Oleh Boro Beda Darius
Kita mengenal beberapa kerajaan
yang berdiri dipesisir pantai. Sementara itu, jika ditelaah secara
geografis, wilayah sekitar kabupaten Flores Timur dan juga Lembata
dilewati oleh para pelayar dari timur ke barat maupun sebaliknya. Ini
memungkinkan bahwa; yang pertama, wilayah ini kemudian akan menjadi
tempat untuk menambah pasokan bahan makanan para pelayar dengan cara
barter. Yang kedua, menjadi tempat singgah untuk beberapa saat sembari
menunggu arah angin dari dan ke wilayah tujuan.
Bahwa pada awalnya hanya sebagai pedagang antar pulau yang datang melakukan barter dengan masyarakat pedalaman di pasar-pasar barter yang terletak di pinggir pantai. Akibat persaingan antara pedagang antar pulau, logika menguasai pasar barter tersebut mulai muncul. Pasar barter pun dikuasai lalu memilih untuk hidup menetap di sekitar pasar barter tersebut.
Lambat laun, syarat objektif membangun sebuah kerajaan pun terpenuhi ketika para pedagang yang memilih hidup menetap ini ingin membangun kekuasaan. Maka, dibangunlah sebuah pelabuhan untuk memperlancar aktivitas bongkar muat komoditas dan berdirilah sebuah kerajaan. Inilah cikal bakal munculnya negara kota (kerajaan).
Ketika logika memperluas kekuasaan ke pedalaman mulai muncul, kerajaan yang sudah terbentuk ini kemudian membangun komunikasi dengan masyarakat di pedalaman. Motif membangun komunikasi dengan masyarakat pedalaman ini tak lain dari pada bagaimana agar supaya kekuasaannya terlegitimasi sampai ke pedalaman sehingga semua komoditas dapat dikuasai secara sepihak.
Upaya ini pun menemukan syarat objektif ketika masyarakat mulai hidup tergantung dengan keberadaan pasar barter di pinggir pantai. Upaya mereka pun makin mulus ketika pola produksi masyarakat pedalaman mulai berubah dari sekadar untuk mencukupi kebutuhan domestik ke berorientasi pasar. Lahan pun dialihfungsikan untuk menanam tanaman sesuai permintaan pasar barter seperti kelapa, kopi, tembakau dll.
Dengan demikian wilayah kekuasaan kerajaan ini dengan mudah meluas sampai ke pedalaman melalui para perantara yang ditugaskan untuk mengumpulkan hasil lalu mendistribusikan ke pelabuhan antar pulau yang sudah terbangun di sekitar pasar barter tersebut. Kekuasaan kerajaan ini makin terlegitimasi ketika struktur masyarakat di pedalaman mulai berubah.
Ketika mereka sudah mampu merebut kekuasaan, perilaku hegemoni sebagai bagian dari upaya melegitimasi kekuasaanpun mulai dijalankan seperti membuat cerita sejarah sesuai kepentingan kerajaan, mitos, dongeng dll. Kekuasaan kerajaan ini makin terlegitimasi ketika semua cerita, mitos dan dongeng tersebut menjadi sumber pengetahuan masyarakat. Karl Marx memang benar, maka sejarah adalah senjata.
Beberapa point penting yang bisa kita tarik bahwa:
Yang pertama, jika masyarakat Adonara sebagian besar merupakan eksodus dari keroko puken yang tenggelam karena bencana belebo lebo maka (semenjak kedatangan Kelake Adopehan??), kuat dugaan, pergeseran perang tanding (merujuk pada pendapat ama Jepang Bolen Tokan Atulolon) terjadi semenjak adanya perluasan wilayah kerajaan ke daerah pedalaman. Perluasan wilayah kekuasaan ini kemudian akan memicu perang tanding di mana-mana secara khusus di daerah-daerah yang subur (beberapa dari daerah subur tersebut masih menjadi sengketa hingga saat ini).
