatan Indonesia ini justru menjadi kebutuhan Negara maju untuk bisa kembali mengakulumasi kapital ketika krisis periodik kapitalisme datang menghampiri.

Gerak Sejarah Indonesia Hingga Situasi Terkini

Semenjak kehadiran kolinialisme di Indonesia hingga tahun 1945, kolonialime berakar kuat pada sistem feodalisme. Terjadi perang perebutan tanah dimana-mana hingga pada akhirnya, Negara-negara kolonial pun telibat dan mendapatkan hak penguasaan tanah di berbagai wilayah. Kaum tani terdesak menjadi buruh tani di atas tanahnya, lalu dipaksa menggantikan apa yang harus ditanam sesuai kebutuhan kolonial. Dengan cara yang demikian, pihak kolonial mampu menguasai 1) tanah, 2) komoditas dan 3) pasar secara sepihak. Hal yang demikian dapat kita pelajari semenjak Inggris sempat berkuasa di Indonesia. Krisis over produksi di India telah mendorong Inggris mengambil kebijakan antara lain; membeli atau menyewa tanah pertanian sehingga rakyat Indonesia mulai mengenal uang. Tidak hanya itu, Inggris kemudian mengeksport produk manufaktur dari India ke Indonesia.

Dapat dikatakan, Inggris tengah menggelontorkan uang berkedok sewa tanah. Tidak hanya itu, komoditas yang dieksport dari India kemudian akan terserap pasar ketika rakyat sudah memegang uang sebagai alat tukar. Dampak dari kebijakan ini, Inggris mampu menguasai tanah dan juga hasil produksi hingga mampu membentuk pasar baru di Indonesia. Inggris kemudian mengeksport komoditas pertanian sembari mengimport komoditasnya dari India.

Kembali menengok sejarah, walaupun Indonesia merdeka semenjak 17 Agustus 1945, kemerdekaan itu dirai secara politik tetapi tidak soal ekonomi. Corak ekonomi kita masih kolonial. Cara-cara pencaplokan tanah tak jauh beda di jaman kolonial. Para pengusaha kemudian mendekati pemimpin tradisional bahkan para bupati atau gubenur yang masih memiliki garis keturunan Raja. Tanah-tanah ulayat pada akhirnya tak luput dari penguasaan baik pihak swasta dalam negeri maupun asing melaui UU pertanahan, mineral dan beberapa rujukan UU yang lain. Keterlibatan pihak swasta dalam upaya pencaplokan tanah rakyat mendapat ruang semenjak 1998 dimana reformasi berhasil membuka kran kebebasan berpolitik. Pengusaha berkerumun menjadi politisi untuk mengamankan investasinya. Praksis, Negara berhasil dikuasai pengusaha (borjuis).

Dari adanya pergeseran geopolitik dunia internasional, Asia bangkit memberi janji keselamatan bagi Negara maju. Sama seperti di jaman kolonialisme dimana Negara Eropa berteriak roti, faktor produksi seperti tanah, buruh murah-terdidik, dan pasar Indonesia mulai dibidik. Konflik-konflik tanah semakin intensif dan meluas sejak pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan National Summit, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Melalui kebijakan ini, beberapa hal menjadi fokus perhatian antara lain; masalah pembebasan lahan dan juga pembangunan infrastruktur baik jalan, jembatan, pelabuhan, dan jaringan komunikasi dengan asumsi bahwa, setiap infrastrukstur yang terbangun, akan mengintervensi beberapa hal antara lain; lapangan kerja dan peluang ekonomi baru. Bagi pengagum kapitalisme, kebijakan ini sangatlah logis. Namun bagaimana dengan rakyat yang masih memiliki keterbatasan baik akses pasar, modal dan juga politik? Praksis, kita kembali ke jama kolonialisme dimana infrastrukstur untuk mempermudah arus perputaran barang dan jasa menjadi isu strategis.

Sejalan dengan itu, beberapa waktu lalu, media nasional sempat menyoroti kebijakan penggelembungan investasi bagi masyarakat menengah kebawah. Beberapa pakar kemudian berargumen bahwa, Indonesia terhindar dari dampak buruk krisis di AS tahun 2008 karena dampak krisis tersebut tidak berpengaruh pada skala ekonomi mikro. Sejalan dengan itu, beberapa konglomerat kemudian mulai membidik ekonomi menengah kebawah seperti membuka bank perkreditan rakyat dengan berbagai kemudahan. Gejolak seperti ini kemudian memeperkuat argumentasi bahwa tengah terjadi penggelembungan ekonomi menengah kebawah. Para pengusaha tak beda dengan peran Bank Indonesia dalam mengatur sirkulasi uang atas hukum inflasi dan deflasi. Pengusaha, melalui kaki tangan Negara tengah menggelontorkan uang sebanyak mungkin ke tengah rakyat berkedok investasi.

