"Kak, amarah Langit tadi pagi menyerupai ledakan berantai kekuatan kelam abadi. Meski akhirnya kubiarkan Tanah menjemput di peluknya untuk meredam, hampir saja aku turun tangan. Ketenanganku benar-benar diteror,” keluh pelan gadis muda itu; tiba-tiba merobek hening.
Perawakannya sedang dengan tubuh langsing. Selain sorot mata yang tajam tapi teduh di lingkar luar, bentuk menarik lain dirinya adalah rambut. Seluruh rambutnya dipintal kecil-kecil setebal ikatan 5 batang Lidi. Bagian samping kiri dan kanan menyatu di belakang kepala, dalam anyaman hingga sejengkal sebelum ujung rambut.
Gadis itu duduk di punggung batu Andesit sebesar banteng. Kakinya dibiarkan teruntai lemas mengikuti kontur batu. Tak ada ucapan lain menyertai dan tiada balasan. Hening semula kemabali melingkupi keduanya. Iapun diam tapi menunggu. Menunggu tanggapan lelaki yang disapanya "kak".
Baru sebentar tadi dirinya tiba. Didapati sosok tujuannya dalam kondisi hening, ia imbangi pula dengan mengambil duduk. Lalu, kedua tangannya mengembang ke samping tubuh, masing-masing membentuk kemiringan sekitar 15 derajat dengan telapak terbuka ke arah dalam. Serupa formasi sayap Elang menukik menyergap mangsa.
"Rari, engkau terlampau mengambang dalam aliran imajinasi. Engkau sengaja membiarkan hasratmu dililit oleh tiap emosi alam yang letupannya sangat acak hingga tak terduga." Tanggapan yang dinantikanpun tiba. Dilontarkan selepas 5 menit kemudian. Cukup lama untuk ukuran dialog hanya antara dua orang, apalagi di tempat sunyi seperti itu.
"Sama seperti engkau, kita berdua sangat tahu kepastiannya mengenai amukan Langit itu. Langit dan Tanah adalah Dewa yang membentuk keseimbangan tersendiri. Jalinan keduanya serasi, memisahkan sekaligus menyulam. Tak ada sisa, tak ada lebih diantara keduanya. Demikianlah mereka, sangat tak perlu menerima sentuhan luar sekecil apapun," lanjut lelaki itu tanpa membuat gerakan.
Ia duduk di tanah. Bukan pada batu. Kakinya ditekuk, dua lutut mendekati dada. Tangan kiri menggenggam perkamen tua warna coklat, terbilang sangat usang. Telapak kanannya menumpuh pada pangkal tongkat ukuran sedang dengan ujung runcing itu, tertanam 1/5 bagian di tanah putih seperti pasir. Sorot matanya mencoba tembusi gumpalan Cumolonimbus yang terus menebal.
Mereka berdua adalah Kingga terakhir dari Nagari Tenggara. Kaum petarung bijak bestari; penjaga dan pewaris Titian Transenden. Jembatan pemisah dunia manusia dengan dunia Sunggo, tempat para Dewa menenun alam raya.
"Kak Shamon, engkau bukanlah suku kata, pula aku tak jualah kata. Apalagi, kita tidak sedang merumuskan tentang kerumitan aura imajinasi. Tidak kak... Titian Transendenlah fokus kita. Sisi Nagari Tenggara sedang bermasalah. Timur Laut, Barat Laut, dan Barat Daya masih tegak berdiri, tapi belum tentu tanpa ancaman dan ke..."
"Cukup!", potong lembut Shamon. "Hentikanlah geliat picisanmu dan mari membenarkan fokus, Rari. Apa engkau pikir keberadaan kita di Pulau Pasir ini, lelucon badai tenggara? Ataukah kau anggap liburan asmara pasangan kekasih? Tak perlu itu engkau beberkan lagi rincian tugas suci kaum Kingga. Aku belum rabun."
Sunyi menghardik Rari seketika. Cumolonimbus telah menebal sempurna. Tanah putih Pulau Pasir seperti mengigil. Tapi Rari masih di puncak batu banteng; yang adalah satu-satunya batu di situ. Situasi ini, komposisi yang tercipta, jelas begitu kontras tapi unik di bawah redup sore polesan cumolonimbus, dan beralas hamparan putih pasir.
Selain batu itu, kurang lebih 399 kaki ke arah terbitnya Mentari, terdapat telaga kecil di tengah pulau. Pada bibir pantai telaga itu, tumbuhlah satu-satunya pohon. Pohon Asinka; pohon dengan tekstur menyerupai tanaman Santigi, sekitar 5 hasta tingginya.
Dengan demikian hanya itulah bentuk-bentuk tertinggi sehamparan pulau; yaitu batu berbentuk banteng dan Asinka. Dataran tertingginya hanya 9 hasta, yang kini kedua Kingga itu bertekur. Merupakan situs suci lelehur Kingga Nagari Tenggara, meramu kekuatan dan menentukan langkah bijak.
Saat itu belumlah malam, meski sedikit kelam. Keheningan, untuk kesekian kalinya kembali dipasung suara lembut bergetar.
"Maka aku menunggu, kak.." Terasa seperti campuran pasrah dengan harap.
"Kita sama-sama."
"Lakukanlah… Itu kewenanganmu, kak... Dan aku memohon se..."
"Rari, aku tau. Tapi saat itu belum tiba."
"Tapi, bukankah petunjuk Bintang Kurio itu tampak semalam, sehingga senja ini waktunya?"
"Jika saja perkamen ini bukan satu-satunya kebenaran petunjuk, aku juga akan gegabah sedemikian engkau. Leluhur kita sangat bijak bestari dan memahami rentannya situasi seperti ini. Itulah sehingga kabar bintang Kurio menjadi pengalih sempurna. Dan kita patut bersyukur, Rari," merdu wibawa menebar ketika Shamon usai menerangkan. Rari menakhluk sangat.
"Lalu kapan, masa itu tiba, kak?"
"Tiga kali terbitnya Mentari timur terhitung sejak bintang Kurio tampak".
"Achh....... kita terlalu awal berada di sini..."
"Justru tidak. Sebelum saat itu, sang penghubung ritus suci, yaitu aku, mesti menyatukan aura agar selaras dengan energi pulau ini, selama dua malam berendam di telaga itu. Saat demikianlah titik terlemahku. Dan aku butuh penjaga. Maka bersiaplah engkau, malam ini hal itu akan di mulai."
Sunyi mencekik sempurna. Meski cumulonimbus sedari tadi menebal, hingga saat ini tak ada Kilat, tak ada Guruh dan setetes hujanpun. Alam sedang berlaku murah, memberikan ruang garansi. Lapat-lapat gerak lembut ombak memeluk pantai, menyumbang pembentukan kondisi sempurna sekaligus melebur dalam aliran sunyi leluhur Kingga.
"Kesunyian adalah puncak kebijaksanaan; dan kebijaksaan itu tempat Kingga menempah keluhuran bhakti Sang Transenden". Kalimat bertuah pusaka Kingga itu, menyusup dan menjangkiti pelan keheningan Shamon dan Rari malam itu.***
Larantuka, 2015
Foto Pulau Pasir Witihama, Adonara; by Simon Nany
Posting Komentar