Sabtu, 25 Juli 2015

Gubernur NTT & Uskup Larantuka Panen Perdana Sorghum di Likotuden

Panen Perdana Sorghum Likotuden,
Cover Majalah Triwulanan San Dominggo
Sabtu, 21 Maret 2015, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya berkesempatan melakukan Panen Perdana tanaman lokal Sorghum (Wata Blolon, Jewawo) seluas 40 ha di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur (Flotim) didampingi Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr.

Menurut bagian protokoler, kedatangan Gubernur NTT dan rombongan tepat pkl. 12:45 WITa ini, merupakan kali pertama kehadirannya terlengkap. Frans Lebu Raya didampingi berbagai unsur pimpinan dan birokrat Pemprov NTT. MUSPIDA, Staf Ahli, Pimpinan dan Kepala Bagian (Kabag) SKPD se Provinsi NTT, sejumlah 20 orang. Pihak Pemda Flotim selain diwakili Wakil Bupati, Valentinus S. Tukan dan SETDA, Anton Tonce Matutina, juga hadir jajaran MUSPIDA dan Pimpinan SKPD. Tak ketinggalan seluruh Camat  se Flotim. Sementara Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, berhalangan hadir karena sedang bertugas ke luar daerah.

Lahan Shorghum seluas 40 Ha ini, digagas oleh YASPENSEL pimpinan Rm. Benyamin Daud, Pr bekerjasama dengan Yayasan Cinta Alam Pertanian (YCAP) milik Ibu Maria Loretha, SH. sementara lahannya milik warga dusun Likotuden. Kedua lembaga ini, berupaya mengubah wajah Likotuden yang cukup gersang dan terisolir melalui program pengembangan pangan lokal dengan mendampingi 50 KK sebagai pemilik lahan tersebut.

Dalam sambutannya, Bapa Uskup Larantuka menyebut Watablolon bukanlah jenis tanaman baru bagi orang Flores, teristimewa masyarakat Desa Kawalelo. Selain memiliki nilai ekonomis, Watablolon  memiliki kandungan gizi di atas beras. Maka beliau menghimbau warga untuk kembali mengkonsumsi dan kembali menanam Watablolon sebagai salah satu upaya menuju kedaulatan pangan lokal, seperti gagasan yang telah tertuang dalam tema APP (Aksi Puasa Pembangunan) Keuskupan Larantuka (KL) 2011, “Mari Berdaulat Pangan”.

“Likotuden sangat istimewa, terpilih sebagai Ibu yang menjadi titik awal perubahan. Ibu Loretha, sebelum bergabung dengan YASPENSEL, sempat konsultasi tentang niat baiknya mengembangkan Pertanian Lahan Kering. Lalu saya tunjuk. Pergilah ke Likotuden sebelum mengembangkan di tempat lain”, terang Bapa Uskup tentang gagasan awal program Sorghum Likotuden.

Dan terkait pendampingan yang sedang dilakukan YASPENSEL dan YCAP untuk pengembangan Sorghum di Likotuden ini, Mgr. Frans Kopong Kung mengingatkan agar demi keberhasilan dan kesinambungannya, para pendamping semestinya perlu tinggal dan hidup bersama masyarakat. Bukan sekadar sesekali tiba untuk melihat perkembangan.

Sementara, Frans Lebu Raya menekankan ajakan untuk konsumsi pangan lokal seperti ubi, jagung, pisang, watablolon, adalah untuk mewujudkan diversifikasi pangan bahwa makanan lokal yang ada di NTT khususnya di Flores, sangatlah beragam. Yang terpenting adalah bagai-mana kita menghargai makanan. Pangan atau makanan itu tidak semata-mata hanya beras.
”Kenapa bangga makan raskin? Kita sering berebut dan saling marah hanya perkara raskin. Sorghum atau Watablolon merupakan makanan enak bergizi tinggi di atas beras!”, tegas Gubernur asal Flores Timur ini.

Shorghum of Likotuden
Likotuden yang gersang telah tunjukkan maknanya di Sabtu (21/03/2015) itu. Tidak banyak yang tahu bagaimana topografi dusun terpencil ini. Daerah ini terdapat begitu banyak lahan tidur, lantaran kondisi tanah penuh bebatuan dan cukup tandus. Di bagian barat, tanahnya terlihat agak hitam seperti bergambut, penuh tebaran batu dengan hamparan Alang-alang yang luas.

