GALERI

GALERI

KALENDER LITURGI

Arsip Blog

Sabtu, 27 Juni 2015

Surat Terbuka untuk Ratna Sarumpaet

Ratna Sarumpaet; pict by kapanlagi.com
Ratna Sarumpaet terbiasa mengeritik pedas terhadap penguasa. Terhadap Jokowipun pernah hingga menuai kecaman dari banyak kalangan. Terhadap kematian Angeline, Ratna kembali menyengat Jokowi dengan menghubung-hubungkan peristiwa naas itu.

Atas kritikannya itu muncullah Surat Terbuka dari akun facebook Hillary John Kristyo T.

Bu Ratna Sarumpaet yang saya KASIHANI….. Saya sengaja memakai istilah “yang saya kasihani” karena nanti di surat ini anda akan membaca mengapa saya tuliskan itu.

Dalam acara di sebuah TV swasta yang membahas tentang tragedi kematian Angeline, saya melihat anda masih sudi bersemangat “meluangkan waktu anda yang amat berharga” untuk berkontribusi dan berusaha EKSIS dalam topik-topik aktual.

Saya melihat anda dengan berapi-api TERKESAN membela Angeline dan menyalahkan kemiskinan sebagai akar masalah yang membawa Angeline kepada naasnya. Kemudian dengan berapi-api pula anda mengaitkan “kemiskinan” yang dialami keluarga Angeline itu dengan “yang terjadi dalam 8 bulan pemerintahan kepresidenan Jokowi“….

Saya rasa sebagai warganegara anda bebas mengritik Jokowi…. meski mungkin bagi sebagian orang akan nampak ada kesan GAGAL MOVE ON pada pribadi anda.

Terlepas dari KESAN GAGAL MOVE ON itu, saya pribadi setuju kalo anda mau meluangkan waktu anda yang amat berharga itu untuk ikut peduli pada pemerintahan yang sedang berjalan.

Tapi saya sebenarnya KASIHAN & IBA kepada anda yang ternyata GAGAL BERARGUMENTASI DENGAN LOGIKA……
Timeline yang anda pakai dalam berargumentasi soal “kemiskinan” itu HANCUR LEBUR….!

Anda mengajukan asumsi bahwa kematian Angeline adalah akibat KEMISKINAN yang dialami keluarganya sehingga membuat ibu kandung Angeline “rela” melepas anaknya diadopsi.

Bisa jadi asumsi itu benar…… Tapi MENGAITKAN kemiskinan keluarga ibu kandung Angeline dengan “kemiskinan” yang anda sebut terjadi dalam 8 bulan pemerintahan Jokowi lantas membuat anda “TERGUGAH” untuk mengaitkan Jokowi dengan kematian tragis Angeline SUNGGUH MEMBUAT KITA SEMUA DI SINI MELIHAT BETAPA AMBUR ADULNYA ALUR LOGIKA ANDA.

Saya tanya kepada anda:
Angeline lahir tanggal berapa bulan brapa dan tahun brapa??
Lantas Jokowi jadi Presiden tahun berapa?

Saat keluarga Angeline mengalami kemiskinan sampai Angeline kecil harus dilepas untuk diadopsi, SIAPA PRESIDENNYA????

Logika sederhana Bu…… Anak saya yang lulus SMP saja bisa memahami alur sederhana itu…… Jadi saya patut kasihan manakala anda menunjukkan KETIDAKMAMPUAN BERLOGIKA SEDERHANA.

Tapi mungkin setiap orang memiliki “keterbatasan”, sebagaimana MUNGKIN anda juga memiliki keterbatasan dalam mencurahkan pikiran tanpa memperhatikan “timeline”….. Saya bisa memaklumi itu. Dan saya menaruh kasihan kepada anda jika MUNGKIN anda mengalami keterbatasan semacam itu.

NAMUN……… Yang TIDAK BISA SAYA TOLERANSI & membuat saya MUAL & MUAK adalah SIKAP TEGA HATI ANDA sebagai seorang perempuan yang TANPA RASA JENGAH memakai KEMATIAN TRAGIS SEORANG ANAK KECIL demi memuaskan “syahwat” ORASI POLITIK anda…..
Yang membuat saya MUAL & MUAK adalah ketidakpekaan anda MENYALAHGUNAKAN TRAGEDI (ABUSING TRAGEDY) dan membuatnya sebagai ATRAKSI DANGKAL dalam menyerang lawan politik anda.

Dan anda tidak perlu berdalih bahwa niat anda bukan politis.
Siapapun yang mengikuti pemberitaan politik sejak Pilpres tempo hari dan membaca sikap politik anda, sudah tahu KE MANA AFILIASI POLITIK ANDA.

Dan itu HAK POLITIK ANDA sebagai warganegara Republik ini.
Yang BUKAN HAK ANDA adalah MEMAKAI TRAGEDI KEMATIAN SEORANG ANAK KECIL sebagai entry point dalam menyerang lawan politik anda.