Yang kedua, untuk melegitimasi kekuasaan, beberapa lewo tidak terlepas dari upaya pemecahbelahan di mana kemudian akan terjadi perubahan garis kepemimpinan. Dengan perubahan ini, perubahan tradisi perang tanding pun tak terhindarkan. Tertelusuri bahwa, perang tanding semula hanya menguji kebenaran secara mistis. Namun, beberapa cerita sejarah perang justru menggunakan peralatan tidak saja parang dan tombak tetapi senjata api. Hingga saat ini, sangat sulit membedakan mana tanah alape dan mana lewotana alap apalagi kita kemudian mendengar ata kebele untuk membedakan ata ribu ratu.
Yang ketiga, keadaan makin diperparah jusru ketika kolonialisme mulai masuk dan ikut terlibat di dalam perang perebutan tanah atau wilayah (contoh kasus Perang Hongi). Hal yang demikian kemudian akan merubah hak atas pendistribusian tanah atau bahkan kepemilikan tanah. Soal ini, potensi konflik tanah memang sangat potensial untuk kembali meletus.
Yang keempat, jika kemudian telah terjadi pergeseran kepemilikan tanah hanya karena kalah perang lalu tunduk pada pemenang maka, ketik legitimasi kekuasaan pemenang ini semakin keropos, logika mengambil alih tanah yang dahulu direbut tidak bisa dielakkan. Point ini bisa kita gunakan untuk menelaah konflik tanah yang meletus akhir-akhir ini.
Yang kelima, tak terhindarkan pula dibentuk sekutu-sekutu yang, zaman dahulu dikenal dengan adanya Paji dan Demon, Adonara Timur dan barat hingga pembagian wilayah (kecamatan) mengikuti kakang atau kapitan.
Yang keenam, jika kemudian merujuk pada pembagian wilayah seperti misalnya Adonara timur dan barat di mana Adonara Timur lebih didominasi permukiman di sepanjang pantai sementara Adonara barat cenderung di pedalaman maka, pertanyaan yang mesti kita jawab adalah apakah dari pantai mendesak masuk ke wilayah pedalaman ataukah, dari pedalaman mendesak masuk ke wilayah pesisir?
Pertanyaan di atas berdasarkan sebuah asumsi bahwa, perang bukan lagi sebatas pembuktian kebenaran tetapi sudah mulai terpengaruh dengan logika perluasan wilayah atas tanah, komoditas dan tenaga manusia. Sebab, kita kemudian sulit membedakan antara mime moroke dan upeti. Justru praktik penghisapan dimulai dari sini.
Bahwa pada awalnya hanya sebagai pedagang antar pulau yang datang melakukan barter dengan masyarakat pedalaman di pasar-pasar barter yang terletak di pinggir pantai. Akibat persaingan antara pedagang antar pulau, logika menguasai pasar barter tersebut mulai muncul. Pasar barter pun dikuasai lalu memilih untuk hidup menetap di sekitar pasar barter tersebut.
Lambat laun, syarat objektif membangun sebuah kerajaan pun terpenuhi ketika para pedagang yang memilih hidup menetap ini ingin membangun kekuasaan. Maka, dibangunlah sebuah pelabuhan untuk memperlancar aktivitas bongkar muat komoditas dan berdirilah sebuah kerajaan. Inilah cikal bakal munculnya negara kota (kerajaan).
Ketika logika memperluas kekuasaan ke pedalaman mulai muncul, kerajaan yang sudah terbentuk ini kemudian membangun komunikasi dengan masyarakat di pedalaman. Motif membangun komunikasi dengan masyarakat pedalaman ini tak lain dari pada bagaimana agar supaya kekuasaannya terlegitimasi sampai ke pedalaman sehingga semua komoditas dapat dikuasai secara sepihak.
Upaya ini pun menemukan syarat objektif ketika masyarakat mulai hidup tergantung dengan keberadaan pasar barter di pinggir pantai. Upaya mereka pun makin mulus ketika pola produksi masyarakat pedalaman mulai berubah dari sekadar untuk mencukupi kebutuhan domestik ke berorientasi pasar. Lahan pun dialihfungsikan untuk menanam tanaman sesuai permintaan pasar barter seperti kelapa, kopi, tembakau dll.
Dengan demikian wilayah kekuasaan kerajaan ini dengan mudah meluas sampai ke pedalaman melalui para perantara yang ditugaskan untuk mengumpulkan hasil lalu mendistribusikan ke pelabuhan antar pulau yang sudah terbangun di sekitar pasar barter tersebut. Kekuasaan kerajaan ini makin terlegitimasi ketika struktur masyarakat di pedalaman mulai berubah.
