Kamis, 08 Januari 2015

Sejarah Keuskupan Larantuka: Sebuah Ringkasan [Bagian 2]

Oleh Eduard Jebarus, Pr *) [2010]
Istana Keuskupan Larantuka; pict Frank Lamanepa [08/01/2015]

II Periode Misi Solor Ordo Dominikan 1561 - 1860

1.     Awal Misi Solor

·       Mendengar laporan adanya orang Katolik di “Kepulauan Solor”, pemimpin Ordo Dominikan di Malaka mengirim misionaris untuk menetap dan bekerja di sana. Pada tahun 1561, tiga misionaris Dominikan yakni, Pater Antonio da Cruz, Pater Simao das Chagas, dan Bruder Fransisco Alexio, tiba dan menetap di Lohayong, Solor. Di sana sudah ada, orang-orang sebangsanya, saudagar-saudagar Portugis.
·       Untuk menjamin keamanan tempat tinggal, mereka mendirikan benteng berpagar kayu. Setelah diserang oleh sebuah armada dari Jawa, mereka menggantikan benteng sederhana itu dengan sebuah benteng dari tembok pada tahun 1566. Benteng yang baru itu cukup luas untuk didiami oleh ± 2.000 penghuni, yang terdiri dari: biarawan, orang Portugis (pedagang dan tentara di bawah seorang panglima), dan penduduk setempat (lihat Cornelissen dalam Muskens. 1/1974:369 – 370). Negara Portugal dan Spanyol memandang penyebaran agama ke daerah baru (misi) sebagai kewajiban suci. Karena itu mereka menerima hak istimewa dari Paus, disebut Jus Patronatus. Kebersamaan dan kerja sama seperti di Lohayong merupakan wujud dari Jus Patronatus itu. (Herman Embuiru, SVD. Geredja Sepandjang Masa.  :192).

2.     Perkembangan Misi Solor 
  •  Misi Solor berkembang. Di Solor, Adonara, Flores dan Pulau Ende terdapat 18 gereja. (Cornelissen dalam Muskens. 1/1974:377). Kemudian, karena terjadi pertikaian, beberapa kampung berseberangan dengan orang Portugis dan memeluk agama Islam: Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Carma di Adonara. 
  •  Pada tahun 1596 di benteng Lohayong didirikan sebuah “seminari” dengan 40 siswa. Sekolah dimaksud setingkat sekolah dasar untuk menyiapkan siswanya untuk pendidikan lanjut calon imam; lebih tepat dianggap sebagai sekolah guru agama. (Heuken. 2002:133; lihat Cornelissen dalam Muskens. 1/1974:385).
  • Orang Portugis di Solor tidak selalu hidup tenang. Mereka harus menghadapi orang Islam dari daerah sekitar Solor dan dari Jawa, dan dengan serikat dagang Belanda VOC (Vereinigde Oost Indische Compagnie). Pada tahun 1613, armada VOC di bawah pimpinan Apolonius Scotte dan dibantu oleh orang Buton menyerbu benteng Solor. Penghuni benteng menyerah pada tanggal 20 April 1613. Sekitar 1.000 orang meninggalkan benteng, termasuk orang-orang Portugis. Terbanyak dari mereka pergi ke Malaka, yang lain bersama Pater Agustinho da Magdalena ke Larantuka dan bertahan di sana. Larantuka berkembang dan lama kelamaan mengambil alih peranan sebagai pusat perdagangan dan pusat misi Katolik. Larantuka mulai menjadi pusat Misi Solor pada tahun 1646. 
  • Posisi Larantuka semakin kuat terutama setelah raja Ola Adobala dibaptis dengan nama Constantino pada tahun 1646, disusul oleh seluruh anggota keluarga-nya. Ketika menerima berita pertobatannya, di Goa diadakan suatu kebaktian syukur. Ia meninggal dunia tahun 1661. (Cornelissen dalam Muskens. 1/1974:381).
3. Akhir Misi Solor

  • Meskipun VOC tidak menetap di Solor, namun wilayah itu kurang diperhatikan lagi oleh orang Portugis. Baru pada awal tahun 1630 Pater Miguel Rangel,OP kembali memugar benteng di Lohayong. Solor lama-kelamaan kurang diperhatikan, terutama setelah Pater Miguel Rangel, OP menjadi uskup Cochin, India (1633 – 1646). Nama Mgr. Miguel Rangel diabadikan sebagai nama jalan di San Dominggo, Larantuka.
  • Larantuka bertumbuh menjadi pusat “Misi Solor”, meski bukan tanpa kesulitan misalnya, sekitar perilaku kaum beriman, hubungan antara tokoh masyarakat dan pastor, serta kehidupan para pastor sendiri. Krisis di Larantuka berjalan bersamaan dengan semakin lemahnya kekuasaan Portugal di Indonesia.
  • Setelah Malaka direbut oleh VOC pada tahun 1641, Ordo Dominikan mengalami kesulitan untuk mengirim tambahan tenaga imam ke Misi Solor. Pada tahun 1754, di seluruh Nusa Tenggara hanya terdapat 10 misionaris. Mereka tidak dapat bertahan di Larantuka, lalu beralih ke Timor. Sekitar tahun 1800, Larantuka sudah tidak mempunyai pastor tetap. Pada tahun 1804 tinggal hanya 8 pastor, dan pada tahun 1811 tinggal satu orang. Akibat konflik di dalam tubuh Gereja Katolik di Eropa, pada tahun 1834 para biarawan Dominikan diusir dari Portugal. Pada tahun 1838 Keuskupan Malaka dihapuskan. Misi Solor kembali ke Keuskupan Goa, dan penyediaan tenaga misionaris Dominikan untuk Misi Solor  sampai ke titik nol. Beberapa imam diosesan asal Goa yang bertugas di Dili, beberapa kali mengunjungi Larantuka. (Catatan: tidak benar pernyataan umum bahwa umat Larantuka hidup tanpa pastor atau tanpa pastor tetap selama ± 200 tahun! Karena pada tahun 1860, Larantuka kembali mendapat pastor tetap).
  • Umat di Larantuka dan sekitarnya, bertahan dalam iman Katolik di bawah pimpinan umat beriman awam yang bergabung dalam perkumpulan Confreria. Mereka tetap menjalankan kebiasan Katolik warisan Portugis misalnya, doa rosario, devosi kepada Santa Maria, semana santa, dan upacara pemakaman. Larantuka, Wure, dan Konga menjadi pusat-pusat penting agama Katolik di Misi Solor.                                                                                                                                   .....Bersambung [Bagian 3]

  • *) Pimpinan Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka
Share this article now on :

Posting Komentar