Demikian surat itu.***

Read More »
08.53 | 0 komentar

Kamis, 25 Juni 2015

Herman Fernandez: Ikut Revolusi di Brigadenya Kahar Muzakar #Part 3

Monumen Yogya Kembali foto batasnusa.com
Ketika mulai pecah revolusi pada tahun 1945, Herman dan kawan-kawan yang bekerja di Cikotok kembali ke Yogya. Herman lalu bergabung lagi dengan Frans, Wowor, Silvester dan Dion Lamury tinggal bersama di Asrama [jalan] Djetis 20. Asrama ini cukup dikenal di Yogya waktu itu. 

Dari sini mereka mulai ikut revolusi. Mula-mula bergabung dalam KeRIS [Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi]. Tapi kemudian mendirikan sendiri GeRISK [Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil], bersama Prof. Yohanes yang menjadi ketuanya, sedang Frans Seda Bendaharanya. Termasuk di dalamnya Lourens Say.

Herman Fernandez sendiri memisahkan diri menjadi pelatih Sobsi. Dia memang cocok jadi pelatih karena badannya tegap. Tetapi masih tinggal di satu asrama. Bahkan Herman menjadi sumber keuangan mereka semua. Pada suatu waktu ia berhasil mencatut sebuah mesin stensil milik Sobsi. Hasilnya tidak sedikit sehingga mereka sempat berpesta pora. Bahkan dari uang itu Frans Seda bisa membeli sebuah baju.

Belakangan Herman Fernandez dan Alex Rumambi bergabung dengan PerPIS [Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi]. Komandannya Maulwi Saelan. Di sini umumnya bergabung pula pelajar-pelajar dari NTT, NTB, dan Kalimantan. Perpis kemudian bergabung dalam Resimen Hasanuddin yang dipimpin Andi Matalatta dan berubah nama menjadi Resimen Hasanuddin Seksi Pelajar. 

Resimen Hasanuddin pimpinan Andi Matalatta [di dalamnya Seksi Pelajar pimpinan Maulwi Saelan], kemudian dilebur ke dalam Brigade 16 pimpinan Warouw dengan Wakil Komandannya Kahar Muzakar.

Rana pintu masuk Monumen dituliskan sejumlah 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III [RIS] antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949. Dan tertera pula nama Herman Fernandez.
Menurut Alex Rumambi, mereka bergabung dengan Perpis karena di sana sering bertemu dengan teman-teman sekolah yang berasal dari Sulawesi. Apalagi ketika suatu hari bertemu sendiri dengan Saelan.*** [bersambung #Part4]
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988



Read More »
13.03 | 0 komentar

Rabu, 24 Juni 2015

Herman Fz: Peniup Obo Orkestra Simphoni, Pekerja Tambang Anak Buah Tan Malaka #Part 2

Monumen Herman Fz foto by Simon Lamakadu
Tiba di Muntilan, liburan belum usai. Asrama "Xaverius College" di bawah asuhan pastor-pastor Yesuit, belum diijinkan untuk dimasuki. Keempat sahabat dari Flores itu, Herman Fz, Willem Wowor, Frans Seda dan Silvester Fz, terpaksa harus ke Yogya. Namun di sana mereka tidak punya keluarga atau kenalan. Akhirnya menumpanglah mereka di rumah sebuah keluarga Jawa untuk beberapa waktu, hingga liburan berakhir dan HIK Muntilan dibuka kembali.

Frans Seda dan Wowor duduk di kelas I-A, bersama dengan Yos Sudarso dan Witono. Frans Seda dan Yos Sudarso bahkan sebangku. Sementara Herman dan Silvester di kelas I-B. Seluruh pendidikan di HIK ini lamanya 6 tahun. Tiga tahun pertama setingkat sekolah menengah, dan tiga tahun kedua untuk pendidikan guru. Pendidikan yang diasuh pastor-pastor Yesuit ini benar-benar sangat ketat dan disiplin.

Menurut peraturan sekolah, siswa yang mendapat nilai tujuh Bahasa Belanda, harus bisa memainkan dua instrumen musik. Satu instrumen dasar [wajib], satunya pilihan. Untuk Seda ditetapkan Harmonium untuk instrumen wajib, dan Viol pilihannya. Herman terkenal sebagai peniup Obo [semacam Terompet] yang mahir. 

Karena itu Herman terpilih masuk anggota Orkestra Simphoni Muntilan. Kelompok musik ini sangat terkenal di Muntilan waktu itu, bahkan di Indonesia. Anggotanya sebanyak 60 orang dengan alat-alat yang lengkap, sedang anggota koornya sebanyak 150 orang. Gubernur Jendral Belanda waktu itu kalau ingin mendengar orkestra, dia datang ke Muntilan.

Batu setengah tahun di HIK [1942], Jepang masuk. HIK Xaverius College ikut ditutup. Namun karena para pastor Yesuit belum diasingkan, sebagian siswa penghuninya yang berasal dari luar daerah, tetap diperbolehkan tinggal di asrama. Kira-kira 50 orang. Yang berasal dari Jawa dan memiliki rumah dipulangkan. Lantarantak ada lagi yang mengurusi asrama, semuanya terpaksa mulai diatur sendiri. Ada yang ditugaskan mencuci pakaian, ada yang mencuci pirinv, memasak dan sebagainya.

