Senin, 03 Maret 2014

Larantuka atau Laran Herin?

Oleh : Robert Bala


Dalam beberapa bulan terakhir, di Kabupaten Flores Timur, ada dua berita yang cukup menguras energi .
Mitra Tiara yang ternyata sudah 5 tahun bercokol di kota nagi, tidak pernah terendus mekanisme menjebaknya. Ia baru dianggap masalah ketika ia ‘jatuh’ dengan membawa pergi miliaran malah diprediksikan bisa mencapai 1,7 triliun. Duka 16.150 nasabah  menjadikan pembangunan di Flotim sangat terganggu.

Tidak hanya itu. Keresahan tingkat bawah itu diperkeruh oleh pungutan liar sebesar Rp 1 juta per desa yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPMD) Kabupaten Flores Timur dalam rangka pembuatan proposal permohonan bantuan dana PPID ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Pertanyaannya: apa yang menjadi akar penyebabnya? Mengapa bisa terjadi hal seperti itu? Mustahil bertanya demikian. Dua kasus ini tidak tunggal. Ia hanya representasi dari deretan kasus lainnya yang mesti dikaji lebih jauh.

Kevakuman

Dua kasus di atas, hanyalah ekspresi tentang absensi yang sangat nyata dalam kepemimpinan di Flotim. Bayangkan, selama lima tahun tidak terdeteksi apa pun kejanggalan terjadi.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri. Apalagi mereka sadar, di tengah absensi program yang memberdayakan, mereka lebih memilih untuk ‘diperdayakan’ oleh tipu muslihat. Pada saat bersamaan, pemerintah hanya ‘menasihati’, baik pemimpin agama yang mengingatkan untuk tidak melakukan pelanggaran moral.

Pengalaman paling menyakitkan ketika masalah itu tidak berada dalam tanggungjawab siapa pun. Dinas Koperasi mengelak karena LKFMT bukan bagiannya. Juga departemen lainnya merasa aktivitias keuangan berada di luar jangkauannya.

Kevakuman dalam tanggungjawab inilah yang mestinya diambil alih oleh pimpinan dalam hal ini bupati. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.

Dalam kasus pungutan liar, indikasi kevakuman leadership itu lebih jelas lagi. Ia bersinggungan langsung dengan kepemimpinan bupati. Kalau pun ia tidak terlibat langsung sebagaimana pengakuannya, tindakan membiarkan itu juga tidak bisa disangkali.

Ia tidak sekedar bebas karena ‘tidak memerintahkan’, tetapi membiarkan untuk dilakukan sesuatu juga adalah sebuah ruang tanggungjawab.

Ada hal yang lebih mendasar. Upaya pengajuan proposal yang kelihatan dianggap normal sebenarnya lahir dari ketiadaan ide dalam membangun daerah. Pemerintah daerah akhirnya menjadi begitu ‘lincah’ untuk mengeruk dana dari pusat. Baginya, daerahnya miskin dan harus dibantu, sebuah konsep yang tentu saja keliru dengan otonomi daerah yang mengandalkan kekuatan sebagai ujung tombaknya.

Paham seperti itu akan berimbas langsung. Bupati sebagai pemimpin daerah akan ‘lincah’ melakukan lobby ke luar. Kepergiannya ke Portugal, China, Australia, tentu dipahami untuk menggaet pengusaha di sana guna menanamkan modal, tetapi juga secara tidak langsung mengakui bahwa daerahnya tidak bisa hidup tanpa kerjasama dengan pihak luar terutama dunia internasional.

Jalan Tengah

Kehampaan ide memiliki efek lebih jauh. Strategi pembangunan lebih menjurus ke luar daerah atau luar negeri. Pada sisi lain, ia lupa bahwa tanggungjawab utama adalah membangun keutuhan dan ketahanan secara ke dalam.

Itu berarti, ketimbang meminta puluhan miliar, hal yang paling nyata adalah menjaga agar ratusan malah triliunan uang masyarakat itu tidak di bawa keluar. Itu berarti potensi yang ada perlu dikembangkan. Aneka inisiatif perlu dirangsang agar bisa menjadi kekuatan ekonomi. Daerah persawahan (seperti Konga), perkebunan (di Adonara), atau perikanan di Solor, Jambu Mete (Flores Darat), sekedar menyebut beberapa komoditi mesti menjadi perhatian.

Itu berarti, kehadiran seorang bupati ibarat menjadi “larantuka” atau jalan tengah yang mengoptimalkan semua potensi yang ada. Ia menatanya agar menjadi sebuah kekuatan. Ia menciptakan infrastruktur yang memungkinkan potensi itu dikembangkan semaksimal mungkin oleh keyakinan bahwa rakyat bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Potensi miliaran malah triliunan menunjukkan bahwa uang itu sudah ada di masyarakat. Yang ada hanyalah kepemimpinan yang oleh John C. Maxwell disebut sebagai: A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way. Ia tahu jalan, berjalan di jalan itu, dan menunjukkan jalan tersebut kepada orang lain.

Keberadannya yang demikian akan dengan mudah melihat ketika ada ketimpangan. Perhatiannya pada potensi yang dimiliki memungkinkan ia tidak sekedar melatih bawahannya untuk pintar ‘meminta’ atau istilah ‘krennya’, ‘melobby’ untuk menyedot dana dari pusat melainkan mengoptimalkan kemampuan masyarakat.

Yang terjadi, jalan utama atau jalan tengah yang mestinya dimainkan sang bupati tidak terjadi. Ia bukannya mengembangkan ‘nucleus’, inti permasalahan, tetapi lebih bergerak ke pinggir jalan (laran herin).

Arah perhatian lebih ditujukan kepada pemerintah pusat atau luar negeri yang sebenarnya itu jalan pinggiran (herin). Akibatnya sudah pasti, kekacauan dan ketidakpastian sebagaimana dirasakan kini di Larantuka.

Di sana, kevakuman dan kekosongan terasa. Rakyat seakan kehilangan arah (untuk tidak menyebut ‘gila), setelah uangnya dibawa pergi. Memang ia sendiri salah karena sudah ‘dinasihati’ pemerintah daerah. Tetapi itu juga ia laksanakan dalam keadaan terdesak oleh tiadanya program kerakyatan yang memberdayakan dirinya.

Kenyataan seperti ini menyadarkan agar kepempinan Yosni Herin, mesti lebih bergerak ke tengah (tuka), memberdayakan masyarakat. Ia mesti tersentuh oleh kata-kata Peter Drucker:Management is doing things right : leadership is doing the right things.

Artinya, ia tidak sekedar membuat sesuatu secara benar (sebagaimana ia membenarkan diri tidak terlibat dalam pembuatan proposal), tetapi lebih jauh dan tajam untuk melakukan secara benar hal-hal tersebut.

Panggilan kembali ke ‘tengah’ inilah yang mesti jadi sebuah imperatif kalau Flotim mau menjadi lebih baik. (Flores Bangkit.com)
Share this article now on :

Posting Komentar