Selasa, 06 Oktober 2015

Hingga Nenek, Perempuan Lamaholot Tangguh

Oma Lipat dan rekannya sedang siapkan makan malam
"Sesekali menyusuri lokasi "biasa" pada waktu dan dengan cara tak lazim, kita akan temukan "sesuatu" yang sangat menarik karena terpampang apa adanya."

Demikian yang terjadi di hari Minggu, 4 Oktober 2015. Pasar Inpres Larantuka. Masyarakat Larantuka menyebutnya Pasar Baru. Ini sebuah identifikasi untuk membedakan sebelumnya, di tengah kota Larantuka hanya ada satu lokasi aktivitas jual-beli, yaitu kompleks pertokoan. Maka ketika Pasar Inpres dibangun di wilayah Pohon Bao, kompleks pertokoan di Kelurahan Postoh disebut Pasar Lama. 

Pasar Baru memang lebih tepat disebut pasar ketimbang menamakan kawasan pertokoan sebagai sebuah pasar. Aktivitas yang terjadi di pasar baru benar-benar melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari pelosok-pelosok Flotim. Baik dari daratan maupun dari Adonara dan Solor. Ini terlihat dari ragamnya komoditas rakyat yang ditawarkan tidak seperti kawasan pertokoan.

Tentu sangat lazim mengunjungi pasar ini di waktu pagi hingga siang; yaitu saatnya tingkat aktivitas pasar begitu tinggi. Tapi tentu berbeda ketika berkunjung di senja hari jelang malam bukan dari depan pasar pada hari libur [apalagi hari Minggu] sementara banyak lapak yang ditutup.

Minggu sore sekitar pkl. 16:50 wita, dengan harapan tipis, saya berjalan kaki menuju pasar ini dari lokasi yang tidak jauh. Kebutuhan saya cukup sederhana, tiga butir telur "Ayam Kampung" harus terpenuhi. Sesuai informasi orang rumah untuk mempermudah, harus mencarinya di bagian paling belakang sisi timur pasar.

Pasar tampak sepi. Kudatangi beberapa perempuan parubaya sedang menjajakan jualan beralaskan tikar sederhana di tanah. Seperti jualannya, merekapun duduk di situ. Hampir semuanya pengunyah "Sirih-Pinang". Dari dialegnya, aku tau "oma-oma" ini berasal dari pedalaman "Lua Datań" dan "Dalań Datań".

Melihatnya, aku langsung jatuh ingat sosok nenekku di kampung. Di masa liburan sekolah, sering kutemani nenek di dini hari membelah dataran tinggi, menempuh jarak 5-7 km menuju pasar. Nenek membawa hasih kebun sendiri untuk ditukarkan dengan kebutuhan harian di pasar barter tiap 2 hari sekali.

"Sore mama, ada jual telur ayam kampung?"
"Sudah habis le anak..."
"Aduh... saya bisa cari di mana mama?"
"Coba anak cari di orang Solor. Biasanya ada..."
"Itu di bagian mana mama?"
"Di bagian paling belakang", ujar mama itu sambil tangan kanannya menunjuk.
"Makasih mama.."

Menuju ke arah tertunjuk, aku harus hati-hati untuk tidak menginjak jualan mereka. Bagian paling belakang, di hamparan tanah kering berkerikil, dipenuhi lapak-lapak kecil dengan atap sederhana dari terpal usang. Daerah ini terpisah dari rangkaian besar atap komplek pasar. Rupanya ini kawasan di luar pagar pasar.

Semua lapak di areal ini, satu per satu kutanyai. Jawabannya ternyata sama. Sudah habis beberapa saat sebelumnya. Pada lapak terakhir kudapat informasi; cobalah bertanya di  orang Waiwadan. Ini merupakan kesempatan terakhir. Sementara kebutuhan akan telur ayam kampung harus ada untuk malam nanti.

Bersama harapan tersisa, aku menuju ke lokasi ditunjuk. Merupakan bagian paling akhir dari rangkaian besar atap pasar baru. Persis di depan pintu masuk, dua orang oma sedang sibuk. Yang seorang tengah membalikkan ikan dalam wajan kecil. Tungku gorengan itu terbuat dari 3 batu ukuran sedang diletakan di tanah dengan perapian dari kayu kecil.