Hingga tahun 1943, para pastor mulai diasingkan. Asrama ditutup. Penghuni yang tersisa diperintahkan keluar semua. Mau dipakai Jepang. Herman, Frans dan rekan mereka dari luar Jawa, bahkan diangkut sekaligus oleh Jepang ke Metroyudan. Lantaran tidak punya orang tua maupun keluarga, mereka mau dilatih Jepang untuk menjadi Seinendan dan Keibonden.  Karena tidak bersedia, para pelajar itu lalu mengirim utusan ke Magelang untuk menolak. Jepang marah. Herman bersama rekan-rekannya lari ke Yogya dengan kereta api.

Tak ada alamat yang dituju di Yogya. Terpaksa mereka tidur di emperan rumah orang. Tak ada kerjaan, siang hari mereka hanya jalan keliling saja selama dua atau tiga hari. Bertahan dengan uang yang ada di kantong. Karena merasa tak mungkin demikian terus, Frans Seda memutuskan ke Magelang. Tinggal di rumah seorang guru membantu menyapu, mencuci piring dan sebainya. Tidak apa-apa, terpenting dapat makan dan tempat pemondokan.

Temannya yang lain, sepertinya Bisar Sitompul, menjadi Opas Bui di Solo. Sementara Herman Fz dan Alex Rumambi [tahun 1988, Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu RI], menerima tawaran bekerja di tambang batubara di Cikotok. 

Tanpa mereka ketahui, di tambang ini mereka berada di bawah Tan Malaka yang menyamar sebagai buruh tambang. Sebagian uang yang diperoleh, dikirim ke Yogya untuk Frans Seda dan rekan-rekan lainnya agar tetap sekolah. Ada semacam kesepakatan diantara mereka, yang besar-besar seperti Herman Fz, kerja mencari uang. Sedangkan yang kecil-kecil seperti Frans Seda, Cornel Simanjuntak supaya terus bersekolah. Frans dan Cornel persis satu kelas.*** [bersambung #Part3]
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988.

Read More »
12.30 | 0 komentar

Minggu, 14 Juni 2015

Praktek Wein Group Perlu Ditelusuri

Pither Y. Boimau, S.TP, M.SI,
Kabag Marketing WG
foto Frank Lamanepa
Belakangan ini mulai ramai dibicarakan tentang ekspansi Wein Group di Flores Timur. Group yang oleh OJK disebut sebagai salah satu dari 226 lembaga yang wajib diwaspadai karena bergerak dalam usaha investasi uang ini, kini santer sosialisasi dari desa ke desa di Flotim dalam rangka menjaring anggota.

Berikut kami sajikan testimoni Gaspar Kelen yang ditulisnya melalui akun facebooknya belum lama ini.

Sobat [fb] yang berbahagia, perlu saya informasikan kepada sobat sekalian bahwa dari tanggal 24 april s/d 18 mei 2015, saya berlibur di kampung, tepatnya di desa Kolilanang, Adonara. Tanggal 2 Mei di desa Kolilanang [balai pertemuan dusun 3 Bidara], saya mengikuti sosialisasi yang dilakukan oleh WEIN GRUP [WG] tentang Revolusi Mental dan Revolusi Ekonomi.

Dalam pemaparan visi misi tentang revolusi mental, banyak hal positip yang saya dapat. Tetapi setelah masuk pembahasan tentang revolusi ekonomi dari WG, banyak hal yang masih dalam tanda tanya besar, dan terus terang secara akal sehat saya, belum memahami sistem kerja dari WG khususnya dalam bidang ekonomi.

Di situ dijelaskan oleh WG [Pither Y. Boimau, S.TP, M.Si, Kabag Marketing] antara lain:
1. Dia mengajak warga desa Kolilanang dan sekitarnya untuk bergabung di WG untuk sama-sama membangun perekonomian NTT, karena WG suatu saat akan menguasai perekonomian di NTT.
2. Bagi warga yang bersedia bergabung, akan menyetor minimal uang Rp. 8,8 juta untuk level yang paling rendah, level yang paling tinggi Rp.16 juta, dan setelah menyetor uang tersebut secara otomatis menjadi pemilik WG.

3. Uang yang telah disetor tidak akan diambil, jika yang bersangkutan ingin keluar dari WG, dan sebagai penggantinya yang bersangkutan menunjuk pengganti dari pihak keluarga sebagai ahli waris kepemilikan.
4. WG miliki toko dan swalayan. Jika sudah menjadi pemilik, maka pembelanjaan di toko tersebut, harganya sesuai dengan harga pabrik di Jawa.
5. WG juga punya koperasi, di mana saat bergabung lansung mendapat kartu koperasi WG, dengan modal simpanan awal sebesar Rp.500 ribu diambil dari uang setoran di atas.

Suasana Sosialisasi WG
di salah satu Balai Desa di Flotim 
foto by Frank Lamanepa

6. Pemilik WG, dari koperasi bisa memberikan modal pinjaman hungga Rp.100 juta, tanpa survei awal usaha, tanpa jaminan, tanpa dicicil dan tanpa ditagih.
7. WG hingga 2 Mei 2015 telah memiliki 4 toko besar di NTT yaitu di Atambua, Kefa, Soe dan Kupang. Direncanakan tanggal 8 Mei kemarin, diresmikan WG Flotim dengan tokonya berada di Weri Larantuka [penjelasan tgl 2 Mei saat itu, saat ini saya dengar sudah diresmikan tokonya, mohon dicek kebenarannya].