Ketika mereka sudah mampu merebut kekuasaan, perilaku hegemoni sebagai bagian dari upaya melegitimasi kekuasaanpun mulai dijalankan seperti membuat cerita sejarah sesuai kepentingan kerajaan, mitos, dongeng dll. Kekuasaan kerajaan ini makin terlegitimasi ketika semua cerita, mitos dan dongeng tersebut menjadi sumber pengetahuan masyarakat. Karl Marx memang benar, maka sejarah adalah senjata.
Beberapa point penting yang bisa kita tarik bahwa:
Yang pertama, jika masyarakat Adonara sebagian besar merupakan eksodus dari keroko puken yang tenggelam karena bencana belebo lebo maka (semenjak kedatangan Kelake Adopehan??), kuat dugaan, pergeseran perang tanding (merujuk pada pendapat ama Jepang Bolen Tokan Atulolon) terjadi semenjak adanya perluasan wilayah kerajaan ke daerah pedalaman. Perluasan wilayah kekuasaan ini kemudian akan memicu perang tanding di mana-mana secara khusus di daerah-daerah yang subur (beberapa dari daerah subur tersebut masih menjadi sengketa hingga saat ini).
Yang kedua, untuk melegitimasi kekuasaan, beberapa lewo tidak terlepas dari upaya pemecahbelahan di mana kemudian akan terjadi perubahan garis kepemimpinan. Dengan perubahan ini, perubahan tradisi perang tanding pun tak terhindarkan. Tertelusuri bahwa, perang tanding semula hanya menguji kebenaran secara mistis. Namun, beberapa cerita sejarah perang justru menggunakan peralatan tidak saja parang dan tombak tetapi senjata api. Hingga saat ini, sangat sulit membedakan mana tanah alape dan mana lewotana alap apalagi kita kemudian mendengar ata kebele untuk membedakan ata ribu ratu.
Yang ketiga, keadaan makin diperparah jusru ketika kolonialisme mulai masuk dan ikut terlibat di dalam perang perebutan tanah atau wilayah (contoh kasus Perang Hongi). Hal yang demikian kemudian akan merubah hak atas pendistribusian tanah atau bahkan kepemilikan tanah. Soal ini, potensi konflik tanah memang sangat potensial untuk kembali meletus.
Yang keempat, jika kemudian telah terjadi pergeseran kepemilikan tanah hanya karena kalah perang lalu tunduk pada pemenang maka, ketik legitimasi kekuasaan pemenang ini semakin keropos, logika mengambil alih tanah yang dahulu direbut tidak bisa dielakkan. Point ini bisa kita gunakan untuk menelaah konflik tanah yang meletus akhir-akhir ini.
Yang kelima, tak terhindarkan pula dibentuk sekutu-sekutu yang, zaman dahulu dikenal dengan adanya Paji dan Demon, Adonara Timur dan barat hingga pembagian wilayah (kecamatan) mengikuti kakang atau kapitan.
Yang keenam, jika kemudian merujuk pada pembagian wilayah seperti misalnya Adonara timur dan barat di mana Adonara Timur lebih didominasi permukiman di sepanjang pantai sementara Adonara barat cenderung di pedalaman maka, pertanyaan yang mesti kita jawab adalah apakah dari pantai mendesak masuk ke wilayah pedalaman ataukah, dari pedalaman mendesak masuk ke wilayah pesisir?
Pertanyaan di atas berdasarkan sebuah asumsi bahwa, perang bukan lagi sebatas pembuktian kebenaran tetapi sudah mulai terpengaruh dengan logika perluasan wilayah atas tanah, komoditas dan tenaga manusia. Sebab, kita kemudian sulit membedakan antara mime moroke dan upeti. Justru praktik penghisapan dimulai dari sini.
+ komentar + 1 comment
maka sejarah adalah senjata.sepakat
Terimakasih Bangjoe_shop atas Komentarnya di Berdirinya Sistem Kerajaan di Sekitar Flotim dan Lembata, Perspektif Ekonomi-PolitikPosting Komentar