Francis Lamanepa
"Kak, sudah 5 kali HPmu berdering. Kenapa tidak dijawab?"
Suara lembut itu terdengar dari balik kamar.
"Nomor baru, dek ..."
"Oh.....?"
Kembali hening. Sunyi.
"Kak, cobalah dijawab. Siapa tau ada hal penting?" Pemilik suara ini sudah berada persis di depan lelaki itu, setelah nada dering terdengar 3 kali.
"Dek, kamu tau kakak sangat butuh fokus untuk selesaikan tugas ini. Besok pagi harus dipresentasikan. Kaka tak mau peluang emas ini gagal hanya karena meladeni urusan sepeleh. Apalagi dari nomor baru?"
Murin, wanita cantik itu mengambil duduk di sisi kiri suaminya. Urusan ia di kamar sudah tuntas. Ia tau betul, suaminya butuh support. Tengah malam sudah pergi sejam yang lalu. Suaminya bergeming menatap monitor 15" di atas meja kerja. Beberapa diagram aneka warna disertai narasi termuat dalam halaman 5 MS-Word itu.
HP kembali berdering. Lelaki itu melirik sekilas. Masih nomor yang sama. Tanpa nama. Dibiarkannya saja.
"Kak Raran, cobalah dijawab. Siapa tau itu sangat penting dan belum tentu juga sepeleh? Siapa tau ada hubungannya dengan presentasi kakak besok?" Murin tak setuju dengan reaksi suaminya. Tapi masih dengan nada sediakala; lembut.
"Atau gimana kalo Murin yang jawab?"
Raran menatap istrinya. HP masih berdering. Diambilnya ponsel itu, diserahkannya. Sebelum dijamah Murin, nada dering itu berhenti. Ponsel diletakkannya ke tempat semula.
Murin tersenyum. Menatap mesra suaminya. Raran lelaki terhebat baginya dan anak mereka. Sebuah Dian. Suluh yang tak pernah berhenti memberi hangat dan terang. Sudah 9 tahun mereka hidup berumahtangga. Adem, tentram, berkecupan, tapi tetap bersahaja. Murin selalu tak henti bersyukur, Tuhan teramat baik memberinya lelaki teman hidup. Ia tau, Tuhan begitu hebat menempatkan dirinya.
Ponsel itu berdering lagi. Reaksi masih sama tergambar di ekspresi Raran.
"Kakak, tolonglah dijawab. Tentu tak mungkin iseng nomor yang sama berkali-kali menelpon. Pasti ada alasan yang begitu kuat".
Raran mulai ragu. Mungkin benar feeling istrinya.
"Ya... Malam juga....."
"Oh tak apa-apa bu. Tidak mengganggu. Kebetulan saya juga belum tidur..."
"Ibu Kewa.... Maaf bu Kewa, kalau boleh tau ibu ini siapa dan ada apa ya bu?"
"Ibuku!? I..bu.. Ke..wa ini adalah i..bu..ku..?"
"Mana mungkinnnn? Ibuku sudah lama meninggal....."
"Aku di....ti...pu....??"
Bersambung ke Part #2
"Kak, sudah 5 kali HPmu berdering. Kenapa tidak dijawab?"
Suara lembut itu terdengar dari balik kamar.
"Nomor baru, dek ..."
"Oh.....?"
Kembali hening. Sunyi.
"Kak, cobalah dijawab. Siapa tau ada hal penting?" Pemilik suara ini sudah berada persis di depan lelaki itu, setelah nada dering terdengar 3 kali.
"Dek, kamu tau kakak sangat butuh fokus untuk selesaikan tugas ini. Besok pagi harus dipresentasikan. Kaka tak mau peluang emas ini gagal hanya karena meladeni urusan sepeleh. Apalagi dari nomor baru?"
Murin, wanita cantik itu mengambil duduk di sisi kiri suaminya. Urusan ia di kamar sudah tuntas. Ia tau betul, suaminya butuh support. Tengah malam sudah pergi sejam yang lalu. Suaminya bergeming menatap monitor 15" di atas meja kerja. Beberapa diagram aneka warna disertai narasi termuat dalam halaman 5 MS-Word itu.
HP kembali berdering. Lelaki itu melirik sekilas. Masih nomor yang sama. Tanpa nama. Dibiarkannya saja.
"Kak Raran, cobalah dijawab. Siapa tau itu sangat penting dan belum tentu juga sepeleh? Siapa tau ada hubungannya dengan presentasi kakak besok?" Murin tak setuju dengan reaksi suaminya. Tapi masih dengan nada sediakala; lembut.
"Atau gimana kalo Murin yang jawab?"
Raran menatap istrinya. HP masih berdering. Diambilnya ponsel itu, diserahkannya. Sebelum dijamah Murin, nada dering itu berhenti. Ponsel diletakkannya ke tempat semula.
Murin tersenyum. Menatap mesra suaminya. Raran lelaki terhebat baginya dan anak mereka. Sebuah Dian. Suluh yang tak pernah berhenti memberi hangat dan terang. Sudah 9 tahun mereka hidup berumahtangga. Adem, tentram, berkecupan, tapi tetap bersahaja. Murin selalu tak henti bersyukur, Tuhan teramat baik memberinya lelaki teman hidup. Ia tau, Tuhan begitu hebat menempatkan dirinya.
Ponsel itu berdering lagi. Reaksi masih sama tergambar di ekspresi Raran.
"Kakak, tolonglah dijawab. Tentu tak mungkin iseng nomor yang sama berkali-kali menelpon. Pasti ada alasan yang begitu kuat".
Raran mulai ragu. Mungkin benar feeling istrinya.
"Ya... Malam juga....."
"Oh tak apa-apa bu. Tidak mengganggu. Kebetulan saya juga belum tidur..."
"Ibu Kewa.... Maaf bu Kewa, kalau boleh tau ibu ini siapa dan ada apa ya bu?"
"Ibuku!? I..bu.. Ke..wa ini adalah i..bu..ku..?"
"Mana mungkinnnn? Ibuku sudah lama meninggal....."
"Aku di....ti...pu....??"
Bersambung ke Part #2
Posting Komentar