Dari penjelasan di atas dan berdasarkan jangkauan akal sehat saya, banyak hal yang tidak bisa diterima, yaitu pont 1, 4 , dan 6.

Di mana pont 1 dijelaskan suatu saat WG menguasai perekonomian di NTT; apa ia? Point 4 harga barang di toko WG sama dan harga pabrik di Jawa; sekali lagi apa ia? Lalu bagaimana dengan biaya transportasi? Dan point 6 semakin gila; dan terus terang otak warasku tidak bisa menerimanya tentang pinjaman bisa sampai 100 juta, tapi tidak ada survei, tanpa jaminan, tanpa cicil dan tanpa ditagih.

Ke 3 point ini kami tanyakan dan jawaban dari Pither Boimau, mereka punya rahasia dalam sistem pengoperasionalnya, dan itu akan dibuka apabila sudah menjadi pemilik WG.

Dari kejanggalan-kejanggalan tersebut, saya begitu heran ternyata masih ada sekitar 4 orang hingga hari ini telah bergabung dari desa Kolilanang. Dan menurut pengakuan Pither Boimau, WG hadir di Flores sebagai pengobat dan penyembuh kasus Mitra Tiara.

Setelah masa liburan saya berakhir minggu lalu, saya kembali ke Timor. Dan untuk membuktikan informasi toko WG di atas, hari Senin kemarin saya pesiar di kefa dan mencari alamat toko wein grup kefa, dan ternyata tokonya ada, tapi menyewa rumah warga, dan barangnya hanya sedikit. 

Hal sama berlaku pada toko WG di Atambua yang saya cek tadi siang. Malah saya ketemukan staf WG sedang order barang ke kios-kios di Atambua dan Kefa.

Dengan kondisi yang mencurigakan ini, saya langsung kontak ke kampung bahwa yang disampaikan oleh WG itu tidak sesuai dengan kondisi riil di Atambua dan Kefa [khusus toko dan barangnya], dan menghimbau untuk jangan tergesa mengambil keputusan untuk bergabung di WG.

Sehubungan dengan itu, lewat media ini, sebagai anak lewo tanah saya menghimbau:
1. Pemerintah Daerah Flotim harus menyikapi kondisi ini, jangan sampai kasus Mitra Tiara terulang di Flotim.
2. cek kebenaran toko WG di Weri, dan apakah saat peresmian pemda mengetahui atau tidak.
3.Kita semua masyarakat Flores umumnya dan Flotim khususnya, harus mengawasi gerak operasional WG di Flotim. Jika diduga ada penipuan, segera usir mereka dari Lamaholot dan Flores.

Demikian info dari saya. Saya tidak memvonis WG tidak baik. Tapi kita harus buktikan bahwa program WG membantu rakyat bukan menipu rakyat. Tolong sebarkan info ini kepada teman/sobat/keluarga anda untuk diketahui. Terima kasih. [26 Mei 2915].







Read More »
22.16 | 0 komentar

Jumat, 12 Juni 2015

Herman Fernandez, Pahlawan Bangsa [mulai] Terlupakan #Part 1

Patung Herman Fernandez, foto Simon Lamakadu
Di tengah Kota Larantuka, jikapun itu disebut alun-alun, maka ada di sana, Monumen atau Patung dua orang dengan dua pucuk senapan. Patung itu kini tak terurus. Prasasti yang semestinya berisi tulisanpun,tak tampak. 

Dewasa ini, sepertinya sudah dilupakan. Belum tentu pula, generasi kini mengenalnya. Siapakah dua orang itu, mengapa ada di sana, dan sejak kapan ada di sana. Patung itu diresmikan oleh Menko Polkam Surono di hari Selasa, 16 Februari 1988. 

Mungkin pula orang mengenalnya sebagai Patung Herman Fernandez. Siapakah sebernarnya beliau dan Alex Rumanbi yang membungkuk itu?

Berikut ini kami coba mengisahkannya.


Malam itu di bulan Agusutus 1941, kapal KMP “Waikelo” pelan-pelan meninggalkan pelabuhan Ende menuju Surabaya. Dari atas geladak, Herman Fernandez, Frans Seda, Willem Wowor, dan Silvestar Fernandez, terus memandang ke darat, pulau Flores yang makin lama makin sayup-sayup menghilang dalam kejauhan malam.

Sebelumnya, kira-kira jam 8 malam itu, Herman datang menemui kakaknya Philomena Fernandez. Keduanya sangat dekat. Kepada kakaknya, yang kemudian menjadi Suster Emilia Fernandez, ia memberitahukan bahwa dirinya akan segera meninggalkan Ende pergi ke Jawa. Sambil merangkul kakak perempuannya itu , Herman berpesan bahwa dia pasti akan kembali lagi suatu saat. Sementara Frans Seda, saat itu sudah berada di atas perahu untuk naik ke kapal.

