Pulau dan Kota Atlantis
Menurut Plato, Pulau Atlantis dimana terdapat pelabuhan dengan pintu masuk yang sempit adalah berada di sebuah laut yang dikelilingi oleh benua tak terbatas. Benua tak terbatas yang dihipotesiskan tersebut adalah Sundalandia yang terhubung pada Benua Asia, dan satu-satunya laut yang dikelilinginya pada waktu itu adalah Laut Jawa kuno. Oleh karena itu, penulis membuat hipotesis bahwa Pulau Atlantis terletak di Laut Jawa.
Pulau Atlantis, di mana terdapat sebuah bukit di tengahnya, adalah sebuah pulau yang terletak di dekat sebuah daratan yang teridientifikasi dari model grid elevasi digital, dimana muka air laut adalah sekitar 60 meter dibawah permukaan air laut saat ini, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah. Seperti terlihat pada peta, pulau tersebut terletak didalam selat. Terlihat ada dataran yang relatif datar di sebelah utaranya; sebagian adalah merupakan Pulau Kalimantan bagian selatan. "Laut nyata" yang berada di sekitar pulau seperti diungkapkan oleh Plato adalah Laut Jawa kuno yang berupa sebuah teluk dengan bentuk pintu masuk berupa selat.
Komentar Crantor seperti dikutip oleh Proclus tentang dialognya Plato menyebutkan bahwa "… menurut mereka, ada tujuh pulau di laut tersebut pada waktu itu ..." dan "... dalam kisaran seribu stadia [185 km]; ... ". Hal ini adalah kira-kira cocok dalam menggambarkan geografi wilayah di Laut Jawa pada masa itu. Meskipun jumlah pulau seperti yang terlihat pada peta tidak persis sama karena proses sedimentasi, penggerusan, pergerakan pantai, pelarutan kapur dan pergerakan tektonik yang tidak diketahui selama 11.600 tahun terakhir, serta penulis membuang pulau-pulau yang kecil, geografi daerah tersebut secara umum adalah cocok. Pernyataan "dalam kisaran seribu stadia [185 km]" secara umum juga cocok. Salah satu pulau tersebut diidentifikasi sebagai Pulau Bawean.
Penulis merekonstruksi Kota Atlantis berdasarkan deskripsi Plato, seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah. Lokasi ini diidentifikasi oleh para pelaut sebagai Gosong Gia atau Annie Florence Reef, sebuah terumbu karang kecil dan muncul ke permukaan pada saat muka air laut surut.
Keterangan Plato bahwa "… mereka memiliki air mancur, salah satu dingin dan yang lain panas, mengalir di banyak tempat; diagungkan dan digunakan untuk tujuan kenikmatan dan merupakan keunggulan dari sumber air mereka …" adalah cocok. Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa merupakan prototipe dari Pulau Atlantis karena memiliki lingkungan, formasi geologi dan proses tektonik yang sama, serta terletak dekat dengan Pulau Atlantis. Pulau Bawean dan Atlantis keduanya terletak di Busur Bawean, terbentuk di Masa Paleogen dan Neogen melalui proses tektonik yang disebabkan oleh patahan ekstensional di Laut Jawa yang memisahkan Jawa dan Kalimantan. Terdapat beberapa sumber air panas dan dingin di pulau tersebut yang dihasilkan oleh kegiatan tektonik di wilayah itu.
Keterangan bahwa "… batu yang digunakan dalam karya mereka digali dari bawah pulau tengah, dan dari bawah zona daratan, di luar serta bagian dalam, satu jenis putih, yang lain hitam, dan yang ketiga merah, dan sewaktu digali, pada saat yang sama dilubangi untuk dermaga ganda, memiliki atap terbentuk dari batuan alami …" juga cocok. Batu berwarna putih, hitam dan merah yang disebutkan oleh Plato rupanya mirip dengan batuan beku yang terdapat di Pulau Bawean dengan warna putih (asam), hitam/abu-abu (basa) dan merah (oksida besi), dikenal antara lain dari jenis-jenis Leucite, Phonolite, Trachyte dan Onix. Batuan beku seperti yang di Pulau Bawean adalah keras dan kuat sehingga memiliki kekuatan alam yang cukup untuk berdiri sebagai atap dermaga ganda.
Kedalaman Laut Jawa pada masa Atlantis (11.600 tahun sebelum sekarang) adalah sekitar 20 – 30 meter sehingga cukup memungkinkan untuk navigasi kapal-kapal besar.
