Monumen Herman Fz foto by Simon Lamakadu |
Tiba di Muntilan, liburan belum usai. Asrama "Xaverius College" di bawah asuhan pastor-pastor Yesuit, belum diijinkan untuk dimasuki. Keempat sahabat dari Flores itu, Herman Fz, Willem Wowor, Frans Seda dan Silvester Fz, terpaksa harus ke Yogya. Namun di sana mereka tidak punya keluarga atau kenalan. Akhirnya menumpanglah mereka di rumah sebuah keluarga Jawa untuk beberapa waktu, hingga liburan berakhir dan HIK Muntilan dibuka kembali.
Frans Seda dan Wowor duduk di kelas I-A, bersama dengan Yos Sudarso dan Witono. Frans Seda dan Yos Sudarso bahkan sebangku. Sementara Herman dan Silvester di kelas I-B. Seluruh pendidikan di HIK ini lamanya 6 tahun. Tiga tahun pertama setingkat sekolah menengah, dan tiga tahun kedua untuk pendidikan guru. Pendidikan yang diasuh pastor-pastor Yesuit ini benar-benar sangat ketat dan disiplin.
Menurut peraturan sekolah, siswa yang mendapat nilai tujuh Bahasa Belanda, harus bisa memainkan dua instrumen musik. Satu instrumen dasar [wajib], satunya pilihan. Untuk Seda ditetapkan Harmonium untuk instrumen wajib, dan Viol pilihannya. Herman terkenal sebagai peniup Obo [semacam Terompet] yang mahir.
Karena itu Herman terpilih masuk anggota Orkestra Simphoni Muntilan. Kelompok musik ini sangat terkenal di Muntilan waktu itu, bahkan di Indonesia. Anggotanya sebanyak 60 orang dengan alat-alat yang lengkap, sedang anggota koornya sebanyak 150 orang. Gubernur Jendral Belanda waktu itu kalau ingin mendengar orkestra, dia datang ke Muntilan.
Batu setengah tahun di HIK [1942], Jepang masuk. HIK Xaverius College ikut ditutup. Namun karena para pastor Yesuit belum diasingkan, sebagian siswa penghuninya yang berasal dari luar daerah, tetap diperbolehkan tinggal di asrama. Kira-kira 50 orang. Yang berasal dari Jawa dan memiliki rumah dipulangkan. Lantarantak ada lagi yang mengurusi asrama, semuanya terpaksa mulai diatur sendiri. Ada yang ditugaskan mencuci pakaian, ada yang mencuci pirinv, memasak dan sebagainya.
Hingga tahun 1943, para pastor mulai diasingkan. Asrama ditutup. Penghuni yang tersisa diperintahkan keluar semua. Mau dipakai Jepang. Herman, Frans dan rekan mereka dari luar Jawa, bahkan diangkut sekaligus oleh Jepang ke Metroyudan. Lantaran tidak punya orang tua maupun keluarga, mereka mau dilatih Jepang untuk menjadi Seinendan dan Keibonden. Karena tidak bersedia, para pelajar itu lalu mengirim utusan ke Magelang untuk menolak. Jepang marah. Herman bersama rekan-rekannya lari ke Yogya dengan kereta api.
Tak ada alamat yang dituju di Yogya. Terpaksa mereka tidur di emperan rumah orang. Tak ada kerjaan, siang hari mereka hanya jalan keliling saja selama dua atau tiga hari. Bertahan dengan uang yang ada di kantong. Karena merasa tak mungkin demikian terus, Frans Seda memutuskan ke Magelang. Tinggal di rumah seorang guru membantu menyapu, mencuci piring dan sebainya. Tidak apa-apa, terpenting dapat makan dan tempat pemondokan.
Temannya yang lain, sepertinya Bisar Sitompul, menjadi Opas Bui di Solo. Sementara Herman Fz dan Alex Rumambi [tahun 1988, Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu RI], menerima tawaran bekerja di tambang batubara di Cikotok.
Tanpa mereka ketahui, di tambang ini mereka berada di bawah Tan Malaka yang menyamar sebagai buruh tambang. Sebagian uang yang diperoleh, dikirim ke Yogya untuk Frans Seda dan rekan-rekan lainnya agar tetap sekolah. Ada semacam kesepakatan diantara mereka, yang besar-besar seperti Herman Fz, kerja mencari uang. Sedangkan yang kecil-kecil seperti Frans Seda, Cornel Simanjuntak supaya terus bersekolah. Frans dan Cornel persis satu kelas.*** [bersambung #Part3]
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988.
Posting Komentar