Di atas kapal mereka bertemu dengan seorang gadis asal Maumere, Nona Helena [isteri mantan Bupati Sikka, Lourens Say] yang juga hendak ke Surabaya. Selain mengangkat penumpang, “Wai-kelo”, seperti biasanya, juga mengangkut hewan [sapi]. Herman, Frans, Wowor, dan Sil tidur di dek, sekaligus menjadi pengawal Nona Helena.

Tiba di Surabaya
Pagi yang cerah, masih di bulan Agustus 1941. Setelah berlayar selama dua malam tiga hari, KMP Waikelo akhirnya merapat di pelabuhan Surabaya. Pintu kapal belum dibuka. Para penumpang belum diperbolehkan turun. Sementara di udara, beberapa pesawat  tempur terbang melintas. Rupanya sudah mulai memasuki suasana perang.

Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri mereka. Tetapi Herman, Frans, Wowor, dan Sil tidak menghiraukannya. Di hati mereka masih terngiang pesan pastor di Ndao pada malam terakhir Khursus Peradaban. “Awas, pergi ke kota besar banyak sekali godaannya. Di sana ada yang disebut kupu-kupu malam. Kalian tidak boleh melihatnya, apalagi mendekati. Itu dosa! Dan kalau mati langsung masuk api neraka.”

Inilah tulisan yang hilang pada prasasti Monumen itu
Tapi setelah itu, keempatnya menjadi malu sendiri. Rupanya wanita tadi sebetulnya ingin mena-nyakan, apakah di atas kapal itu ada pula seorang penumpang kenalannya dari Kupang.

Turun ke dermaga, Herman, Frans, Wowor, dan Sil, bingung. Apa yang harus mereka lakukan. Beruntung ada seorang Oom Tentara. “Mau ke mana?”, tanyanya. “Mau ke Muntilan”, jawab mereka. Kebetulan Oom Tentara itu mau ke Muntilan juga. Ia lalu mengajak mereka bersama naik taxi. Banyak kenangan diperoleh selam perjalanan. Di beberapa tem-pat, orang-orang menghampiri mereka, sambil mengulurkan tangan ke dalam taxi. “Baik benar orang jawa ini. Belum kenalan saja sudah pingin salaman.”

Tetapi, lagi-lagi keempat pemuda Flores yang baru dating dari kampung itu menjadi malu sendiri. Belakangan baru diketahui bahwa yang dikira orang-orang yang ingin bersalaman itu, ternyata para pengemis. Maklum, di Flores mereka tidak pernah melihat pemandangan seperti itu. Apalagi itu tahun 1941. 

Sorenya mereka tiba di Ambarawa. Hari mulai gelap, perjalanan tidak diteruskan ke Muntilan. Terpaksa harus bermalam. Kesempatan pertama ini, supaya tidak disia-siakan, Herman, Frans, Wowor, dan Sil pergunakan untuk menonton hingga empat film sekaligus, meskipun filmnya cuma film bisu. Film pertama yang ditonton adalah “Terang Bulan Terang di Kali”. Bintangnya Rukijah dan Raden Mochtar. Keesokan harinya, baru perjalanan diteruskan ke Muntilan.*** [bersambung #Part2]
Ansel da Lopez; dalam buku "Peresmian Patung Herman Fernandez, Putera Flores Pahlawan Bangsa" 1988.

Read More »
15.53 | 2 komentar

Rabu, 10 Juni 2015

Pemda Flotim Perlu Membekukan Sementara Wein Group

Pict from account fb wein Group
Baru saja perekonomian Flotim diluluhlantakan oleh investasi bodong MT, kini kembali dicoba dengan merebaknya PT. WEIN GROUP asal Kupang dengan usaha sejenis. Sayangnya PT. WEIN GROUP belum memiliki izin operasional dari Otoritas Jasa Keuangan RI [OJK]. Sementara informasi yang berkembang, di Flotim sudah sekitar 700 orang yang telah jadi nasabah. Tapi kemungkinan besar angka itu kini melambung tinggi. Mengingat aktivitas Wein group menjaring investor, begitu genjar hingga ke pelosok-pelosok desa.

