Selasa, 01 Desember 2015

Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa; Part 3

Dataran Atlantis

Plato menggambarkan dataran Atlantis adalah rata, dikelilingi oleh pegunungan yang turun ke arah laut, halus dan tidak bergelombang, berbentuk persegi panjang dan lonjong, panjangnya tiga ribu stadia (sekitar 555 kilometer), lebarnya dua ribu stadia (sekitar 370 kilometer), menghadap ke arah selatan, terlindung dari utara, dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah; dan terdapat desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, rawa dan padang rumput. Deskripsi ini persis cocok dengan kondisi geografis seperti terlihat pada peta dibawah ini.
Dataran yang rata, halus dan tidak bergelombang, turun menuju laut – Kemiringan permukaan tanah di daerah tersebut adalah sebagian besar kurang dari 1% menurun ke selatan menuju Laut Jawa dan tidak ada gundukan yang terlihat di seluruh dataran. Kondisi dataran saat ini yang berada diatas permukaan air laut terdiri dari daerah rawa, sistem irigasi rawa pasang surut, perumahan diatas air, transportasi air, mangrove dan lahan gambut.
Dikelilingi oleh sederetan pegunungan besar dan kecil yang indah – Terdapat dua daerah pegunungan di sebelah utara dataran, yaitu Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Meratus. Puncak tertinggi di Pegunungan Muller-Schwaner yang terdekat dengan dataran adalah Gunung Liangapran dengan ketinggian 2.240 meter di atas permukaan air laut saat ini, sedangkan yang di Pegunungan Meratus adalah Gunung Besar dengan ketinggian 1.890 meter. Pegunungan ini sebagian besar tertutup oleh hutan primer, dihuni oleh bermacam-macam satwa dan sebagai kediaman suku Dayak.
Menghadap ke selatan dan terlindung dari utara – Hal ini adalah cocok bahwa datarannya menghadap ke selatan dan terlindung oleh pegunungan di sebelah utara.
Berbentuk persegi dan lonjong, panjangnya sekitar 555 kilometer dan lebarnya sekitar 370 kilometer – Bentuk dataran adalah persegi di bagian selatan dan lonjong di bagian utara. Ukurannya hampir sama persis, 555 kilometer panjangnya dan 370 kilometer lebarnya.
Terdapat desa-desa dan rakyat yang makmur, sungai, rawa dan padang rumput – Daerah dataran dalam kondisi saat ini terletak di daerah hutan hujan tropis, memiliki tingkat curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, memiliki suhu hangat sepanjang tahun, sebagian besar rawa dan memiliki banyak sungai besar dan anak sungai sehingga daerahnya subur dan kaya makanan dan sumber daya kebutuhan sehari-hari.