Mama Elis dan dagangannya
Yang lain membersihkan beras untuk ditanak. Senja itu begitu sesuatu melihat aktivitas oma-oma ini. Apakah mereka tinggal di situ? Ataukah baru tiba dari pedalaman? Potret kehidupan keras terbaca setidaknya bagiku saat itu. Dari tampilan, aku tau usia mereka di atas 60 tahun. Lalu, mengapa mereka mesti tabah jalani kehidupan demikian dan sampai kapan? Bukankah usia seperti ini mesti dilewati bersama anak dan cucu mereka?

"Sore mama... Mama jual telur ayam kampung?"
"Ada anak", jawab oma yang tengah goreng ikan.
"Syukurlah. Harga berapa mama?"
"Tiga sepuluh ribu. Anak beli berapa?"
"Saya beli tiga saja, mama."

Tanpa beranjak, oma itu memanggil sebuah nama.  Dari balik pagar terdengar suara seorang oma yang lain, mengajak masuk. Oma itu mengambil 3 butir telur ayam kampung, menyerahkan padaku seraya kuserahkan uang. 

Atap tempat itu cukup rendah. Di situ bertebaran lapak-lapak tertutup. Hanya ada satu di seberang yang terbuka. Di depan dan di samping oma itu terdapat sejenis meja setinggi pinggang. Tempat jualan. Di sampingku juga ada satu sejenis. 

"Mama mereka tidur di mana?", tanyaku menggingat malam sebentar lagi tiba.
"Di sini anak."
"Saya lihat di sini tidak ada tempat tidur mama?"
"Ya tidurnya di sini", oma itu menunjuk meja jualan.
"Sudah berapa lama mama tinggal di sini?"
"Kalau saya baru tiba. Saya tidak tinggal di sini. Kalau jualan saya habis, saya pulang ke Lamawolo, Adonara", terang mama Elis yang memperkirakan usianya mendekati 70 tahun.

Meja jualan sekaligus tempat tidur
Berbeda dengannya, mama Lipat dan temannya yang tengah siapkan makan malam itu, berasal dari Waiwadan, Adonara Barat. Kedua oma yang lebih tua darinya itu tinggal di situ. Mereka hanya akan kembali ke Waiwadan ketika ada urusan penting atau dipanggil. Jualan mereka selalu diantar anak-anaknya berupa hasil kebun.

Terbesit lagi pertanyaan dibenakku seketika. "Mengapa bukan anak mereka yang jualan? Bukankah usia mereka sungguh tak pantas berada di situ dan lakukan pekerjaan ini? Apakah karena perempuan begitu tabah, ulet dan tangguh dalam menghadapi kerasnya hidup? Ataukah inilah potret sistem patriakal maka merasuk hingga perjuangan ekonomi keluarga?

Bertambah ingat sosok nenekku. Aku putuskan habiskan beberapa waktu bersama oma-oma tangguh ini. Obrolanku bersama mereka berlanjut meski demikian mereka tetap dengan aktivitasnya. 

Untuk kebutuhan air, sama seperti mereka yang lain penghuni pasar, oma-oma ini memanfaatkan sumur di bagian selatan kawasan pasar. Tidak saja untuk mandi dan cuci, masakpun diambil dari sumber yang sama; sumur itu. Jikapun di situ terdapat sumber air PAM yang dapat diminta untuk kebutuhan masak dan minum, tapi tentu tidak untuk musim kemarau panjang ini, di mana seluruh kota Larantuka bergantung sepenuhnya pada air sumur dan/atau pick-up penjual air. Apalagi mereka.

Saya makin larut dalam kisah mereka berjuang hidup demi keluarga tercinta. Cerita hidup mereka begitu sederhana dan sangat bersahaja. Tapi tentu mengandung kualitas semangat juang sekaligus cara bertahan hidup yang tak bisa diukur dan tak ternilai. 

Di usia senja, mereka masih perlihatkan cara menaklukkan kejamnya hukum penawaran dan permintaan. Mencoba siasati tak pernah berakhirnya kebutuhan hidup anak dan cucu-cucu. Dan aku sangat yakin, perempuan Lamaholot memang tak pernah padam semangat membangun keluarga meski renta, uzur, dan ubanan. Maka rinduku pada nenek demikian meninggi selama bersama oma-oma ini. Terima kasih nenek; terima kasih oma-oma.***

~Šekīntā Lamanepa~
Larantuka, 06 Oktober 2015; 22:59
Share this article now on :

Posting Komentar