Bagaimana PT. WEIN GROUP begitu leluasa bermain di Flotim meski ilegal menurut OJK?Untuk itu saya coba gunakan logika dasar berikut ini dalam menelisiknya dengan beberapa analisa sederhana berikut. Hemat saya ada tiga [3] institusi yang gunakan nama Wein [meski satu sumber kepemilikkan]: PT. WEIN SUKSES, PT. WEIN KASIH ASLAKAN, dan PT. WEIN GROUP. 
Sesuai dengan izin yang tertera, yang pertama bergerak adalah PT. WEIN SUKSES. Dan mungkin tidak bergerak dalam bidang investasi sehingga telah mendapat izin. Sebagai sebuah perusahaan, apapun itu, memiliki strategi untuk "diversifikasi" usahanya dengan bergerak ke bidang usaha lain. Sehingga mengharuskan mereka membuka institusi baru, yaitu: PT. WEIN KASIH ASLAKAN. Dan saya juga yakin bahwa perusahaan yang kedua ini juga tidak bergerak dalam bidang investasi, sehingga 2014 [OJK sudah terbentuk] mendapat izin dari Kementrian.
Melihat dan membaca bahwa bisnis investasi sangat menggiurkan, mereka mulai meram-bah lahan investasi dengan mendirikan PT. WEIN GROUP. Sebab sesuai dengan langsiran OJK, yang tidak memiliki izin [ilegal] itu PT. WEIN GROUP bukan kedua wadah sebe-lumnya. Nah strategi sederhana dimainkan pada tahap ini. Bahwa yang sedang gencar prospek daratan Lamaholot dari desa ke desa saat ini adalah PT. WEIN GROUP bukan kedua instusi lainnya.
Tapi untuk memudahkan pertumbuhan dan pemekarannya ke wilayah-wilayah kabupaten se NTT, sehingga kita saksikan mereka juga kini hadir di Flotim, kepada Pemda, Pemerintahan Kecamatan, Kelurahan/desa dan pihak kepolisian, lembaga ini [PT. WEIN GROUP] menggunakan tameng izin Kementrian milik PT. WEIN SUKSES & PT. WEIN KASIH ASLAKAN.
Bukankah tindakan pengelabuhaan ini sangat masuk akal dan sukses? Sehingga mereka bahkan sudah menggurita hingga ke pelosok desa selain telah membangun Sekretariat [kantor cabang?] di Larantuka? Bahkan momen prospek dan sosialisasi group ini selalu gunakan Kantor Lurah dan/atau Balai Desa.

Belajar dari Mitra Tiara
"Keledai saja enggan terperosok kedua kali pada lubang yang sama". Pribahasa ini setidaknya sarat makna dan sungguh tepat jika kita lekatkan pada kondisi investasi masyarakat kita yang berkali-kali terjerumus dalam soal yang sama.
Pengalaman pahit bersama dengan beberapa lembaga investasi bodong, rupanya belum membuat jera sebagian masyarakat Flotim. Mulai dari Gelekat Nara, Amalia, Mitra Tiara, Indoglobal yang semuanya sangat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat, sepertinya tidak pernah dijadikan pelajaran berharga.
Sebagian masyarakat menilai bahwa bukan pada soal ketidaktahuan masyarakat tentang resiko berinvestasi pada lembaga ilegal, tetapi lebih kepada upaya memanfaatkan lembaga investasi itu. Bahwa orang masih punya peluang mendapatkan keuntungan sebelum lembaga investasi itu kolaps atau bubar. 
Apa yang kini dipraktekkan oleh Wein Group boleh-boleh saja. Tetapi masyarakat juga harus sadar bahwa setiap bentuk investasi uang dari masyarakat, harus memiliki izin operasional dari OJK. Sejauh ini, Wein Group tidak memiliki izin dimaksud. Meski dalam sosialisasinya, Wein Group menyebut dan menyertakan salinan izin dari kementrian. 
Bahwa izin yang cenderung dijadikan tameng oleh Wein Group hanyalah izin pendirian lembaga usaha. Bukan izin operasional yang menyangkut keabsahan bidang usaha yang dijalankan. Maka dari itu, hingga hari ini OJK masih menyebut Wein Group dengan bidang usaha investasi uang adalah ilegal.
Metode demikian, juga pernah dipraktekan oleh Mitra Tiara. Dengan hanya mengantongi akta pendirian lembaga dan izin operasional koperasi. Faktanya, Mitra Tiara menjalankan usahanya jauh dari karakteristik koperasi. Dan karena tidak memiliki izin operasional dari OJK, Oktober 2013 lalu, Mitra Tiara alami rush besar-besaran yang berujung kolaps dan pendirinya harus berurusan dengan wilayah hukum.
Berbekal demikian, rasanya mengharapkan masyarakat untuk tidak tergiur pada gebrakan Wein Group sangatlah sulit. Untuk tidak mengulangi kembali pengalaman pahit berkali-kali, Pemda Flotim semestinya segera mengambil tindakan tegas untuk membekukan sementara operasionalisasi Wein Group di Flotim, sebelum memiliki izin operasional OJK dan/atau kejelasan secara hukum.
Fakta bahwa hingga hari ini, Wein Group adalah sebuah PT [Perseroan Terbatas] yang memiliki koperasi. Hingga semestinya urusan ini menjadi otoritas Disperindag. Tetapi bahwa pada prakteknya Wein Group menjalankan bentuk penarikan modal dari masyarakat umum [investasi uang] sekaligus karena belum memiliki izin operasional dari OJK, maka Pemda Flotim sebenarnya telah memiliki alasan yang jauh sangat kuat untuk membekukan operasionalisasi Wein Group di bumi Lamaholot ini. Meski boleh-boleh saja Wein Group berargumentasi bahwa mereka memiliki koperasi wein Smart. Modus ini sangat mirip dengan yang telah dipraktekkan Mitra Tiara. Sebab jika mau ditelusuri perijinan, bentuk, nama, jenis usaha dengan praktek yang dijalankan, maka tidak ada sinkronasi. Saling berbenturan. Sangat paradoks.
Tindakan tersebut semestinya tidak perlu ditawar-tawar lagi. Demi kehidupan perekonomian masyarakat Flotim adalah sangat tepat jika saat ini Pemda Flotim membekukan sementara operasionalisasi Wein Group di Flores Timur. Daripada kemudian hanya meratapi diri lantaran kita terlambat mengambil tindakan. Peristiwa sejenis telah berkali-kali terjadi. Adalah baik dan bijaksana jika segera menindak dengan tegas. Seperti misalnya dilakukan oleh Pemda Belu. Semoga!***Frank Lamanepa