Dewa Poseidon
Dalam dialog Plato, kerajaan Atlantis didirikan oleh dewa bernama Poseidon dan kerajaan itu dibagi menjadi sepuluh bagian yang diberikan kepada anak-anaknya. Di tengah benteng ada sebuah kuil suci yang didedikasikan untuk Poseidon dan istrinya, Cleito.
Dalam Critias, Solon dalam menulis puisinya menterjemahkan nama dewa itu menjadi “Poseidon”. Poseidon adalah salah satu dari dua belas dewa Olimpus dalam mitologi Yunani. Domain utamanya adalah lautan, dan ia disebut “Dewa Laut”. Solon menterjemahkan nama dewa itu karena kesamaan dalam sifatnya.
Dewa Poseidon yang dipuja oleh orang Atlantis adalah identik dengan Dewa Baruna, seorang dewa dalam mitologi Nusantara pra-dharma, keduanya diberi julukan “Dewa Air” atau “Dewa Laut”. Jadi, Solon menterjemahkan Baruna menjadi Poseidon.
Pulau Kalimantan dulunya pernah dikenal dengan nama Warunapura atau tempatnya dewa Baruna. Selanjutnya, naskah Nagarakretagama menyebutkan sebuah negara yang berada dalam lingkup pengaruh Majapahit yang disebut Baruné, kemudian diidentifikasi sebagai Barunai, sebuah kerajaan yang sekarang dikenal dengan nama Brunei. Sumber-sumber Eropa selanjutnya pada abad ke-16 menyebut nama pulau itu sebagai Burné oleh Antonio Pigafetta atau Bornei oleh Duarte Barbosa. Kolonial Belanda dan Inggris memberi nama pulau tersebut Borneo.
Pilar Herkules
Pilar Herkules adalah nama yang disebutkan oleh Plato untuk menggambarkan penanda batas Atlantis. Menurut teks-nya, Atlantis terletak tidak jauh dari batas ini. Selama berabad-abad, lokasi Pilar Herkules diperdebatkan oleh banyak orang. Pilar tersebut pada umumnya diasumsikan sebagai bukit batu di Selat Gibraltar di Eropa dan Gunung Acha dekat Ceuta atau Jebel Musain, yang terletak di sebelah barat Ceuta di Maroko. Yang lain lebih memilih untuk menganggapnya sebagai sepasang pilar yang terletak diluar kuil.
Penulis klasik sering merujuk pilar tersebut tanpa secara spesifik menyebutkan lokasinya. Pilar tersebut, pada jaman dulu, diidentifikasi dengan Selat Sisilia, namun semenjak Erastosthenes (ca 250 SM) dipindahkan ke sekitar Selat Gibraltar, yang mencerminkan perluasan pengetahuan maritim Yunani. Selain itu, penyair Pindar dalam Third Nemean Ode menyebutkan pilar tersebut sebagai metafora batas pengetahuan geografis masyarakat Yunani, batas-batas yang tidak pernah statis.
Didalam dialognya, Plato tidak menyebut Pilar Herkules adalah bukit-bukit di sekitar Selat Gibraltar; yang terakhir ini baru dikenal belakangan. Selain itu, pendeta Mesir juga menyebut penanda batas tersebut “seperti Pilar Herkules”, jadi yang dimaksud bukan pilar yang dikenal oleh orang Athena tersebut. Selain itu, Plato tidak menyebutnya sebagai “pilar” tetapi adalah “tugu” (Yunani stêlas) yang berada di perbatasan.
Herkules adalah identik dengan Batara Kala karena keduanya memiliki sifat yang mirip. Batara Kala dan Herkules masing-masing adalah anak dewa tertinggi, baik Batara Guru atau Zeus. Kelahiran mereka adalah tidak senonoh; Kala lahir dari nafsu Batara Guru yang tidak terkendali pada Dewi Uma sementara Herkules adalah dari rayuan Zeus terhadap Alcmene. Batara Kala dan Herkules keduanya memiliki nafsu yang tak terpuaskan, dan sifat yang sangat kasar, brutal dan keras di sepanjang hidup mereka. Rupanya, Solon menterjemahkan “Kala” menjadi “Herkules”. Penulis menghipotesiskan Pilar Herkules sebagai tugu batas yang dihiasi dengan wajah Kala, seperti yang banyak sekali terdapat di Jawa dan Bali.
Kemudian penulis menemukan sebuah bab yang menarik disini.*** Bersambung ke part 5
Hak Cipta © 2015, Dhani Irwanto
Posting Komentar