Kondisi inilah yang menggugah YASPENSEL dalam rangka menerapkan gagasan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memberdayakan lahan-lahan tidur marginal. Gagasan ini muncul didasari beberapa hal. Yaitu, pertama: hasil pertemuan para Uskup se Regio Nusra di Maumere 2010 mencetuskan Gerakan Pangan Lokal; kedua, Tema APP 2011 KL “Mari Berdaulat Pangan”, dan APP 2014 “Pemberdayaan Kaum Buruh, Migran, dan Perantau”, bahwa orang perlu “makan” dalam arti yang sangat luas.

Untuk mewujudkan gagasan ini, pilihannya jatuh pada tanaman Sorghum. Sorghum bukan tanaman asing untuk daerah Lamaholot. Lamaholot mengenalnya dengan berbagai nama. Watablolon, Jagung Solor, atau jewawo. Sorghum tanaman pangan yang bandel, cocok hidup di NTT, sangat rendah input luar, tidak butuh pupuk, tidak manja dan tahan kekeringan. Lebih dari itu karena Sorghum enak dan murah, kandungan gizinya jauh di atas beras dan jagung. Sorghum mampu menjawab krisis pangan, kurang gizi dan gizi buruk. Maka Yaspensel menggandeng YCAP asuhan Ibu Maria Loretha yang konsern dalam pengembangan sorghum. 

Setelah bertemu dan sharing dengan Yang Mulia Bapa Uskup Larantuka, maka program pengembangan yang dinamakan Sorghum of Likotuden dengan motto “Jadikan Aku Gersang Yang Unik” ini dieksekusi. Dimulai dari sosialisasi sorghum dan penyiapan lahan dari Juni-November 2014, melibatkan 50 KK yang terbagi dalam 10 Pokja sekaligus sebagai pemilik lahan. Setelah sebelumnya Yaspensel menunjuk Ibu Maria Loretha sebagai Manager Program dan Bapak Yeremias Dagang Letor dari Yaspensel sebagai Koordinator Lapangan.

Penanaman perdana terjadi 1-5 Desember 2014 diawali dengan misa pemberkatan benih oleh Rm. Benyamin Daud, Pr di lokasi tanam. Benih yang digunakan ada 5 jenis dengan masa panen 3 sampai 6 bulan. Yaitu, watablolon wolo, numbu, kawali, wonogiri dan wataru hammu tudji. Semua benih ini disiapkan oleh Ibu Maria Loretha dari kebun-kebun Kelompok Tani (Poktan) dampingannya yang tersebar di 8 kabupaten se NTT.

Terkait hasil panen, menurut Rm. Benyamin, sudah ada kesepakatan antara para petani dan pihak Yaspensel dalam pengelolaannya. Sebesar 30% akan dikonsumsi para petani dan sisanya, 70% akan dilempar ke pasar yang hasilnya akan dikembalikan ke Poktan yang pengelolaannya dibentuk dalam sebuah lembaga sejenis koperasi sorghum desa. 

Mengenai hal ini, selaku manager, Ibu Maria Loretha menjelaskan rata-rata tiap 1 Ha akan menghasilkan 4-6 Ton. Pembagian 30% dari hasil ini tergantung luas lahan yang ditanami sorghum. Minimal tiap 1 Ha akan mendapatkan 50 Kg/KK/Bulan. Itu artinya tiap habis panen, yaitu 4 bulan sekali minimal petani akan memperoleh  200 Kg/KK, dan sisanya dikelola oleh lembaga sorghum desa untuk pasar, dan lain-lain.

“Ini semua untuk masyarakat. Hasil dikembalikan untuk masyarakat yang tergabung dalam koperasi sorghum atau Bank Tani. Mereka yang kelola sendiri dan tugas saya dan Yaspensel tetap sebagai pendamping dan bukakan pasar nasional”, beber Ibu Loretha.

Dan untuk kelanjutannya, lanjut Loretha, tergantung komitmen masyarakat, bukan tergantung dirinya dan Yaspensel. Meskipun sebagai pendamping, dirinya dan Yaspensel memiliki komitmen yang kuat untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Seperti investasi jangka panjang berupa pabrik misalnya, lalu diintegrasi dengan pakan dan ternak. Untuk itu dalam 2015 ini akan dikembangkan menjadi 160 Ha.
“Mimpi dari Sorghum of Likotuden ialah ingin jadikan Likotuden sebagai lumbung Sorghum NTT sekaligus menghidupkan semangat Gemohing. Sebab kami ingin melihat petani punya harapan indah”, pungkas Loretha. 

Sejalan dengannya, Rm. Benjamin pun menutup, “ Program Sorghum of Likotuden ini dalam kerangka mendukung program Uskup Larantuka untuk menciptakan Likotuden sebagai sokoguru dalam penataan kondisi perekonomian umat”.***Frank Lamanepa (Dimuat dalam Majalah Triwulanan San Dominggo KL)
Share this article now on :

Posting Komentar