Read More »
13.21 | 0 komentar

Maria Loretha, Melawan Kelaparan dengan Sorghum

Maria Loretha di lahan Sorghum Likotuden,
Demon Pagong, Flotim
Saat itu sekitar tahun 2012. Saya baru saja menyalakan televisi. Seperti biasa langsung saja saya memilih channel berita. Kick Andy Show. Si jurnalis berkepala plontos itu, sedang wawancarai seorang ibu muda. Wajah itu seperti tak asing. Begitu familiar. Benarkah dia yang kumaksud? Atau jangan-jangan wajahnya mirip. Aku ingin pastikan. Ingin kudengar Andy Noya memanggilnya siapa. Maria Loretha. Sontak decak kagum tiba-tiba keluar. Pasalnya, siapapun yang masuk dalam acara itu, tentulah memiliki prestasi tertentu. Bagaimana tidak, seorang masyarakat biasa Flores Timur masuk dalam acara yang cukup bergengsi di televisi berita nasional. 

Ia bukan pejabat, bukan istri seorang ternama di Flotim. Ia hanya petani biasa bersama suaminya yang juga petani, tinggal di Pajinian. Sebuah desa kecil di Ke-camatan Adonara Barat. Rumahnya cukup terpencil di pesisir pantai. Sangat jauh dari pemukiman penduduk di areal kebun masyarakat. Di halaman rumahnya inilah, bersama suami, Jeremias D. Letor mengusahakan tanah kering itu untuk menghidupi kebutuhan keluarga mere-ka. Lahan itu milik keluarga suami yang berasal dari Kelurahan Waibalun, Larantuka.

Tata. Begitulah ia disapa. Saya mengenalnya dengan baik semenjak 2007. Kami cukup akrab. Kerap Tata berkunjung ke rumah di Balela, Larantuka, dengan membawa sayur-mayur yang ia tanam sendiri di kebun miliknya. Beberapa kali saya menyempatkan diri mam-pir ke kediamannya di Pajinian. Ia memang tipe wanita aktif. Terlibat dalam beberapa organisasi. Punya mimpi yang luar biasa dalam urusan pemberdayaan. Seorang istri dan ibu dari 4 orang anak, sebagai keluarga petani kecil, tidak banyak yang tahu kalau Ibu Tata ini seorang sarjana. Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Mer-deka Malang, Jawa Timur.

Perkenalannya dengan sorghum terbilang sangat sederhana. Demi memenuhi kebutuhan hidup, sekitar tahun 2005, bersama suami mereka menggarap lahan kering di halaman rumah mereka. Kacang-kacangan, umbi-umbian, beras merah dan jagung mereka tanam. Pikirannya waktu itu, hidup butuh makan. Tidak lebih.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan keluarga besarnya. Perempuan kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1969 dan alumnus SMA St. Fransiskus I Jakarta ini, berasal dari keluarga mapan. Ayahnya seorang mantan hakim terkenal yang menyidang Xanana Gusmao sebelum menjadi Presiden Timor Leste. Tak begitu jauh berbeda dengan keluarga suaminya. Tetapi itu keluarga mereka. Mereka harus memulai dari awal. Dari lokasi yang sangat terpencil. Dan pilihan itu jatuh pada bertani.
Bersama Uskup Larantuka, Gubernur NTT dan Wabup Flotim
panen perdana Sorghum Likotuden, 21/03/2015

Berbekal pemberian bibit sorghum (watabelo-lon) setengah gelas dari seorang tetangganya, Tata kemudian mulai menanam di lahannya. Tahun 2007, setelah berhasil panen sorghum, perempuan keturunan suku Dayak Kanayatn ini, semakin tertarik dengan sorghum. Ia mulai mencari bibit sorghum ke beberapa wilayah di Flotim. 

Watablolon memang bukan tanaman asing di Flotim. Merupakan tanaman lokal yang sudah sangat lama dikenal. Flotim mengenalnya de-ngan beberapa sebutan lainnya, yaitu jagung Solor dan jewawo. Namun semenjak era 90-an tanpak mulai berangsur menghilang seiring merebaknya tanaman jagung, padi, dan varietas lainnya yang lebih dominan ditanam. Hal inilah yang menjadi daya dorong utama bagi Tata untuk menghidupkan kembali keja-yaan watablolon Lamaholot. Memberdayakan pangan lokal terutama di kebun miliknya.

Dengan pemahaman demikian, Tata bersama suami dan petani membentuk lembaga Cinta Alam Pertanian 2007. Semenjak itu sorghum betul-betul menjadi hal penting dalam kehidupan Tata. Tidak hanya menjadi petani, demi membudidayakan dan memasyarakat sorghum, Tata juga menjadi pendamping petani. 

Di NTT, Tata mendampingi petani lahan kering di 8 kabupaten. Flotim, Lembata, Ende, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote, dan TTS. Tata juga menjadi fasilitator beberapa LSM lokal.