Gejolak NTT dan Situasi Terkini

Geopolitik dunia internasional mulai bergeser ke wilayah Asia hingga pemerintah mengambil peluang dengan membuka ruang bagi investasi asing baik di bidang infrastruktur, perbankan maupun pengelolaan sumber daya alam. Dengan sebuah asumsi bahwa situasi internasional maupun nasional dapat terbaca melalui gejolak perubahan yang terbaca pada tataran lokal maka beberapa gelojak yang terbaca antara lain; Yang pertama, kasus pertambangan mulai mecuat ke perrmukaan hingga beberapa ijin pertmbangan tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Kasus seperti ini terjadi di Sumba dan intensitas pemberian ijin tambang di Manggarai. Yang kedua, pembangunan infrastruktur mulai menggeliat seperti jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan komunikasi dan elektrifikasi. Yang ketiga, kasus-kasus tanah mulai memuncak seperti yang terjadi di Sumba, Manggarai dan Adonara.

Tiga poin diatas berkaitan juga dengan beberapa perusahaan yang berusaha menyewa tanah pertanian selama 30 tahun. Selama 30 tahun, tanah tersebut, oleh pemilik tanah yang sudah menyewakan tanahnya, akan ditanam tanaman sesuai kepentingan perusahaan hingga hasil produksi pun diharuskan untuk dijual ke perusahaan. Model yang demikian pun terbaca ketika sebuah perusahaan saat ini sedang mengembangkan bisnis peternakan dengan sistem plasma. Gejala lain, aktivitas di pelabuhan mulai terlihat adanya penumpukan peti kemas. Tentu, keberadaan peti kemas ini tidak untuk mengemas kopi, vanili, kopra, coklat, mente dan komoditas perebunan lainnya. Kedepan, masyarakat akan dikerubuti produk yang sudah menumpuk diwilayah perkotaan mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga barang konsumtif lain seperti barang-barang elektronik. Namun, tanpa rakyat sedang dibidik hingga rakyat kemudian terjebak menyewakan tanahnya kepada para investor.

Dampak Buruk Praktek Investasi Berkedok Koperasi

Dari ulasan sebelumnya, ada gejalah sejarah akan kembali terulang dimana Eropa mulai berorientasi ke wilayah Asia. Eropa seolah kembali berteriak roti ketika kapital mulai menumpuk. Tidak ada lagi ruang untuk kembali mengakumulasi kapital. Syarat penting bagi jalannya proses produksi berikut pasar harus dikuasai, sehingga ada keharusan mengeksport kapital ke negara berkembang jika potensi pecah perang dunia ke III harus dihindari. Keharusan mengeksport kapital tersebut antara lain; Yang pertama, menciptakan pasar dengan menggelontorkan dana segar ke negara berkembang untuk memicu daya beli rakyat melalui koperasi maupun LSM. Yang kedua, investasi perbankan dengan sasaran borjuis kecil. Yang ketiga, invetasi di sekotor riil seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan. Gejala yang yang demikian terkonfirmasi dengan proyek liberalisasi perekonomian negara berkembang seperti Indonesia semenjak reformasi 1998 atau pasca krisis ekonomi di Asia pada 1997.

Dalam kaitan dengan praktek investasi berkedok koperasi seperti KMT, argumentasi yang dapat terbangun antara lain: Yang pertama, KMT sedang memperbanyak jumlah uang yang beredar ke masyarakat dari sumber kapital yang sudah tidak bisa kembali diakumulai. Jika krisis kapitalisme dipicu oleh terjadinya over produksi maka, memperbanyak jumlah uang yang beredar kemudian akan membuka pasar baru bagi para kapitalis. Negara berkembang kembali harus menyelamatkan kapitalisme. Yang kedua, sama seperti kaum feodal di masa kolonial, KMT kemudian justru menjadi kaki tangan pihak kapitalis untuk merangsang sifat konsumtif masyarakat sehingga krisis yang dipicu over produksi bisa terselesaikan. Yang keempat, yaitu yang paling dihawatirkan adalah masyarakat kemudian akan kehilangan tanah sebagai sumber produksi.

Bertolak dari argumentasi diatas, beberapa hal yang perlu dan penting untuk dihindari antara lain; Yang pertama, membuka ruang bagi investor asing maupun pihak swasta untuk menyewa maupun membeli tanah pertanian untuk kepentingan pengembangan agrobisnis berkedok ekonomi hijau. Yang kedua, memberi jaminan tanah atas akses peminjaman modal pada kopersi berkedok investasi ketika ekonomi dalam kondisi tidak menentu. Yang ketiga, praktik penjualan tanah.***

*) Penulis:
Share this article now on :

Posting Komentar