Sistem Saluran Atlantis

Mengenai sistem saluran air didalam dataran, Plato menjelaskan bahwa ada empat jenis saluran: saluran keliling, saluran pedalaman, sodetan dan saluran irigasi. Saluran keliling adalah saluran buatan, dalamnya 100 kaki (sekitar 30 meter), lebarnya 1 stadium (sekitar 185 meter), panjangnya 10.000 stadia (sekitar 1.850 kilometer), melingkari seluruh dataran, menerima aliran air dari pegunungan, berkelok-kelok di sekitar dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut. Saluran pedalaman adalah lurus, lebarnya 100 kaki (sekitar 30 meter), intervalnya 100 stadia (sekitar 18,5 kilometer), bermuara kedalam saluran keliling dan sebagai sarana untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal. Sodetan digali dari satu kanal pedalaman ke yang lainnya. Saluran irigasi menyadap dari saluran yang lain dimaksudkan untuk mengairi lahan di musim panas (musim kemarau) sementara di musim dingin (musim hujan) mendapatkan air dari hujan. Deskripsi ini persis cocok dengan kondisi sistem saluran air saat ini.
Saluran keliling adalah saluran buatan, dalamnya sekitar 30 meter dan lebarnya sekitar 185 meter – Salah satu sungai sebagai saluran keliling adalah Sungai Barito dan mungkin Sungai Negara yang terletak di sisi timur dataran. Karena "saluran" ini memiliki jarak terdekat dengan ibukota, orang Mesir rupanya melaluinya seperti yang dilaporkan. Sungai Barito merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di Kalimantan Selatan, panjangnya sekitar 1.000 kilometer, lebarnya 600 – 800 meter dan dalamnya rata-rata 8 meter. Banjir dan sedimentasi sungai di dataran yang sangat datar selama 11.600 tahun terakhir telah mengubah rezim sungai, tetapi dengan menghitung kapasitas penyaluran airnya (luas penampang × kecepatan aliran, dengan asumsi kecepatan aliran yang sama karena kemiringan energi gravitasi yang sama), luas penampang aliran (lebar × kedalaman) seperti yang dijelaskan oleh Plato adalah sekitar 185 × 30 = 5.550 meter persegi, sementara luas penampang aliran saat ini adalah luar biasa cocok, 700 (rata-rata) × 8 = 5.600 meter persegi.
Panjang saluran keliling adalah 1.850 kilometer, berliku di sekitar dataran, bertemu di kota dan bermuara ke laut – Mengukur panjang di peta tapi mengingat faktor liku dari topografi, menghasilkan panjang yang hampir tepat sama seperti yang diterangkan oleh Plato, yaitu 1.850 kilometer. Sementara itu, dengan menghitung bentuk persegi dan lonjong dataran, yang panjangnya 555 kilometer dan lebarnya 370 kilometer, diperoleh panjang kelilingnya 1.656 kilometer, juga secara logis benar jika faktor liku tidak diperhitungkan. Jadi jelas bahwa Plato tidak bohong.
Saluran keliling mendapatkan aliran dari pegunungan – Hal ini adalah cocok karena sungai-sungai saat ini yang berada didalam  dataran berasal dari Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Meratus.
Saluran pedalaman adalah lurus, lebarnya sekitar 30 meter, intervalnya sekitar 18,5 kilometer dan bermuara kedalam saluran keliling – Sungai-sungai yang saat ini merupakan saluran pedalaman adalah Sungai Kapuas, Murung, Kahayan, Barito Hulu, Mangkatip dan mungkin Sebangau. Rezim sungai ini pasti telah berubah selama 11.600 tahun terakhir karena adanya proses banjir, sedimentasi, perpindahan sungai dan meandering di dataran yang sangat datar. Pertukaran orde dan aliran diantara sungai-sungai juga mungkin terjadi. Namun, secara umum kelurusan dan orientasi sungai masih dapat dilihat hingga saat ini, yaitu sejajar satu sama lain dan berarah utara-selatan, dan dalam hal yang sama seperti Sungai Barito, lebarnya telah berubah. Jarak rata-rata sungai ini adalah sekitar 20 kilometer, juga dapat dianggap mendekati apa yang dikatakan oleh Plato yaitu sekitar 18,5 kilometer.
Kanal pedalaman digunakan untuk mengangkut kayu dan hasil bumi menggunakan kapal – Kebiasaan ini masih ada hingga saat ini. Sungai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah ini. Sebagian besar sungai-sungai di Kalimantan bagian selatan adalah sebagai sarana transportasi. Perahu tradisional yang secara lokal dikenal sebagai "jukung" memiliki banyak jenis dan bentuk. Sungai-sungai ini dan semua anak sungainya adalah jaringan sistem transportasi dan menjadi sarana yang sangat penting bagi masyarakat karena setiap wilayah dapat diakses oleh sungai. Sejak zaman dulu, jaringan sungai mendukung kegiatan ekonomi dan sosial penduduk Kalimantan bagian selatan. Selain itu, jaringan sungai telah menjadi darah kehidupan ekonomi penduduk karena sebagian besar kegiatan ekonomi mereka dilakukan melalui dan di sungai. Komunikasi antar daerah di pedalaman, kota-kota dan pelabuhan khususnya juga dilakukan melalui sungai. Sungai-sungai menjadi andalan untuk kelancaran distribusi barang dan orang dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Berbagai jenis hasil hutan, pertambangan dan hasil bumi pertanian yang melimpah di daerah pedalaman seperti kayu, karet, getah perca, rotan, damar, jelutung, lilin, batubara, emas, merica, sarang burung, bahan tenun, ikan kering atau asin, dendeng rusa, buah-buahan dan banyak lainnya diangkut ke tempat pengumpulan atau pelabuhan melalui jaringan sungai. Sebaliknya, berbagai kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, garam, tepung, jagung, minyak goreng, tembakau, gambir, tembikar, peralatan rumah tangga, kawat tembaga, kain dan sebagainya juga diangkut dari pelabuhan ke berbagai daerah di pedalaman melalui jaringan sungai.
Sodetan digali dari satu saluran pedalaman ke yang lainnya – Hal ini adalah sama persis dengan kondisi saat ini. Seperti terlihat pada peta, berbagai sodetan terdapat di wilayah tersebut, beberapa telah dibangun atau direhabilitasi belakangan. Sodetan ini dikenal secara lokal dengan nama "anjir", yaitu suatu saluran yang menghubungkan dua sungai sebagai bagian dari jaringan transportasi. Saluran ini juga digunakan sebagai saluran irigasi rawa pasang surut yang berfungsi untuk memasok air ke dan menguras dari lahan pertanian.
Saluran irigasi menyadap dari saluran yang lain dimaksudkan untuk mengairi lahan di musim panas (musim kemarau) sementara di musim dingin (musim hujan) mendapatkan air dari hujan menghasilkan dua kali panen dalam setahun – Hal ini juga sama persis dengan kondisi saat ini. Sistem irigasi rawa pasang surut di Kalimantan bagian selatan secara tradisional dikenal sebagai "Sistem Anjir " dimana saluran utama yang disebut "anjir" atau "antasan" dibangun menghubungkan dua sungai pasang surut, juga digunakan sebagai tujuan navigasi. Saluran irigasi dibangun untuk mengairi dan menguras lahan pertanian dari dan kedalam “anjir”, yaitu saluran sekunder yang disebut "handil" atau "tatah" dan saluran tersier yang disebut "saka". Selama air surut, saluran-saluran tersebut menguras air beracun sementara pada saat pasang air tawar mengalir masuk kedalam lahan. Sistem ini menghasilkan dua kali tanam padi dalam setahun. Sistem ini juga digunakan untuk menanam tanaman lainnya atau untuk budidaya perikanan. Kalimantan bagian selatan saat ini merupakan eksportir beras ke daerah lain.
Penulis menyimpulkan bahwa sistem saluran yang dikatakan oleh Plato ternyata adalah  jaringan transportasi sungai dan sistem irigasi “anjir” di wilayah Kalimantan bagian selatan.
Bersambung ke part 4

Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto 
Share this article now on :

Posting Komentar