Beberapa penghargaan yang telah Tata terima
“Frank, tahukah kamu bahwa sebenarnya ada satu cara paling mudah dalam menghilangkan image minus NTT yang sering alami gizi buruk dan kekurangan pangan.Yaitu watablolon. Ta-naman ini sangat cocok dengan kondisi tanah NTT yang gersang dan kering. Tidak boros air. Tak rumit merawatnya”, terang Tata ketika berjumpa di Hotel Sasando Kupang, selepas menghadiri kegiatan terkait sorghum 2012 si-lam. 

Kalimat yang sama ini, sering kude-ngar dan kubaca hingga kini. Entah melalui pesan singkat maupun berjumpa dengan Mbak Tata. Begitulah aku menyapanya. Terbiasa dari dulu. Meski terkesan ke jawa-jawaan, tapi ini lan-taran bersama suaminya, kami berkuliah pada kampus yang sama.

Sambil nikmati kopi, Tata menceritakan kisahnya mendampingi kelompok-kelompok tani se NTT. Ia perlihatkan juga gambar-gambar aktivitasnya. Termasuk berbagai penghargaan tingkat nasional yang ia terima, sebagai bentuk apresiasi usahanya. Kulihat kilatan semangat begitu meninggi pada sorot matanya ketika Tata menbicarakan orientasi dan mimpinya dalam membudidayakan watablolon ini.

Semoga berbagai penghargaan yang telah Tata terima, tidak membuatnya terlena dan berpuas diri. Tapi menjadi cambuk dalam memacu niatnya menjadikan pangan lokal sebagai “emas” tidak akan pernah pupus. Termasuk ketika Mei 2015 ini, sebagai delegatus Caritas Indonesia menerima penghargaan internasional di Roma, Italia.***Frank Lamanepa


Read More »
09.13 | 0 komentar

Selasa, 09 Juni 2015

Malam ini Maria Loretha Terima Anugerah Seputar Indonesia 2015

Maria Loretha menerima Award TOKOH PENGABDIAN
Anugerah Seputar Indonesia 2015, malam ini, Selasa, 09 Juni 2015

Maria Loretha. Perempuan kelahiran Kalimantan Barat ini sudah tak asing lagi bagi masyarakat Lamaholot. Tata, begitu ia disapa, sering mendapat penghargaan tingkat NTT maupun Nasional.

Berbagai penghargaan yang diterimanya, semua berkat usahanya bersama Yayasan Cinta Alam Pertanian membudidayakan kembali tanaman lokal Sorghum. Sorghum atau di Lamaholot dikenal dengan nama Watabelolon atau Jagung Solor atau Jewawo ini, bahkan telah membawanya ke Roma dan Milan, Italia sebagai duta Caritas Indonesia untuk menerima penghargaan Mei 2015 baru-baru ini.

Dan kini, malam ini, pkl. 22:00 Wita, Selasa, 09/07/2015, kembali Maria Loretha akan menerima anugerah dalam ajang Anugerah Seputar Indonesia 2015, kategori "Tokoh Pengabdian". Acara ini akan disiarkan di RCTI pjl. 23:15 WITa.

Di Studio 8 RCTI sebelum acara berlangsung, 9 Juni 2015

Teruslah berkarya mbak Tata. Berbuat itu jauh lebih baik daripada sekadar mengeluh.*** FrankLamanepa

Read More »
21.07 | 0 komentar

Kemana Rencana Gugatan Rahman S. N Terhadap DPRD Flotim Periode 2009-2014 Korupsi 7.2 M

Dugaan dan Rencana gugat Rahman S.N, capture from Group fb Suara Flotim
Rahman Sabon Nama, wartawan senior asal Flotim yang kini berdomisili di Bali, melalui group fb Suara Flotim, 27 Mei 2015, menyebut telah terjadi Korupsi Berjamaah di tubuh DPRD Flotim sebesar Rp 7.2 M terhitung 2009-2014.

"Senin 1 Juni 2015 secara resmi saya akan melaporkan dugaan korupsi berjemaah anggota DPRD Flotim ke KPK, ke Kejari Larantuka dan Kapolres Flotim dengan tembusan ke pimpinan media massa nasional dan lokal", tulis Rahman.

Dugaan Rahman ini menurutnya, dengan membandingkan harga sewa rumah pertahun di Larantuka yang berkisar 6 juta. Analisa ini berdasarkan pemahaman bahwa Tunjangan Perumahan adalah Biaya Sewa Rumah.

Tanggal 1 Juni 2015, yang bertepatan dengan perayaan peringatan Hari Lahirnya Pancasila, sudah berlalu. Tapi hingga kini, informasi perkembangan laporan yang direncanakannya, tak kunjung berkabar. Apakah itu hanya sebuah sensasi atau berdasarkan kesadaran bahwa dugaannya itu tidak berdasar? Ataukah ada "angin lain" yang telah menjejakinya hingga raib begitu saja?

Kita tunggu kabar selanjutnya. Semoga saja apa yang dipublikasikan dan rencananya yang telah disebar itu, bukan hanya isapan jempol. *** Frank Lamanepa

Read More »
18.05 | 0 komentar